Kalau sebelumnya, media menjadi ruang bagi munculnya opini publik dalam wacana debat yang mengedepankan rasionalitas, maka dalam era baru ini opini publik digantikan konsultan-konsultan atau ahli- ahli politik yang disistemasikan sedemikian rupa oleh korporasi media.Â
Kondisi ini menyebabkan publik tidak mempunyai akses lebih bagi berlangsungnya debat yang benar-benar demokratis, sehingga mereka tidak mempunyai kuasa untuk mengkritisi dan hanya bisa mengidentifikasi diri mereka dengan argumen- argumen yang dikonstruksi oleh media.
Diambil alihnya media oleh pemodal-pemodal korporasi menandai dimulainya era baru komunikasi massa di mana media tidak hanya berbentuk media cetak tetapi juga media penyiaran elektronik.Â
Menurut  Thompson (2006), media penyiaran elektronik pada awalnya berkembang pesat di Amerika Serikat pada awal tahun 1920-an dalam bentuk radio yang disusul perkembangan revolusioner media televisi pada tahun 1940-an dan 1950-an.Â
Dari sini industri media dari jenisnya bisa dikategorikan ke dalam: (1) media cetak (meliputi surat kabar, majalah, serta jurnal) dan (2) media elektonik (meliputi televisi, radio, dan sinema).
Turow (1991), menjelaskan bahwa dari segi muatan yang hendak disampaikan industrasi media secara sederhana bisa dikonsentrasikan ke dalam: (1) jurnalistik (meliputi surat kabar, tabloid, stasiun televisi berita) dan (2) 'non jurnalistik' atau hiburan (meliputi sandiwara radio, televisi komersil, rekaman musik, film, siaran olah raga, dan lain-lain).
Perkembangan komunikasi massa dalam bingkai kapitalisme teknologi (technocapitalism) secara progresif telah menciptakan kelompok-kelompok pemodal dominan yang agresif dalam produksi media, baik cetak maupun audio-visual.Â
Dengan ditemukannya teknik-teknik baru transmisi pesan dalam performa media yang semakin beragam, masyarakat di satu sisi memperoleh akses murah terhadap produk-produk budaya sehingga secara tidak langsung berkembangnya industri media dianggap melahirkan demokrasi kultural.Â
Mereka semakin leluasa dalam memilih produk dan tayangan yang mampu memberikan ruang pelepasan bagi kejenuhan dan tekanan kerja-kerja harian. Para pekerja, misalnya, banyak menggunakan waktu luang mereka untuk menonton tayangan-tayangan televisi, mendengarkan musik, ataupun menonton film.
Bisnis media kemudian menjadi ajang baru bagi akumulasi modal yang cukup menggiurkan. Di Indonesia kita menyaksikan realitas, betapa media mampu menjadi industri baru yang berkembang pesat, mulai dari media cetak, radio hingga televisi.Â