Anak itu menoleh.
"Ada apakah, Kawan?"
"Kita coba peruntungan di sini. Kulihat cukup ramai. Mana tahu kita dapat uang banyak."
Ia menurut, lalu berjongkok. Tangannya meraba-raba ke sekelilingnya.
"Naiklah." Abisai menepuk pundaknya.
Kudaki leher Abisai, lalu bertengger bak jengger di kepala ayam. Dengan hati-hati Abisai berdiri. Kedua tangannya menggenggam erat kakiku yang panjangnya hanya sepuluh senti.
Aku mulai meniup harmonika, melantunkan nada dan suara. Orang-orang menghentikan langkahnya dan mulai mengerumuni kami. Â Cara mengamen kami yang tak biasa menarik perhatian mereka. Kutarik napas panjang dan mulai menyanyikan sebuah lagu kesukaanku, Hidup Ini Adalah Kesempatan.
Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan bri
Hidup ini harus jadi berkat
Kupejamkan mata setiap kali mengucapkan syairnya. Pernah Abisai bertanya, mengapa aku selalu memilih lagu yang diciptakan Pdt. Wilhelmus Latumahina ini, di antara banyak tembang yang ada di dunia. Entahlah, aku tak punya jawabannya. Yang kurasa setiap aku menyanyikannya, aku teringat wajah anak-anak panti. Termasuk Abisai. Aku tak hapal darimana saja mereka berasal, kami berbeda-beda namun selalu bersama. Berbagi tawa dan juga dalam nestapa. Itu sudah cukup untuk menyebutnya sebagai keluarga. Dan aku, tak dapat berpangku tangan begitu saja dengan keadaaan mereka.
Seperti biasa sorakan gegap gempita menutup penampilanku di akhir lagu. Senja itu, gelas plastik penyok kami kembali penuh. Uang-uang kertasnya sampai berhamburan jatuh. Aku tersenyum senang. Malam nanti anak-anak panti dapat tidur tenang dengan perut kenyang.
                                                                                                        ***