Kalau pada masa-masa revolusi kemerdekaan, media, terutama media cetak dan radio (dalam hal ini RRI), menjadi salah satu kekuatan revolusioner yang menghubungkan person-person ataupun institusi-insitusi perjuangan kala itu, maka pada era industri budaya, media telah menjadi kekuatan kultural yang memberikan informasi sekaligus beragam hiburan ke dalam ruang-ruang keluarga.
Televisi swasta nasional (RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, Metro TV, Global TV, Trans TV, Lativi, Trans7, dan ANTV) merupakan kekuatan yang bisa dikatakan paling dominan dalam industri media di Indonesia saat ini.Â
Televisi bisa dibilang sebagai moda komunikasi massa yang dengan teknologinya mampu menghadirkan 'tamasya citra' bagi para penontonnya, di tengah-tengah problem akut yang dihadapi bangsa ini.Â
Oleh karena televisi merupakan kekuatan kultural dominan yang mampu mendatangkan profit dari pemasangan iklan sehingga saat ini kita menyaksikan betapa stasiun-stasiun televisi swasta Indonesia saling berlomba untuk menciptakan program-program yang mampu membuat penonton "duduk manis" di depan layar kaca.Â
Sayang sekali, sampai saat ini, sebagian besar televisi swasta lebih banyak menawarkan program-program hiburan alih-alih menggagas acara yang bisa memberikan informasi yang mencerahkan bagi masyarakat.
Orientasi keuntungan modal telah menjadi ideologi yang mendasari semua program dalam televisi. Dan itu wajar dalam kontkes industri budaya di mana semua menjadi sah atas nama keuntungan.Â
Demi mencari keuntungan itulah para kreator industri televisi selalu berusaha membuka peluang-peluang dengan membuat program-program baru yang diasumsikan akan digemari oleh penonton.Â
Atau sebaliknya, mereka mengambil realitas yang ada dalam masyarakat untuk dijadikan tayangan televisi sehingga masyarakat merasa kepentingannya diakomodir dalam siaran. Realitas di masyarakat bisa berupa agama, seni-budaya, maupun masalah-masalah sosial. Dengan kata lain, semua aspek kehidupan bisa menjadi komoditas yang cukup menjanjikan bagi penumpukan modal.Â
Agama dalam industri media, misalnya, tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar pribadi atau berhubungan dengan komunitas pemeluk tertentu, karena ia sudah menjadi komoditas baru yang bisa dinikmati oleh siapa saja.Â
Lebih dari itu, agama bukan semata-mata menjadi nilai suci (terbebas dari campur tangan kekuatan-kekuatan di luar agama) karena dalam konteks media, agama sudah mengalami shooting, editing, producing, dan transmissing.Â
Dengan kata lain nilai-niali keagamaan telah menjadi sumber kentungan baru bagi pemilik modal melalui praktik eksploitasi dan komodifikasi .