Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat-kembali Komodifikasi Keislaman di Televisi Era 2000-an

20 April 2023   07:30 Diperbarui: 29 April 2023   19:46 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meliat komodifikasi keislaman di televisi Indonesia era 2000-an. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Massifnya tayangan televisi yang mengusung tema dan citra keislaman pada era 2000-an awal ikut memformulasi keislaman yang disesuaikan dengan perkembangan kapitalisme lanjut berbasis teknologi dan media. Dalam kapitalisme demikian, praktik komodifikasi dan politik representasi memproduksi keislaman dengan makna-makna spesifik yang modis sekaligus dogmatis. 

Awalan: Televisi, Komodifikasi, dan Representasi 

Media dalam sejarahnya, mempunyai peran-peran strategis dalam pengembangan masyarakat demokrasi. Media, dalam segala bentuknya, pada awalnya dianggap sebagai kekuatan yang bisa menumbuh kembangkan ruang publik (public sphere) sebagai medium untuk menyebarkan semangat demokrasi dan transparansi di tengah-tengah masyarakat.

Kellner (2004) menjelaskan bahwa dalam teori demokrasi klasik, media menghadirkan informasi, gagasan, dan debat yang berkaitan dengan masalah publik dengan tujuan memasyarakatkan ruang publik demokratis. 

Media memberikan catatan bagi kekuatan eksesif serta memberikan informasi kepada warga masyarakat yang bersangkut-paut dengan isu-isu utama kepentingan umum agar mereka mau berpartisipasi dan menyumbangkan pengetahuan dalam kehidupan publik. 

Dalam sejarah perkembangan ruang publik pada abad ke-18 di mana surat kabar, jurnal, dan terbitan-terbitan lain yang bebas dari kepemilikan negara menjadi bahan bacaan di kedai-kedai kopi bagi warga yang terlibat intens dalam perdebatan seputar isu-isu politik dan sosial. 

Meskipun ruang publik tersebut cenderung didominasi oleh kelas borjuis, namun kehadiran media telah berhasil mentradisikan debat sebagai cikal bakal berkembangnya masyarakat demokratis. 

Di pihak lain kelas pekerja juga memunculkan ruang publik oposisional di gedung-gedung serikat, kantor partai, serta sejalan dengan gerakan sosial lainnya mereka juga menerbitkan pers alternatif sebagai tandingan bagi pers borjuis. 

Media telah menjadi ruang publik yang sama pentingnya dengan institusi-institusi negara seperti parlemen dalam membuka wacana bagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menegosiasikan gagasan dan kritik sehingga telah memberi pencerahan demokratis bagi munculnya masyarakat sipil.

Berkembangnya kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism) dan demokrasi massa (mass democracy) membawa pula perkembangan baru bagi media dan ruang publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun