Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Drama

Ducth Vader Gerrit Rudolph

7 Maret 2018   20:52 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:59 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku kedinginan, tuan Muda." Hampir aku terisak mengatakannya, dan Tuan Muda segera beranjak mengambilkan handuk, lalu menyelimutkan ke punggungku.

"Ayo, aku juga sudah selesai. Kata Vader Rudolph tidak baik berandam terlalu lama dalam air, kau akan terkena hipotermia. Kau mungkin hipotermia, Kafka. Lihat tanganmu keriput dan biru."

***

Mama sudah berada di sisi tengah meja makan panjang dengan kebaya putih dan kain jarik cantik dikenakannya sambil mengatur hidangan. Di sisi ujung meja nampak Ayah Rudolph sudah sangat rapih habis mandi, menunggu kami lalu menyapa, "anak-anak."

Mama menyambut kami yang telah berpakaian rapi, Tuan Muda berhambur ke haribaan Ayah Rudolph. Sementara Mama setelah membungkuk membetulkan dasi di kerahku, ia kembali ke rutinitas membawakan makan malam buat Bunda di kamar atas.

Ayah Rudolph bangkit dari kursi membetulkan posisi duduk Tuan Muda Kecil pada tempatnya, lalu melangkah mendekati meja cermin dinding yang mana terdapat gramophone untuk dinyalakannya. Lantunan suara musik eropa dari flat hitam lekas bergema tenang, membuat kau akan terkantuk-kantuk bila disimak secara berkesinambungan.

Tak lama Mama kembali untuk menghabiskan makan malam bersama. Sementara Ayah Rudolph akan meluangkan waktu mendengarkan ocehan Tuan Kecil bercerita mengenai hari yang dilewati kami, ada saat dia menengok ke arahku, sambil tersenyum, bertanya. "Bagaimana harimu, Kafka."

Tapi yang menjawab malah Tuan Kecil, berbicara riang tanpa beban, mewakiliku bercerita tanpa ijin. Menceritakan betapa indah hari-hari yang kulalui seolah berkah yang harus disyukuri. Yang benar saja?!

"Kami berdua selalu bersenang-senang, Ayah."

"Biarkan Kafka bercerita, Tuan Kecilku. Dia punya mulut sendiri tanpa harus kau wakili."

Tuan Kecil menengok ke arahku, seolah penuh rasa bersalah, "apakah aku merebut waktumu berbicara bersama ayah, Kafka." Sebetulnya bukan sedang menunjukan rasa bersalah, tapi raut muka iba. Bahwa aku, patut dibelas-kashihani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun