Tiba-tiba sebuah hentakan keras mendarat di perut saya, menyodok ulu hati hingga terasa ingin muntah. Saya pun jatuh tersungkur.
"Berhenti, jangan sakiti dia!" seru Lamhot.
Saya merasakan tangan-tangan bergerak cepat. Merampas plastik yang sedang dalam genggaman saya. Tongkat pun direbutnya.
"Jangan!" teriak saya.
"Dapat! Ayo, kita pergi!"
Suara derap langkah kaki-kaki itu lalu menjauh dari kami.
Hanya dalam hitungan menit, di hari itu, lenyap seketika semua jerih payah saya, menguap bersama bayangan komputer impian di lapak Bang Ucok. Saya tenggelam dalam kemarahan. Bergulat dengan rasa pilu yang dibalut kekecewaan. Mungkin benar kata orang-orang. Saya terlalu banyak berkhayal, bermimpi terlalu besar. Orang cacat takkan mampu membantu orang lain. Menolong diri sendiri saja tidak bisa.
***
"Ikutlah, Kawan,” ajakku kepada Abisai.
Sudah seminggu sejak kejadian itu ia berkurung di dalam kamar. Sore ini aku berencana memberinya kejutan. Ia pasti akan kembali bersemangat.
"Saya di sini saja, Kawan," jawabnya tak bersemangat.