Memang dalam komodifikasi tidak selalu mengubah sepenuhnya keislaman yang ada di masayrakat. Misalnya, agama Islam mensyaratkan adanya ketaatan untuk sholat, zakat, dan puasa. Dalam setiap acara siraman rohani1 yang disampaikan para ustadz di televisi bisa dikatakan tidak ada perubahan ajaran.Â
Namun komodifikasi yang berlangsung di sini adalah ajaran-ajaran tersebut ditampilkan dalam bahasa yang gaul dan yang menyampaikan bukanlah ustadz atau kyai desa yang tampilannya jauh dari kesan modis.Â
Sebenarnya penonton muslim hanya mendapatkan "sesuatu yang berulang" dari tayangan siraman rohani atau pengajian via televisi. Apa-apa yang disampaikan guru ngaji diulang oleh para ustadz di televisi tetapi para penonton disuguhi citra dari para ustadz yang ganteng, modis, dan parlente itu.
Beberapa ustadz muda, misalnya, dalam setiap acara pengajian di televisi swasta nasional dicitrakan dengan ustadz muda yang berwajah ramah, murah senyum, serta selalu menaburkan nilai-nilai humanis dalam praktik sosial dan ibadah Islam. Tidak lupa simbol-simbol formal Islam, seperti surban dan baju muslim yang modis melekat dalam setiap penampilannya.Â
Mereka sangat pandai menyampaikan ceramah dengan retorika bahasa gaul. Tentu sangat berbeda dengan apa-apa yang diajarkan oleh para kyai di pesantren tradisional.Â
Para penonton sebenarnya tidak banyak tahu latarbelakang para da'i muda di televisi dengan performa gaul, pakaian trendy (dari songkok, baju, hingga celana). Dalam tampilan di televisi swasta, biasanya menjelang adzan Maghrib, para selalu dicitrakan berada dalam sebuah taman, danau, atau gubug yang terasa menedukan.
Dalam konteks itulah sebenarnya telah berlangsung negosiasi yang sinergis antara media televisi dengan para ustadz dalam tayangan-tayangan siraman rohani yang mengkomodifikasi ajaran Islam.Â
Realitas televisual ini bisa dibaca sebagai penegasan secara ajeg nilai keislaman dan cenderung mengulangi dalam televisi melalui tampilan-tampilan trendy dan modis para ustaz/ustazahnya. Tentu saja, popularitas tayangan mereka juga mengalirkan keuntungan finansial bagi para ustadz dan juga pihak stasiun televisi karena membanjirnya para pemasang iklan.Â
Dampak lanjutnya adalah terciptanya representasi baru wajah tokoh dalam konteks media yang diwarnai gaya hidup glamor dan bernuansa kapitalistik.
Komodifikasi dalam format massif dan standard bagaimanapun juga akan menghasilkan satu tayangan yang terus menegaskan nilai keislaman bagi para penonton muslim, sehingga secara implisit para pelaku yang terlibat di dalamnya berusaha menjadikan keislaman sebagai tampilan hegemonik di media. Inilah karakter komodifikasi media dalam konteks industri budaya.Â
Komodifikasi dalam industri budaya menurut Thompson (2006: 155) menghadirkan produk yang mengkonstruksi simbol yang dibentuk berdasarkan formula yang dibangun sebelumnya dan diisi dengan stereotip setting, karakter, dan tema tertentu.Â