Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat-kembali Komodifikasi Keislaman di Televisi Era 2000-an

20 April 2023   07:30 Diperbarui: 29 April 2023   19:46 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meliat komodifikasi keislaman di televisi Indonesia era 2000-an. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Industri budaya dengan demikian melibatkan sistem industri budaya yang di dalamnya terdapat keseluruhan organisasi yang terlibat dalam proses penyaringan produk-produk dan ide-ide baru yang berasal dari personel kreatif yang berada dalam level subsistem (Backer, 1982). 

Granham (1997) menjelaskan bahwa industri budaya merujuk pada institusi-institusi dalam masyarakat yang mengola moda khusus produksi dan organisasi korporasi guna memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk benda-benda dan jasa budaya sebagai satu komoditas.

Prinsip yang sangat penting dalam komodifikasi media adalah penciptaan citra yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan seolah-olah nyata, bahkan melebihi realitas itu sendiri. Citra-citra inilah yang kemudian disebut hiperrealitas.

Komunikasi massa mutakhir lebih banyak menggunakan realitas citra ini unutk menggambarkan ciptaan fantasmis (phantasmic creation) yang terkesan "lebih nyata" dan "lebih otentik" dari yang nyata itu sendiri. Terkait hiperrealitas, Baudrillard (1988: 144-145) menjelaskan:

Realitas itu sendiri menemukan dirinya di dalam hiperrealisme, reduplikasi yang cukup detil dari yang nyata, yang lebih banyak ditemukan dalam medium lain, seperti fotografi. Dari medium ke medium, yang nyata menguap, menjadi alegori kematian. 

Namun, yang nyata juga terus di perkuat kembali, dalam makna, melalui kehancurannya sendiri. Yang nyata menjadi realitas demi dirinya sendiri, fetisisme objek yang hilang.....hiperriil.

Pernyataan Baudrillard tersebut menunjukkan bahwa di dalam media sebenarnya tidak terdapat "yang nyata" karena ia telah dihancurkan oleh realitas baru yang bernama hiperealitas, sebagai produk dari perkembangan teknologi komunikasi massa yang seolah-olah lebih detil dan lebih mempesona dibandingkan yang nyata. Produk media pada dasarnya tidak lebih dari realitas semu.

Mengkomodifikasi Keislaman 

Nilai-nilai agama Islam merupakan objek komodifikasi yang bisa dikatakan paling laris. Mengapa  demikian? Terdapat ada beberapa alasan kenapa nilai-nilai Islam menjadi komodifikasi yang cukup digemari oleh kalangan industri televisi. Islam adalah agama dengan pemeluk mayoritas di Indonesia. 

Dengan kata lain, umat Islam merupakan penonton televisi yang paling banyak dibandingkan para pemeluk agama lain. Mayoritas jumlah pemeluk dan penonton itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa tayangan-tayangan yang menyuguhkan simbol dan nilai Islam pasti akan menarik minat dari penonton untuk melihatnya sehingga lebih mudah untuk meyakinkan pemasang iklan. 

Konsekuensi dari komodifikasi keisalaman ini adalah umat disuguhi sebuah citra visual dari apa-apa yang mereka pahami dari para ahli agama, baik ustadz maupun kyai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun