"Biarkan saja. Aku tahu perangai sopir gila itu. Kita sedang sial."
Saya bergegas turun, mengetuk-ngetuk lantai bus dengan tongkat sambil ketakutan. Hampir saja saya terjungkal di tangga kalau tangan Lamhot tak segera menahannya. Di atas trotoar, kaki terasa lemas sementara tangan saya meremas gelas plastik kosong dengan gemas. Hari ini takkan ada gemerincing koin menggelinding di kaleng biskuit saya.
Sudah berbulan-bulan saya menemani Lamhot mengamen, tapi tak ikut bernyanyi. Â Tugas saya hanya berdiri. Menopangnya di bahu agar ia kelihatan tinggi. Lamhot bilang, dengan begitu suaranya bisa mengalahkan kebisingan di sekitar kami. Katanya lagi, biar orang-orang mengenalnya sebagai penyanyi.
Uang hasil mengamen saya tabung. Saya mau beli komputer khusus tuna netra. Benda itu ada di lapak barang bekas Bang Ucok, yang jaraknya dari tempat tinggal kami hanya beberapa blok. Harganya tiga juta rupiah. Duit sebesar itu, almarhum bapa dan mama bahkan tak pernah punya. Namun Lamhot bilang, saya harus bisa mengusahakannya. Komputer itu akan mendukung cita-cita saya.
Bayangan jadi dokter menguatkan tekad. Dari kecil saya memimpikan bisa menyembuhkan orang-orang di kampung saya Papua. Mulai dari yang tinggal di pegunungan bersalju sampai ke pesisir pantai yang tak terjamah manusia kota. Biar takkan ada lagi yang bernasib seperti mama, menderita sakit berat tapi tak ada yang menolongnya. Mama meninggal bersama adik saya yang ada di dalam perutnya. Juga takkan ada lagi masalah gizi buruk sehingga anak-anak terlahir tuna netra seperti saya.
Namun orang-orang selalu terpingkal-pingkal setiap mendengar cita-cita saya. Mereka bilang, tak ada cerita orang buta menjadi dokter. Tak mungkin orang yang butuh pertolongan bisa membantu orang lain. Seketika saya merasa kerdil seperti pohon bonsai yang ditanam dalam tanah pot yang dangkal karena kata-kata mereka. Namun Lamhot memarahi saya. Katanya, penyandang cacat juga berhak bermimpi besar, menggapai asa di dalam tubuh yang tak sempurna.
"Mata dunialah yang buta, bukan kau. Jadi kau harus berhasil jadi dokter untuk mencelikkannya," ucap Lamhot menyemangati saya.
Saya dan Lamhot sudah dua tahun berkawan. Pertama kali jumpa saat saya baru tiba dari Pegunungan Tengah Papua. Saya mau melanjutkan SMA di Jakarta. Selama sekolah, saya dititipkan di panti asuhan tempat Lamhot tinggal.
Orang-orang bilang, tubuh Lamhot cuma empat jengkal. Rambutnya ikal, kulitnya sawo matang. Kedua matanya besar, selalu berseri-seri macam orang dapat rezeki setiap hari. Tak pernah saya dengar ia mengeluh dan bersedih. Lamhot selalu gembira, membuat orang-orang di sekitarnya tertawa dengan candanya.
"Ini, makanlah." Suara Lamhot memecah lamunan. Ditempelkannya sebuah plastik ke tangan saya. Rasanya hangat, berminyak. Saya tersenyum lebar. Isi plastik ini setidaknya menghibur hati yang nelangsa karena belum mengantongi rupiah. Dengan membabi buta saya melahapnya, macam baru menemukan batu-batu permata.
                                                                                                     ***
Aku menatapnya kasihan saat ia mengunyah potongan gorengan itu dengan rakus. Namanya Abisai. Perawakannya tinggi kurus. Kulitnya hitam legam, kontras dengan giginya yang putih bersih. Ia pendiam, pemalu, namun cerdas dan pintar. Tak heran kalau sejak kecil selalu dapat beasiswa di sekolah.