Mengenai hal tersebut, Sunur dalam Jurnal Perempuan mengemukakan pandangannya.
Di dalam situasi konflik, kekerasan terhadap perempuan dipergunakan sebagai sarana untuk meneror dan mendegradasikan komunitas tertentu demi kepentingan politik. Dalam situasi ini, gender berpotongan dengan aspek lain identitas perempuan serta etnik, agama, kelas sosial, suku, maupun afiliasi politiknya.
Pelecehan seksual yang diterima Larasati merupakan satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Teror yang dilakukan terhadap tubuh dan kehormatannya merupakan suatu cara untuk menaklukkan dirinya. Apa yang dilakukan terhadap dirinya menempatkan ia sebagai gender yang tersubordinasi oleh kekuasaan yang sedang mengintervensi.Â
"Buka baju!" perintah sersan hitam mengkilat itu.
"Buat apa?" Larasati memberontak.
"Buat apa? Buka semua! Cepat! Anjing-anjing Soekarno suka berlagak goblok."
Waktu melihat Ara tak mengikuti perintahnya, ia bangkit. Matanya berapi-api. Ditariknya kain kurbannya. Tangan Ara menangkis. Selendang merahnya jatuh.
"Binatang!" Ara memekik. (hlm. 27-28)
Apa yang diminta sersan di dalam dialog tersebut mengindikasikan pelecehan seksual terhadap Larasati yang mengacu kepada tubuh perempuan. Perempuan dipaksa menjauh dari otonomi tubuhnya dan laki-laki mengambil alih power perempuan perempuan melalui kekerasan verbal. Pengambilalihan tersebut membuat sersan merasa berhak atas kepemilikan tubuh Larasati hingga ia memaksa Larasati menanggalkan seluruh bajunya.
Keinginan sersan dalam mendikte hak otoritas Larasati terhadap tubuhnya mendapatkan perlawanan. Ia, Larasati, melakukan sterilisasi tubuhnya dari intervensi pihak luar. Bahkan, secara tegas, Larasati melakukan penolakkan dengan menganalogikan sikap sersan tersebut dengan binatang. Keseluruhan tindakan Larasati ini merupakan manifestasi eksistensi terhadap hegemoni patriarki.
Simone de Beauvoir pernah mengungkapkan pemikirannya tentang eksistensialisme dalam upayanya mengerti situasi perempuan. Ia memberikan pemikirannya sebagai berikut: