Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Drama

Ducth Vader Gerrit Rudolph

7 Maret 2018   20:52 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:59 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum aku menyebutkan satu nama itu, tangan Mama melayang, membuatku tututp mata.

Ayah Rudolph menahan tangan Mama dari memukulku ke sekian kali, lelaki itu muncul tiba-tiba dan menghentikan semuanya.

Mama menangis dalam pelukan Ayah Rudolph, dan mengingatkan aku agar minta maaf terhadap Mama. Tentu saja aku menuruti.

"Besok kau harus menemui Bunda untuk diberikan nasihat bagaimana supaya dapat bersikap lebih patut." Lalu terdengarlah kalimat yang sangat merendahkan martabatku, "Kau dididik dengan pendidikan terbaik seperti Tuan Kecilku, Kafka. Bukan seperti anak-anak buas dari lingkunganmu berasal. Tahukah perbuatanmu itu membuat Mamamu sangat bersedih?"

Ujaran tajam yang sengaja dilontarkan demi membuatku merasa tidak berdaya, mengiyakan semuanya, bahwa akulah dalam hal ini yang paling bersalah.

Ayah Rudolph berlutut mensejajarkan tubuh denganku. Dia bilang, "aku mencintaimu." Lalu merengkuhku dalam pelukannya, "Ayah Rudolph berharap kau menjadi anak yang baik, bukan untukku tapi untukmu." Dan ia membuat semua ini seolah untuk kepentinganku, kebaikanku. Tentu saja aku percaya, karena entah apa yang harus aku percayai selain dari pada apa yang mereka katakan.

Malam panjang dimulai, sementara Tuan Kecil terlelap damai dalam tidurnya tak tahu apapun selain dunia yang diciptakan sempurna untuknya, dan aku tak enak tidur bergulingan di atas ranjang berselimut mantal halus, tak sanggup memejamkan mata.

Sayup-sayup masih terdengar suara Ayah Rudolph menenangkan segukan tangis Mama, berkata, "Semua akan baik-baik saja. Kafka hanya perlu didik menjadi anak lelaki yang lebih memahami adab, Mama." Iya, Vader Rudolph selalu memanggil mamaku, Mama! Berbeda dari budaya Kolonial para dutch yang memaggil wanita seperti mamaku, dengan sebutan Nyai.

Besok tentu aku sudah tiba di ruangan Bunda yang duduk meminum tea di sebuah kursi bersandaran jangkung membentuk kanopi, menyongsong kedatangaku seperti kelinci di tengah padang sabana yang ketakutan karena merasa sendirian.

Tuan Kecil yang bermain piano menemani diminta berhenti, meninggalkan kami. Seharusnya ini adalah kualitas waktu Bunda bersama putranya tersebut. Sekali lagi, mereka sengaja memilihkan waktu tidak tepat demi membuatku terkesan menjadi seorang pengganggu. Demi apa? Supaya semakin membuatku tampak bersalah, aku itu seorang pengganggu.

Dia membuka pembicaraan dengan merentangkan tangan, menyapa, "Sayangku, Kafka." Lalu bertanya tentang permainan pino putranya, apakah aku mendengar sedikit dan bagaimana permainannya. Aku jawab sangat baik, bahwa Tuan Muda sangat berbakat. Seperti aku peduli saja. Itu mengapa aku tidak bisa beramin piano, karena menolak ikut pelatihan kursus dari guru private yang didatangkan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun