Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat-kembali Komodifikasi Keislaman di Televisi Era 2000-an

20 April 2023   07:30 Diperbarui: 29 April 2023   19:46 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meliat komodifikasi keislaman di televisi Indonesia era 2000-an. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Kalau tidak mengikutinya maka balasan Tuhan sangatlah kejam. Implikasi kultural dari pengetahuan ini adalah lahirnya pemahaman bahwa Islam itu sebuah agama yang hitam-putih dan kejam sehingga semua ummat harus tunduk dan sebisa mungkin menjalankan praktik-praktik hidup yang baik dan Islami.

Di samping pesan ideologis di atas, dari model alur cerita dalam Kusebut Nama-Mu, sinema reliji secara implisit menyampaikan betapa ketika seseorang ingin mendapatkan berkah dari Tuhan ia harus tabah dalam menjalani segala bentuk penderitaan di muka bumi. 

Seorang tukang bakso, misalnya, yang selalu menderita dan mendapatkan aniaya dari orang lain harus tetap sabar dan berdoa kepada Tuhan sehingga ia bisa mengalami sebuah peristiwa, semisal ditolong oleh orang kaya, yang bisa mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik, bahkan sampai naik haji. 

Pesan tersebut secara moralitas memang terkesan cukup bagus. Namun, tampilan yang hanya berdurasi sekitar 60 menit + commercial break ini terkesan terlalu menyederhanakan persoalan, jauh dari realitas kehidupan nyata. Bahwa memang banyak orang sukses yang berangkat dari bawah, namun seringkali mereka butuh waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya. 

Dan, seringkali keberhasilan mereka bukan berasal dari orang kaya yang berperan sebagai Robbin Hood, tetapi karena memang mereka benar- benar berusaha dengan gigih. Bahkan, banyak pula orang yang tekun menjalankan ibadah dan berusaha tetapi belum juga mendapatkan rezeki berlimpah dari Tuhan.

Dari paparan di atas, jelas kiranya, bahwa tayangan sinema reliji dalam televisi-televisi swasta mengusung representasi pengetahuan tentang Islam yang dimaknai secara hitam-putih. Kehidupan digambarkan sebagai relasi yang harus dipenuhi dengan hukum-hukum illahiyah yang begitu kaku dan formal. 

Dengan kata lain, wajah Islam dan kehidupan yang islami yang digambarkan adalah Islam dan kehidupan yang begitu formal, kaku, atau seolah-olah sesuai dengan syariat.

Simpulan

Mungkin, inilah saatnya kita harus menyaksikan bagaimana Islam sebagai agama yang sangat luwes dan adaptif dengan semangat perubahan zaman dicitrakan dalam kontradiksi komodifikasi televisi. 

Di satu sisi, Islam adalah ajaran yang damai, harmonis, modis, sekaligus formalis. Islam dalam tayangan- tayangan siraman rohani, jelas-jelas membawa semangat kapitalistik dengan mengusung mode-mode pakaian trendy yang diidentikkan dengan simbol-simbol Islam yang formalis.

Para ustadz/ah dalam Islam televisi telah menjadi agen-agen kapitalis dengan ‘senyum imannya’ yang mampu membangkitkan relasi imajiner dari para penonton untuk meniru gaya berpakaian dan cara hidup seperti yang dilakukan para guru ngaji modis tersebut. Cermah merupakan pertunjukan yang bisa dimainkan setiap saat tergantung pesanan dan honor yang mereka terima. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun