Mohon tunggu...
Danthy Margareth
Danthy Margareth Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa-Biasa Saja

Dunia dalam Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pahlawan Senja

20 Agustus 2020   12:45 Diperbarui: 20 Agustus 2020   14:55 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tubuhku terhempas, lalu mencium aspal. Dunia berputar-putar dan pandanganku memudar. Cairan hangat merah kental melintasi mataku. Samar-samar kulihat sesosok wanita mendekat ke arahku. Ia mengulurkan tangannya kepadaku. Ah, sudah bertahun-tahun berlalu tapi wajah cantiknya tak kunjung juga pudar. Sosok itu, yang membuatku setia menunggu di depan pintu dengan perasaan rindu. Sosok yang akan menjemputku pulang.

"Kaukah itu, Mak?"

Air mataku menetes. Baunya anyir. Sekujur tubuhku terasa perih. Kuangkat tanganku dengan sisa tenaga yang kupunya. Jari-jariku bergetar menyambut uluran tangannya.

"Kita pulang, Nak."

Ia tersenyum lembut. Betapa indahnya senyum itu. Senyum pertama mamak untukku. Kubalas senyuman itu dengan penuh bahagia hingga mataku tak lagi sanggup terbuka. Tak kuhiraukan teriakan lamat-lamat Abisai yang akhirnya menghilang. Bersama mamak, aku membumbung tinggi menuju langit senja.

                                                                                                                                                                                                                ***

Jakarta, 2017

Mata saya tak lepas memandangi komputer hitam itu. Sepuluh tahun lalu Bang Ucok mengantarkannya ke panti karena Lamhot tak kunjung datang mengambilnya. Bang Ucok bilang, komputer itu telah lunas. Dibayar Lamhot dengan menukar sebuah liontin emas. Ia tahu uang saya takkan pernah cukup untuk membelinya.

Karena komputer itu, saya menjadi lulusan terbaik dan dapat beasiswa di sekolah kedokteran. Karena komputer itu, saya mengenal pendonor yang baik hati sehingga mata saya dioperasi. Dan karena komputer itu, cerita tentang kepahlawanan Lamhot menyebar luas. Panti terus dialiri donatur dan tak pernah kekeringan uang. Kini anak-anak panti tak lagi harus menunggu saya pulang dengan nasi bungkus di tangan. Mereka tinggal di rumah yang nyaman dan disekolahkan. Kini saya berdiri dengan jas putih impian, siap menyembuhkan orang-orang di kampung halaman. 

Saya memasukkan komputer hitam itu ke dalam mobil. Malam ini saya akan membawanya pulang ke Papua. Komputer itu akan mendampingi pengabdian saya di sana.

Di depan pintu mata saya menjelajahi isi panti yang kosong untuk terakhir kalinya. Pandangan saya lalu berpindah ke sepanjang kali di depan panti. Cahaya senja terpantul di permukaannya, membuat air kali tampak berkilau berseri-seri. Persis seperti apa yang telah dilakukan Lamhot kepada saya dan anak-anak di panti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun