Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Menolak Suara Perempuan Subaltern dalam Novel "Larasati"

23 November 2021   09:29 Diperbarui: 23 November 2021   09:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Larasati merupakan roman revolusi semasa perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam merintis kemerdekaannya. Kekacauan politik, ekonomi, dan sosial sejak kekalahan Jepang terhadap sekutu disusul masuknya Belanda dengan dibonceng sekutu membuat cerita dalam novel ini kental dengan semangat patriotisme. Lakon-lakon yang dimainkan berkisar pemuda-pemuda Indonesia yang penuh semangat juang memperjuangkan proklamasi kemerdekaan, kisah pahlawan sejati yang berani mati dan pahlawan munafik yang mencari keuntungan pribadi, dan kisah tentang pertarungan di daerah republik dan daerah-daerah pendudukan Belanda. Keseluruhan kisah tersebut berpusat pada tokoh perempuan, yaitu Larasati.

Tokoh Larasati merupakan representasi tokoh perempuan humanis dan revolusioner. Di tengah situasi konflik, Larasati justru muncul dengan wacana revolusinya. Melalui kecantikan dan keahliannya di bidang seni peran, Larasati berjuang dan memberikan kontribusi perlawanannya terhadap Belanda, pada umumnya, dan lingkungan patriarki, khususnya. 

Keseluruhan rekam jejak eksistensi dirinya terjadi saat ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Pergumulannya dalam revolusi dapat dilihat dari dua subbab, yaitu eksistensi Larasati melalui dunia seni dan representasi seksual Larasati. Melalui dua subbab itu Larasati mendeskripsikan perlawannya terhadap penjajah dan budaya patriarki.

1) Larasati sebagai Seorang Bintang Film

Sebagai seorang perempuan, Larasati menyadari bahwa ia tidak dapat membantu perjuangan kemerdekaan dengan menggunakan fisiknya. Paradigma ini terjadi karena adanya diferensiasi gender antara laki-laki dan perempuan. Diferensiasi terjadi karena dipengaruhi oleh klasifikasi lingkungan menurut simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan dalam tradisi dan sistem budayanya. Atas dasar hal ini, laki-laki dan perempuan diberi label-label (stereotip) tertentu berkaitan dengan peran gender mereka, seperti laki-laki gagah perkasa, sedangkan perempuan lembut manja. Stereotip inilah yang mempengaruhi cara pandang Larasati untuk melawan pendudukan Belanda tidak dengan fisiknya, tetapi melalui profesinya sebagai bintang film.

... Ia akan terjun kembali di gelandang film. ... Tapi ia berjanji dalam hatinya, tidak bakal aku main dalam propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajahan. (hlm.2)

Larasati sadar sebagai seorang seniman profesinya tidak hanya alat untuk mengekspresikan nilai-nilai seni, tetapi dapat juga digunakan sebagai alat propaganda untuk memasukkan nilai-nilai politis penguasa. Kesadarannya akan hal itu mengantarkannya pada suatu tekad perlawanan melalui film, melalui bakat seni yang mengalir di dalam jiwanya. Ia pun percaya dengan seni ia dapat turut serta dalam revolusi.

Ia sendiri telah mainkan cerita-cerita perjuangan dan hiburan di tempat-tempat yang sama sekali tidak penting dimasa damai, biarpun tidak ada di peta bumi tempat dia bermain! Tidak ada pengagum, tidak ada pemuja, tidak ada honorarium barang sepeser -- cuma makan nasi keras dan ikan asin, dan transport di atas truk yang berdesak membanting-banting! Kadang-kadang tepuk tangan pun tidak -- ... Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di zaman revolusi ini terletak pada kepalangmerahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya ia pun dapat berbakti pada revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri. (hlm.20)

Eksistensi Larasati melalui seni telah ia buktikan sebelum terjadinya revolusi, yakni saat masih adanya kedamaian di bumi pertiwi. Ia bergerak menyebarkan semangat nasionalis ke berbagai wilayah tak terjamah melalui lakon-lakon perjuangan. Yang ia cari bukanlah materi, melainkan kepuasan idealismenya sebagai seorang seniwati. 

Pada tahap ini, perjuangan Larasati telah sampai kepada tataran tindakan sebagai aplikasi dari gagasan-gagasannya mengenai nasionalisme. Bahkan, ia berani mendekonstruksi stigma heroisme dan patriotisme perempuan yang dilekatkan kepada kepalangmerahan saja. Lalu ia memunculkan simbolisasi baru heroisme dan patriotisme dalam wujud seni. Seni yang ia representasikan ke dalam dirinya sebagai seorang pejuang dan berjuang dengan caranya sendiri.

Perjuangan Larasati bukan tanpa perlawanan. Mimpinya untuk kembali terjun bermain film harus bersinggungan dengan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Hal ini ia alami ketika sampai di Jakarta. Di wilayah pendudukan Belanda itu, ia harus berhadapan dengan superioritas bangsa penjajah dan pembelot anak bangsa. Apa yang ia alami adalah kolonialisasi ganda, yakni perempuan sebagai gender yang termarginalkan dan anak bangsa yang terkoloni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun