Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Drama

Ducth Vader Gerrit Rudolph

7 Maret 2018   20:52 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:59 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baiklah...

Bunda memberiku satu kecupan di ubun-ubun, seraya melepas rangkulannya dan aku beranjak menjauh, pamit melangkah menutup pintu dari luar kamar bunda, hendak kembali pada Tuan Muda Kecil di kamar mandi.

Ketika menuruni tangga berkelok di tengah rumah, sesaat aku menengok ke lorong ruangan arah kamar di sebelah sana. "Mama..." Satu pikiran mengusik.

"Kafka." Samar-samar aku mendengar suara Tuan Muda Kecil dari kamar Mandi menyeru. Rumah ini besar, tapi terasa sangat kosong. Meski ada beberapa pembantu di dalam dan luar rumah, hanya Mama yang diizinkan tinggal menetap, selainnya pulang sehabis Ashar.

Langkahku berlanjut menelusuri rumah besar dan megah. Ada suara gramophone terdengar sayup-sayup melintasi ruang demi ruang. Lukisan-lukisan abad Renaisance tiruan yang diimpor dari Eropa, serta perabot rumah kayu berukir-ukir, menambah suasana terasa sangat hening di ruangan bergaya victoria, persis seperti kertas-kertas bergambar yang pernah diceritakan Bunda saat aku bertanya katalog-katalog furniture di meja kamarnya. Semua perabot dan penataanya menuruti selera Bunda yang aristokrat.

Aku benci suara gramophone musik klasik, alunan nada-nada itu seperti kidung pemanggil arwah, suara orkestra tanpa lirik lagu. Vader Rudolph menyukainya. Begitu kata Mama bila sedang bercerita sambil menyisir rambutku saat pergi sekolah bersama Tuan Kecil. Memang siapa yang bertanya, itu terdengar mengerikan, Mama.

Seolah mengendap-ngendap, satu dua tiga langkah, terasa berat. Alunan musik hantu Eropa itu terdengar menjijikan, seperti lengguh suara-suara terdengar betina meradang, sampai membuat jengah pendengaran.

Ini bukan ilusi, gambaran itu nampak jelas, "Ayah Rudolph sudah pulang." Sepertinya sudah dari tadi. Tentu saja aku mengingat setiap detail sosok lelaki itu, melihat lebih banyak dari yang pernah disaksikan Tuan Muda Kecil putra semata wayangnya dan selalu mengaku, "aku sangat tahu Ayahku, Kafka."

Tapi aku lebih bisa melihatnya dari berbagai sisi, sialan!

Selain seorang dokter dan baik hati, lelaki terhormat dari kalangan Bangsawan Holland serta baik budi terhadap inlander, atau pribumi.

"Aku tidak ingin mendengar itu, Tuan Muda Kecilku." Kenyataanya, aku dan Mama tak lebih babu kalian, perabot di antara rumah megah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun