Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat-kembali Komodifikasi Keislaman di Televisi Era 2000-an

20 April 2023   07:30 Diperbarui: 29 April 2023   19:46 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meliat komodifikasi keislaman di televisi Indonesia era 2000-an. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Produk industri budaya tidak berlawanan dengan norma sosial dominan yang ada, tetapi sebagai penegasan kembali norma itu dan mengecam tindakan dan perilaku yang dianggap menyimpang dari norma tersebut. 

Produk industri budaya menghadirkan dirinya sebagai refleksi langsung dan pengembangan terhadap realitas empiris, dan melalui pseudo-realisme produk-produk tersebut menormalisasikan status quo.

Merujuk pada logika di atas, disampaikannya nilai keislaman oleh para ustaz/ah modis bisa dibaca sabagai salah satu usaha negosiasi ‘kelompok-kelompok Islam sadar media’ terhadap kehidupan modern yang sudah semakin termediasi melalui citra-citra modis dewasa ini. 

Dengan usaha kreatif yang sebenarnya pseudo-realis tersebut ajaran-ajaran Islam tetap menjadi kekuatan hegemonik dalam kehidupan para pemeluknya yang semakin dipengaruhi kultur media sehingga mereka akan tetap taat dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan. 

Ketika siar oleh ustadz modis ini terus berlangsung maka sebenarnya umat digiring untuk menikmati "realitas semu" karena mereka diajak masuk ke dalam permainan komodifikasi yang menawarkan ajaran dan simbol agama yang sudah di-modis-kan, berupa tampilan-tampilan simulasi hiperealitas televisi.

Piliang (2004: 199-200), mengadopsi pemikiran Baudrillard, mengatakan bahwa penciptaan kebudayaan dewasa ini mengikuti model produksi simulasi, penciptaan model yang nyata, tetapi tanpa asal-usul atau realitas, hiperealitas. Melalui model simulasi manusia dijebak di dalam satu ruang yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu belaka. 

Dalam budaya simulasi, manusia mendiami satu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi atau yang benar dan yang palsu menjadi sangat tipis, manusia hidup di ruang khayali yang nyata. Televisi tampak sama nyatanya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah, sebab ia sama-sama menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup. 

Memang, tampilan simulatif siraman ruhani atau tausiyah, di satu sisi tetap memberikan informasi tentang ajaran Islam yang berwajah humanis dengan gaya penyampaian yang sangat cair dan santun jauh dari unsur kekerasan sebagaimana banyak distereotipisasikan oleh televisi Amerika Serikat dan Eropa Barat. 

Di sisi lain, tausiyah dari para ustadz itu, yang kemudian juga diperluas melalui pengajian- pengajian ibu-ibu dan para profesional di kawasan elit metropolitan, cenderung menggiring umat pada relasi ideologis imajiner di mana mereka secara nirsadar melakukan proses identifikasi dengan subjek ustadz dan segala simbol yang dikenakannya, selain ajaran Islam yang cenderung formalistik.

Para audiens mengidentifikasi gaya tuturan para ustadz tentang Islam sebagai sesuatu yang dianggap sebagai sesuatu yang perlu didengarkan dan selanjutnya dipraktikkan. Termasuk dalam identifikasi ini adalah bagaimana mengenakan simbol-simbol pakaian Islam yang serba modis dan up to date, sebagai hasil kreasi dari butik-butik ternama. 

Bahkan di pasar-pasar tradisional model pakaian ustadz/ustadzah sangat muda dijumpai, tentu dengan harga yang lebih murah. Maka tidak mengherankan bahwa model baju muslim yang dikenakan para ustadz maupun ustadzah menjadi sangat populer di kalangan muslim/mah, terutama ketika lebaran tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun