Mohon tunggu...
Danthy Margareth
Danthy Margareth Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa-Biasa Saja

Dunia dalam Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pahlawan Senja

20 Agustus 2020   12:45 Diperbarui: 20 Agustus 2020   14:55 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia bilang, kami sama-sama terbuat dari debu tanah. Nafas kami berembus ke angkasa yang sama. Sayalah kakinya, dialah mata saya. Kami satu tubuh. Jiwa kami berpadu, di bawah atap yang sama. Jadi pantang memalingkan wajah sebagai saudara. Dan tak ada yang lebih besar dari kasih nyawa bagi saudaranya. Kalimat-kalimat itu menjelajahi isi kepala saya. Menabuh gendang telinga di setiap syaraf otaknya. Membangunkan ingatan jeritan pilu berdarah sepuluh tahun lalu.

Jakarta, 2007

"Hidup ini adalah kesempatan … “

Suara tenor Lamhot diselingi tiupan harmonika seakan menggoncang seisi bus kota. Getaran tenggorokannya membuat bulu-bulu kuduk berdiri semua. Bus sebesar itu terasa menciut bak kulit jeruk yang kisut. Seharusnya ia berada di panggung yang megah dengan setelan jas mewah. Bukan menemplok di leher saya macam lampu teplok, apalagi di dalam bus kota reyot berdinding kaleng macam ini.

Para penumpang bersorak saat lagunya diakhiri. Suara tepuk tangan dan siulan riuh berganti. Lantai kasar bus bergoyang-goyang menggelitik kaki saya yang telanjang. Lamhot mulai besar rasa, bersikap bak cacing kepanasan. Tubuhnya membungkuk ke segala sisi hingga kepala kami beradu berkali-kali. Ia seakan lupa kalau kawannya seorang tuna netra yang setengah mati menahan berat tubuhnya, di tengah-tengah laju bus kota yang kencang macam dikejar-kejar setan.

Kaki saya mulai oleng. Mimpi buruk pun terjadi. Pengemudi bus menginjak rem tiba-tiba, mengeluarkan suara berdecit nyaring yang meluluhlantakkan keseimbangan saya. Dalam hitungan detik, saya dan Lamhot terjerembab bersama teriakan para penumpang. Rasa panik mendera. Tangan saya meraba-raba. Saya bernapas lega tatkala Lamhot meletakkannya ke dalam genggaman saya.

"Ini tongkatmu, Kawan. Kau tak apa-apa?"

Belum sempat saya menjawab, sopir bus teriak mengumpat. Sumpah serapah berikut nama-nama penghuni kebun binatang disembur dari mulutnya. Saya dan Lamhot jadi sasaran kemarahan.

"Gara-gara kalian bernyanyi, aku jadi tak konsentrasi. Hampir saja aku menabrak dan kita semua mati. Turun kalian!" bentaknya gusar.

Lamhot menarik tangan saya. "Ayo, cepat."

"Tapi kita belum minta uang," protes saya.

"Biarkan saja. Aku tahu perangai sopir gila itu. Kita sedang sial."

Saya bergegas turun, mengetuk-ngetuk lantai bus dengan tongkat sambil ketakutan. Hampir saja saya terjungkal di tangga kalau tangan Lamhot tak segera menahannya. Di atas trotoar, kaki terasa lemas sementara tangan saya meremas gelas plastik kosong dengan gemas. Hari ini takkan ada gemerincing koin menggelinding di kaleng biskuit saya.

Sudah berbulan-bulan saya menemani Lamhot mengamen, tapi tak ikut bernyanyi.  Tugas saya hanya berdiri. Menopangnya di bahu agar ia kelihatan tinggi. Lamhot bilang, dengan begitu suaranya bisa mengalahkan kebisingan di sekitar kami. Katanya lagi, biar orang-orang mengenalnya sebagai penyanyi.

Uang hasil mengamen saya tabung. Saya mau beli komputer khusus tuna netra. Benda itu ada di lapak barang bekas Bang Ucok, yang jaraknya dari tempat tinggal kami hanya beberapa blok. Harganya tiga juta rupiah. Duit sebesar itu, almarhum bapa dan mama bahkan tak pernah punya. Namun Lamhot bilang, saya harus bisa mengusahakannya. Komputer itu akan mendukung cita-cita saya.

Bayangan jadi dokter menguatkan tekad. Dari kecil saya memimpikan bisa menyembuhkan orang-orang di kampung saya Papua. Mulai dari yang tinggal di pegunungan bersalju sampai ke pesisir pantai yang tak terjamah manusia kota. Biar takkan ada lagi yang bernasib seperti mama, menderita sakit berat tapi tak ada yang menolongnya. Mama meninggal bersama adik saya yang ada di dalam perutnya. Juga takkan ada lagi masalah gizi buruk sehingga anak-anak terlahir tuna netra seperti saya.

Namun orang-orang selalu terpingkal-pingkal setiap mendengar cita-cita saya. Mereka bilang, tak ada cerita orang buta menjadi dokter. Tak mungkin orang yang butuh pertolongan bisa membantu orang lain. Seketika saya merasa kerdil seperti pohon bonsai yang ditanam dalam tanah pot yang dangkal karena kata-kata mereka. Namun Lamhot memarahi saya. Katanya, penyandang cacat juga berhak bermimpi besar, menggapai asa di dalam tubuh yang tak sempurna.

"Mata dunialah yang buta, bukan kau. Jadi kau harus berhasil jadi dokter untuk mencelikkannya," ucap Lamhot menyemangati saya.

Saya dan Lamhot sudah dua tahun berkawan. Pertama kali jumpa saat saya baru tiba dari Pegunungan Tengah Papua. Saya mau melanjutkan SMA di Jakarta. Selama sekolah, saya dititipkan di panti asuhan tempat Lamhot tinggal.

Orang-orang bilang, tubuh Lamhot cuma empat jengkal. Rambutnya ikal, kulitnya sawo matang. Kedua matanya besar, selalu berseri-seri macam orang dapat rezeki setiap hari. Tak pernah saya dengar ia mengeluh dan bersedih. Lamhot selalu gembira, membuat orang-orang di sekitarnya tertawa dengan candanya.

"Ini, makanlah." Suara Lamhot memecah lamunan. Ditempelkannya sebuah plastik ke tangan saya. Rasanya hangat, berminyak. Saya tersenyum lebar. Isi plastik ini setidaknya menghibur hati yang nelangsa karena belum mengantongi rupiah. Dengan membabi buta saya melahapnya, macam baru menemukan batu-batu permata.

                                                                                                                                                                                                          ***

Aku menatapnya kasihan saat ia mengunyah potongan gorengan itu dengan rakus. Namanya Abisai. Perawakannya tinggi kurus. Kulitnya hitam legam, kontras dengan giginya yang putih bersih. Ia pendiam, pemalu, namun cerdas dan pintar. Tak heran kalau sejak kecil selalu dapat beasiswa di sekolah.

Kami sebaya, mungkin. Aku sendiri tak ingat kapan persisnya diriku lahir. Hanya bayang-bayang ngangon kerbau di kampung bersama mamak yang melekat di ingatanku. Juga kenangan mandi dan memancing ikan pora-pora di Danau Toba. Kampungku memang terletak di jantung danau indah itu, nama daerahnya Garoga. Ah, sudah seperti apa rupanya sekarang aku pun tak tahu. Aku rindu sekali pada kampung halamanku.

Sudah bertahun-tahun aku tak pulang kampung. Mamak meninggalkanku di depan pintu panti asuhan saat kami merantau ke Jakarta, bersama sebuah koper butut tua. Mamak bilang, ia hanya mau ke warung nasi buat beli makan siang kami. Aku disuruhnya menunggu menjaga koper itu. Akan tetapi, hingga kini mamak tak kunjung datang menjemputku. Namun hatiku tetap berharap dan menanti, suatu saat mamak menampakkan batang hidungnya dan membawaku pulang.

Aku sangat menyayangi mamak, meski tangannya ringan untuk membuat sekujur tubuhku lebam biru. Mamak selalu memujiku sebagai anak yang  kuat karena sejak di dalam kandungan, aku tahan digempur obat-obat. Hanya sepasang kakiku saja yang tak selamat. Mamak juga ibu yang hebat. Ia merawatku seorang diri, bapakku tak jelas rimbanya. Pernah sekali kutanya tentang bapak, tapi mata mamak malah membesar, urat-uratnya menonjol keluar.

"Jangan lagi kau tanyakan itu. Aku tak tahu yang mana Bapakmu."

Satu-satunya pengobat rindu adalah sebuah liontin emas yang kutemukan di koper tua. Ada foto mamak di dalam bandul hati kalung itu. Kuingat mamak memakainya setiap ada hajatan di kampung dulu. Liontin itu cocok sekali di lehernya, membuatnya semakin terlihat menawan. Entah kenapa kalung itu bisa ada di koper butut itu, mungkin mamak lupa mengambilnya. Liontin emas itu akan kujaga sepenuh hati, sampai di hari nanti kami dipertemukan kembali. Namun sebelum tiba saat itu, aku harus jadi penyanyi terkenal. Biar mamak bangga dan tak malu lagi mengakuiku sebagai anaknya.

Tak terasa cakrawala mulai bergurat jingga. Senja telah datang. Di pinggir kali kunikmati kilaunya melebur di permukaan air yang hitam. Sinarnya bak pelita yang menerangi kegelapan. Kali yang jorok dan kumal menjadi indah berseri-seri. Ah, pemandangan inilah yang kusuka, menyiratkan harapan di dalam kesesakan.

Sepanjang hari ini serupiah pun belum kukantongi. Malahan keluar uang demi gorengan untuk Abisai. Sejak pagi anak itu belum makan, aku tak tega melihatnya. Namun aku juga tak mungkin pulang dengan tangan hampa. Kasihan anak-anak di panti. Kubayangkan wajah-wajah mungil penuh harap berbaris di pintu menanti kami. Mereka butuh sebungkus nasi untuk membunuh rasa nyeri di perut yang belum terisi.

Panti asuhan kami sangatlah sederhana-tidak, miskin tepatnya. Letaknya di pinggir kali dengan sekotak jamban di atasnya. Hembusan angin seringkali menerbangkan aroma busuk air kali hingga masuk ke dalam kamar kami. Saat musim hujan, tak hanya bau busuk yang datang. Air kali menguap, menggenangi lantai panti bersama gumpalan-gumpalan cokelat tinja manusia.

Tak banyak yang dapat dilakukan oleh pengurus panti. Mereka kesulitan mendapat pendonor untuk membiayai perawatan panti kami. Katanya, donatur lebih banyak mengalirkan dana ke panti-panti besar.

Kuayunkan tubuh ke depan dengan menghentakkan kedua tangan di jalan. Jari-jari tanganku yang kecil mengapit sepasang sandal jepit. Begitulah caraku berjalan. Orang-orang memandangiku dengan heran seperti bertemu mahluk jadi-jadian. Namun tatapan mereka tak kuhiraukan. Kasihan mereka, tak terbiasa melihat orang lain yang berbeda. Langkahku terhenti saat melintas di depan jembatan tua. Kupanggil Abisai.

"Abisai!"

Anak itu menoleh.

"Ada apakah, Kawan?"

"Kita coba peruntungan di sini. Kulihat cukup ramai. Mana tahu kita dapat uang banyak."

Ia menurut, lalu berjongkok. Tangannya meraba-raba ke sekelilingnya.

"Naiklah." Abisai menepuk pundaknya.

Kudaki leher Abisai, lalu bertengger bak jengger di kepala ayam. Dengan hati-hati Abisai berdiri. Kedua tangannya menggenggam erat kakiku yang panjangnya hanya sepuluh senti.

Aku mulai meniup harmonika, melantunkan nada dan suara. Orang-orang menghentikan langkahnya dan mulai mengerumuni kami.  Cara mengamen kami yang tak biasa menarik perhatian mereka. Kutarik napas panjang dan mulai menyanyikan sebuah lagu kesukaanku, Hidup Ini Adalah Kesempatan.

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan bri
Hidup ini harus jadi berkat

Kupejamkan mata setiap kali mengucapkan syairnya. Pernah Abisai bertanya, mengapa aku selalu memilih lagu yang diciptakan Pdt. Wilhelmus Latumahina ini, di antara banyak tembang yang ada di dunia. Entahlah, aku tak punya jawabannya. Yang kurasa setiap aku menyanyikannya, aku teringat wajah anak-anak panti. Termasuk Abisai. Aku tak hapal darimana saja mereka berasal, kami berbeda-beda namun selalu bersama. Berbagi tawa dan juga dalam nestapa. Itu sudah cukup untuk menyebutnya sebagai keluarga. Dan aku, tak dapat berpangku tangan begitu saja dengan keadaaan mereka.

Seperti biasa sorakan gegap gempita menutup penampilanku di akhir lagu. Senja itu, gelas plastik penyok kami kembali penuh. Uang-uang kertasnya sampai berhamburan jatuh. Aku tersenyum senang. Malam nanti anak-anak panti dapat tidur tenang dengan perut kenyang.

                                                                                                                                                                                                               ***

Saya menyerahkan seplastik uang kepada Bang Ucok. Dihitungnya dengan cepat, lalu mengembalikannya kepada saya.

"Nah, ambillah kembali."

"Kenapakah?"

"Jumlahnya masih kurang."

"Kurang berapakah?" tanya saya lagi.

Ia menghela napas. "Pokoknya banyak."

"Iya, tapi berapakah?"

Bang Ucok terdiam sesaat. "Pulanglah," jawabnya pendek.

Saya tak puas. Lamhot menarik lengan saya. "Kita pulang saja,"

"Tapi ... " protes saya.

"Nanti lagi ke sini. Kumpulkan dulu uang sebanyak-banyaknya," ujar Lamhot.

Dengan hati mendongkol saya menurutinya. Ini sudah yang kesekian kalinya Bang Ucok tak menerima uang saya. Ia selalu begitu, menolak tapi tak pernah mau menyebut jumlah kekurangannya berapa setiap kali saya serahkan uang.

Dengan lesu saya berjalan pulang. Tinggal dua ratus meter lagi kami tiba di panti saat beberapa orang mencegat langkah kami.

"Serahkan uang kalian,” seorang pria bersuara.

"Siapa kalian?" tanya Lamhot.

"Jangan banyak tanya, berikan saja!" bentaknya.

“Kami tak punya uang,” kata Lamhot.

“Bohong! Tadi kalian hitung uang di plastik itu. Berikan!”

Saya mulai gemetaran. Tangan saya mendekap plastik erat-erat.

“Enyahlah!" usir Lamhot.

Keributan terdengar. Lamhot mengaduh kesakitan.

"Lamhot, Kawan!" Saya berteriak panik, tongkat saya mengetuk-ngetuk udara ke segala arah.

Tiba-tiba sebuah hentakan keras mendarat di perut saya, menyodok ulu hati hingga terasa ingin muntah. Saya pun jatuh tersungkur.

"Berhenti, jangan sakiti dia!" seru Lamhot.  

Saya merasakan tangan-tangan bergerak cepat. Merampas plastik yang sedang dalam genggaman saya. Tongkat pun direbutnya.

"Jangan!" teriak saya.

"Dapat! Ayo, kita pergi!"

Suara derap langkah kaki-kaki itu lalu menjauh dari kami.

Hanya dalam hitungan menit, di hari itu, lenyap seketika semua jerih payah saya, menguap bersama bayangan komputer impian di lapak Bang Ucok. Saya tenggelam dalam kemarahan. Bergulat dengan rasa pilu yang dibalut kekecewaan. Mungkin benar kata orang-orang. Saya terlalu banyak berkhayal, bermimpi terlalu besar. Orang cacat takkan mampu membantu orang lain. Menolong diri sendiri saja tidak bisa.

                                                                                                                                                                                                                ***

"Ikutlah, Kawan,” ajakku kepada Abisai.

Sudah seminggu sejak kejadian itu ia berkurung di dalam kamar. Sore ini aku berencana memberinya kejutan. Ia pasti akan kembali bersemangat.

"Saya di sini saja, Kawan," jawabnya tak bersemangat.

"Ayolah. Kau butuh udara segar.”

Kutarik kedua tangannya kuat-kuat hingga ia hampir terjatuh dari tempat tidur. Dengan terpaksa ia mengikutiku keluar.

"Mau kemanakah, Kawan?" tanyanya penasaran.

"Ikutlah saja."

Kami berjalan menyusuri kali lalu berhenti di sebuah warung kopi. Kupesan susu cokelat dan roti bakar untuk kami. Sambil menanti pesanan, kusodorkan sebuah bungkusan cokelat tua ke tangan Abisai.

"Apa ini?" tanyanya.

"Bukalah."

Ia merobek kertas pembungkusnya, mengeluarkan isinya. Diraba-rabanya permukaannya. Ia terkejut saat mengetahui benda pemberianku. Sebuah tongkat penuntun baru.

"Ini ... darimana Kawan Lamhot dapat uang untuk ini?" Abisai tak berhenti mengelusnya. 

"Bukan kau saja yang punya simpanan, Kawan," kataku tersenyum sambil menepuk pundaknya.

"Kita sama-sama orang susah. Kenapa Kawan Lamhot sudi lakukan ini?" Abisai tampak bingung.

"Kau saudaraku," jawabku.

"Tapi tak sedarah," sanggahnya.

Aku tertawa. "Kau tahu, di kampungku dulu mengawinkan ayam saja bisa jadi saudara, apalagi sama manusia."

Abisai menundukkan kepalanya.

"Saya tak tahu gimana harus balas budi. Kawan Lamhot terlampau baik selama ini."

"Tak perlu." Aku menghela napas. "Hanya ... jangan lupakan panti. Tetaplah jadi keluarga kami," pintaku kepadanya.

Dengan suara bergetar Abisai berujar, "Terima kasih. Kawan." Air matanya lalu bercucuran bak rintik hujan di sore hari. Senja itu persahabatan kami semakin rekat, semangatnya menguat. Lalu kuajak ia untuk beranjak. Ada yang harus kuberikan sebelum hari mulai gelap.

"Masih ada yang ingin kutunjukkan lagi. Ayo kita pergi," ajakku.

Dengan gembira ia mengikutiku, menggunakan tongkat barunya. Kami membelah jalan-jalan. Akan tetapi, saat hendak menyeberang, seseorang menabrak bahu Abisai dengan keras. Anak itu kehilangan keseimbangan, terlempar dari trotoar ke tengah jalan. Abisai kebingungan, berusaha mencari pegangan. Sementara dari arah berlawanan, sebuah bus berlari ugal-ugalan. Kukenali wajah pengemudinya, sopir gila itu lagi. Ia terkejut dengan kemunculan Abisai yang tiba-tiba di dekat moncong bus tuanya. Suara decit nyaring kembali terdengar. Namun kini terlambat ...

"Tidaaak!" jeritku.

Spontan aku berlari. Sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi. Kedua kakiku dapat berfungsi tanpa harus ditopang tangan sama sekali. Kuayunkan langkah sekencang mungkin lalu melompat, mendorong tubuhnya kuat-kuat. Untuk pertama kalinya aku merasakan kaki yang sempurna. Jadi seperti inikah rasanya memiliki tubuh tak bercela? Mungkin Tuhan memberikan kesempatan itu sekali, demi menyelamatkan hidup sahabatku sendiri.

Tubuhku terhempas, lalu mencium aspal. Dunia berputar-putar dan pandanganku memudar. Cairan hangat merah kental melintasi mataku. Samar-samar kulihat sesosok wanita mendekat ke arahku. Ia mengulurkan tangannya kepadaku. Ah, sudah bertahun-tahun berlalu tapi wajah cantiknya tak kunjung juga pudar. Sosok itu, yang membuatku setia menunggu di depan pintu dengan perasaan rindu. Sosok yang akan menjemputku pulang.

"Kaukah itu, Mak?"

Air mataku menetes. Baunya anyir. Sekujur tubuhku terasa perih. Kuangkat tanganku dengan sisa tenaga yang kupunya. Jari-jariku bergetar menyambut uluran tangannya.

"Kita pulang, Nak."

Ia tersenyum lembut. Betapa indahnya senyum itu. Senyum pertama mamak untukku. Kubalas senyuman itu dengan penuh bahagia hingga mataku tak lagi sanggup terbuka. Tak kuhiraukan teriakan lamat-lamat Abisai yang akhirnya menghilang. Bersama mamak, aku membumbung tinggi menuju langit senja.

                                                                                                                                                                                                                ***

Jakarta, 2017

Mata saya tak lepas memandangi komputer hitam itu. Sepuluh tahun lalu Bang Ucok mengantarkannya ke panti karena Lamhot tak kunjung datang mengambilnya. Bang Ucok bilang, komputer itu telah lunas. Dibayar Lamhot dengan menukar sebuah liontin emas. Ia tahu uang saya takkan pernah cukup untuk membelinya.

Karena komputer itu, saya menjadi lulusan terbaik dan dapat beasiswa di sekolah kedokteran. Karena komputer itu, saya mengenal pendonor yang baik hati sehingga mata saya dioperasi. Dan karena komputer itu, cerita tentang kepahlawanan Lamhot menyebar luas. Panti terus dialiri donatur dan tak pernah kekeringan uang. Kini anak-anak panti tak lagi harus menunggu saya pulang dengan nasi bungkus di tangan. Mereka tinggal di rumah yang nyaman dan disekolahkan. Kini saya berdiri dengan jas putih impian, siap menyembuhkan orang-orang di kampung halaman. 

Saya memasukkan komputer hitam itu ke dalam mobil. Malam ini saya akan membawanya pulang ke Papua. Komputer itu akan mendampingi pengabdian saya di sana.

Di depan pintu mata saya menjelajahi isi panti yang kosong untuk terakhir kalinya. Pandangan saya lalu berpindah ke sepanjang kali di depan panti. Cahaya senja terpantul di permukaannya, membuat air kali tampak berkilau berseri-seri. Persis seperti apa yang telah dilakukan Lamhot kepada saya dan anak-anak di panti.

Sejenak saya terkenang sebuah lagu kesukaan Lamhot. Ah, lagu itu memang cocok untuknya. Ia adalah pahlawan kami, seorang pejuang langit senja yang sejati. Telah ditebusnya masa depan kami dengan mengorbankan hidupnya sendiri. Saya pun menyanyikan lagu itu dengan penuh rasa haru. Tubuh saya bergetar, air mata membasahi setiap kata dalam baitnya.

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan bri
Hidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupku, selagi aku masih kuat
Bila saatnya nanti ku tak berdaya lagi
Hidup ini sudah jadi berkat

Selamanya, Kawan Lamhot. Kita bersaudara. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun