Larasati sebagai bintang film telah menunjukkan identitasnya sebagai perempuan yang mengerti dan paham tentang modernitas. Ia dapat bergerak bebas dengan hak-haknya sebagai perempuan. Ia dapat mengimplementasikan kebebasannya di ruang publik dengan imprealisme kemodernan ala Barat. Larasati bergerak sebagai perempuan superior  yang memiliki dimensi femininitas dan maskulinitas sekaligus. Seperti yang pernah diungkapkan Nancy Tiana mengenai pemikiran filosofis di Barat dalam Arivia.
"Pandangan bahwa perempuan inferior terhadap laki-laki sebagai makhluk yang lemah, jenis kelamin yang kedua. Perempuan dilihat sangat kurang memadai dalam definisi sebagai manusia yaitu: kurang rasional dan tidak memiliki moralitas yang lengkap."
Larasati membalikkan pandangan pemikiran filosofis di Barat yang mengungkapkan stigma diskriminatif terhadap perempuan. Melalui sikap dan pandangan revolusionernya Larasati membuktikan bahwa dirinya sebagai perempuan lebih rasional dan memiliki moralitas yang lengkap dibandingkan Mardjohan yang mewakili laki-laki. Inferioritas perempuan tidak berlaku bagi Larasati karena ia dapat menjajah bahkan membungkam superioritas laki-laki di hadapannya.
Â
"Rencana tuan kolonel itu sungguh hebat, film dokumentasi pengungsian dari pedalaman! Nona datang. Rencana diubah film dokumentasi diganti menjadi film cerita. Bintang film cerita! Bintang film Ara primadonanya. Dan Djohan sudah dapat inspirasi setelah Nona datang?"
"Komplet, tuan kolonel. Sejarah Ara sendiri, akan dimainkan. Dia setuju."
"Apa pendapatmu, Ara?" tanyanya kemudian.
"Aku mau pulang." Larasati bangkit meninggalkan kamar penjara.
Langsung pada sopir Larasati memerintah kasar, "turunkan koporku!"
Sopir itu siap-siap hendak menurunkan. Kolonel Drest mencegahnya berkata, "maaf, kalau kita telah menyinggung perasaan Nona. Kita memang belum bisa bergaul dengan bintang film-bintang film terkemuka," ia membungkuk dengan hormatnya. (hlm. 59)
Â