Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Drama

Ducth Vader Gerrit Rudolph

7 Maret 2018   20:52 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:59 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kafka!" Teriak lelaki itu mengejar lalu menangkap tubuhku yang dengan mudah dijawil tangannya, hingga tubuh mungilku mengayun di sisi pinggang lelaki itu. Secepat kemudian lelaki itu menarikku dari deburan air pantai dan melemparkanku ke pasir.

"Kafka!" Matanya melotot, mata hijau Hollander yang sangat terbiasa merasa paling menguasai. Sebelum lelaki itu bicara padaku, ia menghardik Tuan kecil, "Tinggalkan Ayah bersama Kafka, Tuan Kecil!"

Saat anak kecil itu menunjukan keengganan, pandangan Ayah Rudolph menjadi lebih tajam ke arahnya, "kau sudah berjanji." Untuk bersikap baik, maksudnya. Dan anak kecil itu seperti lilin meleleh, membalik badan pasrah merasa kesal seperti kehilangan mainan.

Kami bertatapan, dan aku beranikan diri mengucapkan sesuatu yang tabu diucapkan, "Apa aku harus mengikuti Tuan Kecil, .... Vader?!"

Vader? Ayah! Kami tahu dan memahami ada bagian tabu yang tak dapat begitu saja diungkapkan secara wajar dan leluasa, Vader, Ayah Rudolph. Sepenggal saja kalimat itu terpisah, artinya aku adalah anaknya, bila menggabungkannya di tetap mendapat panggilan ayah sebagaimana haknya, tanpa lingkungannya tahu siapa aku sebetulnya. Aku tahu ada hakku di antara penggalan frase itu. Dan seperti aku menghendaki hal itu saja, dengan manafikan bahwa aku menolaknya.

Sudah terlalu banyak rahasia dalam kehidupan keluarga Tuan Rudolph ini, semua seolah senyap dan lenyap, dan tiap orang yang bersamanya seolah menempati ruang demi ruang yang saling terpisah, sementara hanya lelaki ini seorang yang memiliki kunci tiap ruang-ruangnya, leluasa sendiri.

Ia berkata, "kau membenciku?" Tatapannya heran, seolah bertanya mengapa prilakuku berubah menjadi begitu memberontak?

Lelaki itu berlutut mendekatiku yang terjengkang di atas pasir, mengulurkan tangan. Saatnya aku menjawab pertanyaan, dan tuan ini memang tak pernah suka menunggu. Aku jawab, "aku mensyukuri kehadiranmu, Ayah Rudolph."

Dan dia bukan orang bodoh yang tak lekas mengenali ketidak-tulusan lewat nada suaraku. Ia berkata, "Baiklah anak muda, jika kau cukup tangguh. Manfaatkan aku dalam hidupmu untuk menjadi lebih tangguh, lalu bunuh aku jika sudah merasa sanggup. Aku akan membantumu menjadi lebih kuat, jangan lakukan sekarang." Lalu ia menyentuh pundakku, "buat dirimu kuat dan lawanlah aku. Sebelum memberontak bodoh, anak muda!"

Lelaki itu mengingatkan betapa kerdilnya aku. Bukan sebatas aku, juga semua orang di sisinya sengaja dibuat lemah untuk menjadi bagian barang-barang yang dikoleksinya, ibarat dunia dalam deorama. Sepertinya aku berhadapan dengan orang sinting.

Kami terdiam, deru suara ombak berdebur kencang menampar pesisir pantai, burung dara memekik di atas lintasan angkasa, senja sudah mulai menguning. Kami hanya saling menatap, dia berujar, "ada saatnya kau mengerti kelak, karena kau adalah lelaki juga, sama sepertiku!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun