"Kau saudaraku," jawabku.
"Tapi tak sedarah," sanggahnya.
Aku tertawa. "Kau tahu, di kampungku dulu mengawinkan ayam saja bisa jadi saudara, apalagi sama manusia."
Abisai menundukkan kepalanya.
"Saya tak tahu gimana harus balas budi. Kawan Lamhot terlampau baik selama ini."
"Tak perlu." Aku menghela napas. "Hanya ... jangan lupakan panti. Tetaplah jadi keluarga kami," pintaku kepadanya.
Dengan suara bergetar Abisai berujar, "Terima kasih. Kawan." Air matanya lalu bercucuran bak rintik hujan di sore hari. Senja itu persahabatan kami semakin rekat, semangatnya menguat. Lalu kuajak ia untuk beranjak. Ada yang harus kuberikan sebelum hari mulai gelap.
"Masih ada yang ingin kutunjukkan lagi. Ayo kita pergi," ajakku.
Dengan gembira ia mengikutiku, menggunakan tongkat barunya. Kami membelah jalan-jalan. Akan tetapi, saat hendak menyeberang, seseorang menabrak bahu Abisai dengan keras. Anak itu kehilangan keseimbangan, terlempar dari trotoar ke tengah jalan. Abisai kebingungan, berusaha mencari pegangan. Sementara dari arah berlawanan, sebuah bus berlari ugal-ugalan. Kukenali wajah pengemudinya, sopir gila itu lagi. Ia terkejut dengan kemunculan Abisai yang tiba-tiba di dekat moncong bus tuanya. Suara decit nyaring kembali terdengar. Namun kini terlambat ...
"Tidaaak!" jeritku.
Spontan aku berlari. Sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi. Kedua kakiku dapat berfungsi tanpa harus ditopang tangan sama sekali. Kuayunkan langkah sekencang mungkin lalu melompat, mendorong tubuhnya kuat-kuat. Untuk pertama kalinya aku merasakan kaki yang sempurna. Jadi seperti inikah rasanya memiliki tubuh tak bercela? Mungkin Tuhan memberikan kesempatan itu sekali, demi menyelamatkan hidup sahabatku sendiri.