Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Menolak Suara Perempuan Subaltern dalam Novel "Larasati"

23 November 2021   09:29 Diperbarui: 23 November 2021   09:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Larasati menyadari keikutsertaaannya dalam barisan pemuda revolusi adalah keputusan yang berani. Akan tetapi, ia percaya ketakutan hanya akan melahirkan kekalahan. Oleh karena itu, ia berani mengorbankan jiwa raganya untuk kemenangan revolusi. Semangat yang telah diperlihatkan Larasati dengan pergulatannya dengan revolusi merupakan gambaran kecintaan yang begitu mendalam terhadap Tanah Air. Ia memilih memperjuangkan kemerdekaan melalui profesi yang dijalankannya. Ia hilangkan segala batas dikotomi gender yang mengekang kebebasannya. Ia pun sanggup berhadapan dengan berbagai kekuasaan yang memiliki kepentingan terhadap dirinya. Superioritas bangsa penjajah dan kaum patriarki tidak dapat menghentikan langkahnya dalam berevolusi. Baginya, kemerdekaan dan revolusi adalah harga mati yang harus terus diperjuangkan.

 

Perempuan merupakan makhluk yang sangt dekat dengan konotasi seksualnya. Tingkah laku, gerak-gerik, dan ruang lingkup perempuan selalu dihubungkan dengan  seksualitas yang melekat pada dirinya. Dalam banyak literatur agama dan budaya, perempuan adalah tulang rusuk yang tercabut dari tubuh laki-laki dan hal itu merupakan representasi tentang perempuan sebagai subordinasi laki-laki. 

Freud, tokoh psikonalisis dunia, menegaskan hal tersebut dengan mengatakan bahwa pemilik hasrat seksual hanya laki-laki, maka suatu hal  yang alamiah apabila laki-laki dalam seks adalah superior dan perempuan inferior. Ia menguatkan pandangan biologis antara laki-laki dengan perempuan sebagai sebuah takdir. 

Anatomi laki-laki disebut sebagai activity, sedangkan perempuan adalah passivity. Adanya pandangan tersebut jelas memarginalkan fungsi serta alat biologis perempuan yang dianggap tidak mempunyai peran penting dalam relasi seksualnya. 

Selain itu, penyebutan perempuan sebagai passivity juga melahirkan pencintraan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak berguna. Kebergunaan perempuan hanya ada apabila laki-laki berada di sampingnya. Menurut pandangan Freud, dalam hubungan seksual, perempuan hanyalah alat yang difungsikan untuk memuaskan nafsu biologis laki-laki. Ketika perempuan dianggap tidak dapat memuaskan, sangat wajar apabila laki-laki mencari perempuan lain untuk memuaskan nafsunya.

Seksualitas yang diungkapkan oleh Sigmund Freud mendapat banyak kritikan dari para pemikir Barat, salah satunya adalah Foucaoult. Sekualitas menurut Foucaoult adalah sebagai efek wacana atau akibat relasi kuasa-pengetahuan-kenikmatan. Dengan kata lain, seksualitas dibentuk dari adanya dominasi suatu kekuasaan yang sifatnya pribadi atau kelompokyang dominan. Akibatnya, efek dari hal tersebut adalah kedudukan perempuan yang dianggap sebagai pribadi atau kelompok yang lemah berada pada posisi tersubordinasi dalam relasi seksualnya. Hal ini ditunjukan dari banyaknya bentuk ketimpangan di dalam praktik seksual seperti pemaksaan hubungan seksual, praktik menjual perempuan kepada orang lain, hingga perilaku seksual laki-laki yang tidak cukup berpasangan dengan satu perempuan.

Relasi kuasa yang terbentuk dalam hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah proses yang terjadi secara alamiah. Akan tetapi, relasi tersebut muncul sebagai akibat dari adanya interaksi kompleks antara laki-laki  dan perempuan yang dipengaruhi oleh interaksi antardisipliner seperti agama, biologi, psikologi, dan sosiologi. Mengenai hal ini, Foucaoult mengatakan bahwa:

Seksualitas seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah, atau suatu wilayah rahasia yang harus diungkap dan ditemukan pengetahuan secara bertahap. Seksualitas adalah nama yang terbentuk secara historis; bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan jaringan besar yang di dalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan control dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain.

  Gambaran hubungan laki-laki dan perempuan di atas telah menjadi realitas sosial yang terbentuk secara historis oleh berbagai proses sosial yang kemudian menjadi suatu susunan kekuasaan tempat perempuan berada pada posisi tersubordinasi di dalam kehidupan seksualnya. Perempuan harus memenuhi segala macam standar yang ditentukan oleh laki-laki (atau oleh struktur yang menguntungkan laki-laki). Nilai standar itu merupakan realitas objektif yng meminta kepatuhan-kepatuhan sehinga menjadi praktik sosial yang terus-menerus berulang di dalam kehidupan sosial.

Sementara itu, sekualitas menurut perspektif Larasati adalah alat untuk merepresentasikan kekuasaannya. Ia mampu membongkar pradigma yang menempatkan seksualitas perempuan sebagai inferior. Seks dipilih Larasati untuk mendominasi rasionalitas laki-laki melalui seks pula. Larasati muncul sebagai sosok perempuan yang dicintai dan dipuja karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun