Mohon tunggu...
Black Diamond
Black Diamond Mohon Tunggu... -

Warga biasa yang ingin berpartisipasi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Ahok Bukan Fatwa, Benarkah Surat Al Maidah Ayat 51 tentang Pemilihan Pemimpin?

12 November 2016   15:25 Diperbarui: 4 April 2017   17:09 13491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa, 11 Oktober 2016, MUI mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan tentang kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih dikenal dengan Ahok.

Pendapat danSikap Keagamaan MUI terdiri dari 5 point diantaranya adalah :

---------------------

1. Al-Quran surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin.

2. Ulama wajib menyampaikan isi surah al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib.

3. Setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin.

4. Menyatakan bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.

5. Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.

Berdasarkan hal di atas, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

----------------------

Sebagian orang menganggap Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tersebut adalah Fatwa MUI. Bahkan untuk mencari dukungan, beberapa pengurus MUI mengatakan bahwa sikap MUI tersebut adalah Fatwa MUI.

Salah seorang Pengurus Pusat MUI, Ust. Bachtiar Nasir bahkan mendirikan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) dan menjadi salah satu pimpinan demo 4 November 2016.

Begitu juga Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain yang dibeberapa media terlihat dalam kata-katanya menganggap bahwa Pendapat dan Sikap tersebut adalah Fatwa MUI.

Rois Syuriah PBNU, KH. Ahmad Ishomuddin melalui tulisan di laman Facebook-nya, mengklarifikasi sikap keagamaan MUI dari Ketua Umum MUI, KH. Ma'ruf Amin yang juga Rais Aam PBNU. Ishomuddin mengungkapkan, pada Rabu, (26/10/2016) siang, ia bersama jajaran Syuriah PBNU mengikuti rapat Syuriah PBNU di Lantai IV Gedung PBNU di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.

Rapat tersebut langsung dipimpin oleh RaisAam, KH.Ma'ruf Amin yang juga Ketua Umum MUI Pusat. "Dalam pengantar rapat tersebut beliau lebih dahulu mengklarifikasi tentang pernyataan sikap keagamaan MUI yang di dunia maya banyak disalah pahami sebagai fatwa MUI," ujarnya. Link

Jika kita lihat pada surat yang diterbitkan oleh MUI tersebut, pernyataan yang benar adalah yang berasal dari Ketua Umum MUI Pusat yaitu KH. Ma’ruf Amin. Itu adalah Pendapat dan Sikap Keagamaan dan bukanlah Fatwa. Entah apa maksud dari sebagian pengurus MUI mengatakan bahwa surat tersebut adalah Fatwa.

Menetapkan fatwa harus memenuhi metode (manhaj) dalam berfatwa.

KH. Ma'ruf Amin dalam konferensi internasional tentang fatwa di Jakarta tahun 2012, pernah mengatakan bahwa salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi  metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh agama.

"Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karena itu, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan," Kata KH. Ma’ruf Amin.

Ada pun metode yang dipergunakan oleh MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath'i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan Manhaji.

Pendekatan Nash Qoth'i dilakukan dengan berpegang kepada nash Al-Qur'an atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash Al-Qur'an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji. Link

Jika kita lihat,  Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tidak ada penjelasan mengenai pendekatan yang dipakai untuk alasan dari keputusan tersebut. Anda bisa membandingkan dengan fatwa lainnya yang telah dikeluarkan MUI. Misalnya Fatwa MUI tentang penolakan Pilkada langsung dan saran agar Gubernur, Bupati, Walikota dipilih oleh DPRD. Disana MUI menjelaskan berbagai hal yang mendasari  keputusan Fatwa. Link

Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI bisa dianggap sebagai pemaksaan tafsir surat Al Maidah Ayat 51

Jika kita lihat isi dari Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI, isinya seperti memaksakan bahwa tafsir surat Al Maidah ayat 51 adalah larangan menjadikan Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin. 

Poin-poin berikutnya memaksakan bahwa umat Islam wajib meyakini bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah panduan dalam memilih pemimpin. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa itu bukan panduan dalam memilih pemimpin bisa dianggap menodai  Al Quran.

Isi surat MUI tersebut menjadi perdebatan di masyarakat.  Apalagi MUI tidak menjelaskan apa alasannya mengambil keputusan tersebut. Tentunya harus dilakukan dengan memasukkan dalil-dalil Al Quran dan Hadist, agar bisa dinilai dan dimengerti oleh masyarakat.

Tidak heran jika ada yang berpendapat bahwa isi dari Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI seperti dibuat untuk melawan Ahok di pengadilan nanti. MUI dinilai mulai masuk dalam arena politik.

Jika mengatakan bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah melarang menjadikan  Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin, bagaimanakah nasib organisasi Islam yang menyatakan boleh menjadikan non Islam sebagai pemimpin dengan persyaratan, seperti NU misalnya.  (Sumber)  Apakah akan dianggap menodai Al Quran? 

Atau juga PKS yang pernah mengeluarkan fatwa boleh memilih pemimpin non Islam saat Pilkada Solo, (Sumber) apakah juga dikatakan menodai Al Quran?  

Atau bagaimana dengan sikap MUI yang dulu pernah mengatakan bahwa jika teruji boleh memilih pemimpin non muslim. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya, KH Amidhan, pada tahun 2012 mengatakan jika sudah teruji maka umat Islam diperbolehkan memilih pemimpin nonmuslim.

"Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim," ujar Amidhan di Jakarta.

Hal itu, kata dia, kalau umat Muslim dihadapkan dua pilihan yakni satu pemimpin Muslim tapi zalim, dan satu lagi pemimpin nonmuslim tapi adil. Maka pilih yang adil.

"Itu kalau ada bukti-buktinya kalau pemimpin nonmuslim itu adil," tegas dia. (Link) Apakah ucapan Ketua MUI saat itu juga bisa dikatagorikan menodai Al Quran?

Atau lebih jauh lagi bagaimana nasib tafsir lainnya seperti tafsir Ibnu Katsir, dan juga terjemahan luar negeri lainnya termasuk terbitan Kerajaan Arab Saudi yang tidak mengartikan bahwa awliya sebagai pemimpin, Apakah bisa dikatakan menodai Al Quran?

Kontroversi mengenai Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI juga mematik kekecewaan berbagai kalangan, tidak terkecuali para “kyai-kyai pinggiran”. Pada acara “Deklarasi Kyai-Kyai Pinggiran” yang digelar di Gedung Joeang 45. "Kami menginginkan negara aman," katanya dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Gedung Joeang 45, Jakarta, Senin, 31 Oktober 2016.

Mereka juga mengatakan bahwa fatwa bisa terindikasi menggiring dan menimbulkan konflik horizontal. "Ini sangat membahayakan mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia. Kami menginginkan tuntutan kami dikabulkan, cabut, dan luruskan," tuturnya. Link

Ketika berselisih pendapat, kembalilah pada dalil Al Quran dan As Sunnah (Hadist).

Allah Ta’ala berfirman:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً)

Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Jika ada perselisihan antara umat mengenai sesuatu hal (misal : tafsir surat Al Maidah ayat 51), maka kembalikan kepada Allah (Al Quran) dan Rasul-Nya (As Sunnah).

Mengambil pendapat ulama yang tidak ada dalilnya berarti menjadikan ulama tersebut sebagai rahib-rahib selain Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah Ta’ala pada surat At Taubah ayat 31.

(اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ)

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah: 31).

Dan ketika Adi bin Hatim radhiallahu’anhu mendengarkan ayat ini, ia berkata: “wahai Rasulullah, sebenarnya kami tidak menyembah mereka”. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

(أليسوا يحلّون ما حرَّم الله فتحلّونه ويحرِّمون ما أحلَّ الله فتحرِّمونه قال: بلى. قال فتلك عبادتهم)

bukankah para rahib itu menghalalkan yang Allah haramkan dan pengikutnya ikut menghalalkannya, lalu para rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu para pengikutnya mengharamkannya?”. Hatim menjawab: “Ya”. Rasulullah bersabda: “Maka itulah bentuk penyembahan mereka“. Sumber

Jika kita mengikuti kemauan ulama ataupun habib yang tidak ada dalilnya dalam Al Quran ataupun As Sunnah (Hadist) maka kita “dianggap” menyembah ulama atau habib tersebut.

Tetapi jika kita mengikuti ulama ataupun habib yang didasari pada Al Quran dan As Sunnah (Hadist), maka kita tetap menyembah Allah SWT karena yang kita jalankan adalah perintah Allah dan bukan perintah ulama ataupun habib tersebut.

Disinilah umat Islam harus cerdas, jangan hanya karena diiming-imingi masuk surga, dan diancam masuk neraka langsung menuruti perintah ulama/habib tanpa mengetahui secara pasti apakah yang kita lakukan perintah Allah atau bukan.

Jika ternyata itu bukan perintah Allah, maka tanpa sadar ia akan masuk ke dalam golongan penyembah selain Allah SWT.

Perbedaan tafsir surat Al Maidah ayat 51

Dikarenakan menurut tafsir Ibn Katsir, surat Almaidah ayat 51 berhubungan langsung dengan 2 ayat berikutnya, maka saya tuliskan tidak hanya surat Al Maidah ayat 51 saja, tetapi jg dengan ayat 52 dan 53.

Menurut tafsir Ibnu Katsir

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian);sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (QS. 5:51) Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. 5:53)” (al-Maa-idah: 51-53)

Pada tafsir Ibnu Katsir, kata awliya diartikan sebagai wali dan pada terjemahan Kementrian Agama RI Indonesia edisi terbaru terbitan tahun 2002 awliya diartikan sebagai teman setia. Pada tafsir terbitan kerajaan Arab Saudi, Madinah Al Munawarah (The Noble Quran) kata awliya diartikan teman, pelindung, penolong (friends. protector, helpers). Tafsir terbitan lainnya (The Glorius Koran) mengatakan bahwa awlia adalah teman (friends).

Hanya tafsir terbitan Departemen Agama RI tahun 1967 saja yang mengartikan pemimpin. (Link)

Namun arti awliya sebagai “pemimpin”  diterbitan tahun 1967 inipun  sudah direvisi (dilakukan penyempurnaan dan perbaikan) oleh Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2002 menjadi “teman setia”. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator. Link

Ini berarti para ulama dan para ahli dibidangnya menganggap kata "pemimpin" dianggap kurang cocok, sehingga dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dengan mengganti kata pemimpin dengan teman setia.

Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia memaksakan bahwa tafsir surat Al Maidah ayat 51 adalah panduan dalam memilih pemimpin?

Bahkan memaksakan dengan mengatakan umat Islam wajib meyakini bahwa ayat tersebut adalah panduan dalam memilih pemimpin.  Dan haram hukumnya jika mengatakan bahwa surat Al Maidah 51 bukan pedoman dalam memilih pemimpin, bahkan dinilai sebagai penistaan terhadap Al Quran.

Sayangnya pada surat Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tersebut tidak disertai oleh dalil-dalil Al Quran ataupun As Sunnah.  Sehingga tidak dapat dinilai apakah pendapatnya itu benar atau salah.

Sebagai umat Islam yang cerdas, kita dilarang mengikuti pendapat ulama yang tidak ada dalilnya, karena mengambil pendapat ulama yang tidak ada dalilnya berarti menjadikan ulama tersebut sebagai rahib-rahib selain Allah. Seperti yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala pada surat At Taubah ayat 31. 

Seharusnya MUI juga melampirkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah agar dapat dinilai apakah pendapatnya itu benar atau salah.

Kisah Umar Ibn Khattab dan Abu Musa pada surat Al Maidah ayat 51

Beberapa ulama yang berpendapat bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah mengenai pedoman dalam memilih pemimpin sebagian besar menggunakan kisah Kalifah Umar Ibn Khattab dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallah anhuma, sebagaimana tersebut dalam tafsir Ibnu Katsir Q.S. Al-Maidah (5): 51, dari riwayat Ibnu Abi Hatim.

Khalifah Umar r.a meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a (gubernur di Bashrah, Irak) untuk menyampaikan laporan pendapatan pengeluaran dalam pengelolaan negara. Saat itu Abu Musa telah mengangkat seorang Nasrani sebagai Katib (sekretaris), dan mereka menghadap kepada Khalifah Umar. Sang Khalifah sangat kagum atas catatan laporan Abu Musa, dan memujinya. Khalifah Umar: “[laporan] Ini sangat rapi, apakah mungkin dia (sekretaris) juga mengkaji catatan laporan di Masjid [Nabawi] yang datang dari Syam (Suriah)”. Abu Musa menjawab, “Dia (sekretaris) tidak diperbolehkan masuk masjid”. Khalifah Umar bertanya, “Apakah dia sedang junub (menanggung hadats besar)?” Abu Musa menjawab, “Tidak, dia seorang Nashrani”. Seketika Khalifah Umar bereaksi keras dan menepuk paha Abu Musa, “keluarkan dia (akhrijuhu)”, lalu membacakan Q.S. Al-Maidah (5): 51.

Link

Kisah Umar Ibn Khattab dab Abu Musa juga ada perselisihan pendapat antar ulama.  Sebagian ulama memakai arti kata “akhrijuhu” adalah keluarkan dia atau usir dia.  Sedangkan sebagian ulama lainnya mengartikan akhrijuhu sebagai pecat dia.

Untuk kasus ini yang lebih masuk akal adalah mengartikan arti akhrijuhu dengan “keluarkan dia/usir dia” dan bukanlah “pecat dia”  Karena kalau kita baca lagi kisah tersebut diatas, sebab dari kemarahan kalifah Umar Ibn Khattab adalah karena Umar baru mengetahui  bahwa sekretaris ini beragama Nasrani setelah disuruh mengkaji catatan laporan di Masjid Nabawi.  Abu Musa saat itu  membawa sekretarisnya yang beragama Nasrani menghadap Umar Ibn Khattab di Madinah. Padahal ada ketentuan bahwa di Madinah hanya diperbolehkan untuk orang-orang Islam saja.

Jika akhrijuhu diartikan sebagai “keluarkan dia” atau “usir dia”, maka Abu Musa akan segera mengeluarkan sekretarisnya itu dari Madinah, karena Madinah memang dikhususkan untuk orang Islam saja. Dan tidak ada pertentangan dikisah tersebut.

Namun jika akhrijuhu diartikan sebagai “pecat dia”, maka Abu Musa hanya akan memecat saja dan tidak segera mengeluarkan sekretarisnya dari Madinah.  Bahkan mungkin saja sekretarisnya kaget dan terguncang karena dia dipecat secara mendadak.  Kemudian karena agak shock dia tidak langsung keluar dari Madinah, mungkin menenangkan diri terlebih dahulu. Ini jelas akan ada pertentangan pada kisah tersebut jika diartikan dengan “pecat dia”.

Pembacaan surat Al Maidah ayat 51 oleh Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa juga bisa bermacam-macam tafsirannya.  Namun bisa juga Umar Ibn Khattab membacakan surat Al Maidah ayat 51 untuk mengingatkan agar Abu Musa lebih berhati hati agar tidak melakukan seperti kisah turunnya surat Al Maidah 51 dimana diceritakan tentang umat Islam yang kurang teguh imannya saat kalah dalam perang Uhud mencoba mencari teman untuk berlindung dengan cara berpindah agama ke agama temannya tersebut.  Untuk hal ini nanti bisa dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Dapatkah kita berpegang pada kisah Umar Ibn Khattab dan Abu Musaal-Asy’ari untuk menafsirkan arti surat Al Maidah ayat 51?

Seperti yang dijelaskan diawal, jika kita berselisih pendapat, maka kembalikan kepada Allah SWT (Al Quran)  dan Rasul-Nya (As Sunnah/Hadist). Kisah tersebut diatas tidak termasuk dalam Al Quran dan As Sunnah/Hadist. Hanya sebatas kisah para sahabat. Dan surat Al Maidah ayat 51 turun jauh sebelum masa Kekalifahan Umar Ibn Khatab. Seperti kita ketahui Khalifah Umar Ibnu Khatab adalah kalifah kedua setelah Nabi Muhammad wafat.  Yaitu setelah masa kalifah Abu Bakar As Siddiq.

Keempat mahjab Ahli Sunnah Wal Jamaah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’I, dan Imam Hambali) sepakat bahwa rujukan yang paling utama adalah Al Quran dan As Sunnah (Hadist Nabi). Jika tidak diketemukan rujukan pada keduanya barulah menggunakan pendapat sahabat Nabi yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah. (Link)

Jadi jelaslah bahwa kita tdk bisa memakai kisah sahabat sebagai rujukan jika ternyata ada kisah dalam Al Quran ataupun As Sunah (Hadist) yang bisa dijadikan rujukan.  Tetaplah rujukan Al Quran dan As Sunnah yang menjadi rujukan utama kita.

Mungkin saja ini menjadi salah satu alasan kenapa para ulama dan para ahli dibidangnya pada tahun 2002 mengganti terjemahan Departemen Agama yang mengartikan awlia sebagai pemimpin, diganti dengan teman setia.  Karena kisah tersebut bukan rujukan utama.

 

Sebab turunnya surat Al Maidah ayat 51-53

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sebab turunnya ketiga ayat tersebut di atas. Namun pendapat yang banyak digunakan adalah pendapat As-Suddi yang menyebutkan :

Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orangdua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah perang Uhud: `Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu lalu saya berlindung padanya,dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya,barangkali ia berguna bagiku jika terjadi sesuatu perkara atau sesuatu hal.’ Sedangkan yang lainnya menyatakan: `Adapun saya,sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di Syam, lalu aku berlindung kepadanya dan memeluk agama Nasrani bersamanya.’Maka Allah SWT berfirmanHai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (al Maidah : 51) hingga beberapa ayat berikutnya.

Pendapat As-Suddi  juga dikisahkan pada tafsir Ibn Katsir tentang surat Al Maidah 51-53. Link

Dari sebab turunnya surat Al Maidah diatas sudah jelas bahwa Surat Al Maidah ayat 51 bukan menceritakan tentang pemilihan pemimpin.  Surat tersebut mengisahkan tentang umat Islam yang saat itu kalah dalam peperangan Uhud melawan pasukan Quraish Mekkah. 

Untuk menyelamatkan diri, orang-orang yang kurang teguh imannya mencoba mencari teman untuk berlindung bahkan demi mengamankan dirinya, mereka berniat pindah agama mengikuti agama temannya tersebut serta meninggalkan umat Islam lainnya. Hanya karena takut mendapat bencana dari kaum Quraish.

Karena hal inilah maka  turun surat Al Maidah ayat 51.  Ayat tersebut melarang umat Islam untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai awliya.  Yaitu sebagai teman setia (tafsir departemen Agama) untuk melindungi atau menolong mereka (friends/protector/helper – Tafsir The Noble Quran)  dengan cara berpindah agama kepada agama temannya tersebut (melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. -Tafsir Al Misbah. Link

Yang dilarang adalah mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai teman yang pertemanannya begitu dekat (teman setia) sehingga tidak ada lagi batas perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan.(berpindah agama) Itu yang dilarang. (Tafsir Al Misbah).Jika hanya teman saja, tidaklah dilarang. 

Jadi surat Al Maidah ayat 51 bukanlah berisi  larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.  Karena  disana tidak ada sedikitpun cerita tentang pemilihan pemimpin. Apalagi dijadikan pedoman untuk pemilihan pemimpin. 

Karena yang dicari oleh kedua orang dalam kisah tersebut bukanlah pemimpin, tetapi mereka mencari teman yang bisa melindungi mereka dengan cara berpindah ke agama temannya tersebut.

Kenapa saya tekankan pada kata “berpindah agama”?  Karena pada kisah tersebut digambarkan secara jelas bahwa mereka mencari perlindungan dengan cara  mengikuti/memeluk agama temannya tersebut (Yahudi dan Nasrani).  Pada saat itu mereka menganggap kalau mereka masih beragama Islam pastilah mereka tetap akan mendapat bencana dari kaum Quraish. Itu sebabnya mereka mengatakan akan masuk ke agama temannya tersebut.

Kisah perang Uhud dan turunnya surat Al Maidah 51 – 53

Kalau kita hubungkan antara surat Al Maidah ayat 51 dengan penyebab turunnya ayat tersebut (Perang Uhud)  maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Perang Uhud adalah perang antara umat Islam dari Madinah melawan suku Quraish dari Mekkah.  Pada perang Uhud ini pasukan umat Islam mengalami kekalahan dari pasukan Quraish Mekkah karena pasukan panah umat Islam melanggar  perintah Nabi Muhammad SAW.

Setelah kekalahan tersebut, untuk melindungi dirinya, umat Islam yang kurang teguh imannya berniat pergi meninggalkan umat Islam untuk mencari perlindungan pada suku yang beragama Nasrani dan Yahudi.  Mereka berniat mencari seseorang yang bisa dijadikan teman sebagai pelindungnya dengan cara berpindah agama mengikuti agama temannya tersebut agar tidak mendapat bencana dari kaum Quraish Mekkah.

Lalu turunlah surat Al Maidah ayat 51:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian);sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.(QS. 5:51)

Ayat tersebut melarang mencari perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani (dengan cara berpindah agama –berdasarkan kisah tadi) karena kaum Yahudi dan Nasrani itu pastinya akan menjadi pelindung (awliya) bagi temannya sendiri.  Jika masih melakukan (mencari perlindungan dengan berpindah agama) maka termasuk golongan mereka.  Dan Allah tidak akan memberi petunjuk pada golongan orang-orang yang zalim.

Pada ayat berikutnya menjelaskan bahwa mereka melakukan itu karena takut mendapatkan bencana (dari kaum Quraish Mekkah)  Dan Allah menjanjikan kemenangan pada Rasul-Nya sehingga mereka menjadi menyesal

Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.(QS. 5:52)

Allah membuktikan kepada kita, bahkan sampai sekarang, bukti bahwa umat Islam pada peperangan melawan kaum Quraish Mekkah dimenangkan oleh umat Islam.  Sampai sekarang kita masih melihat bukti tersebut bahwa Mekkah sampai saat ini masih tunduk dibawah kekuasaan Islam.  Bahkan mereka menjadi salah satu umat Islam yang paling taat bersama dengan umat Islam Madinah.

Kemudian pada ayat berikutnya; 

Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. 5:53)”

Umat Islam lainnya kecewa dengan orang-orang yang mencari perlindungan kepada Yahudi dan Nasrani dengan cara berpindah agama tersebut. Orang-orang itu dahulu bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah akan tetap berada dijalan Islam dan tetap bersama Nabi MuhammadSAW, namun ketika umat Islam mengalami kekalahan mereka malah meninggalkan Islam.

Kenapa pada kisah Asbabul Nuzul tersebut umat Islam yang kurang teguh imannya tersebut memilih berlindung kepada Yahudi dan Nasrani?

Karena bagi umat Islam, agama Yahudi dan Nasrani adalah agama non Islam yang paling dekat dengan agama Islam.  Karena sama-sama merupakan agama wahyu  dari sumber yang sama (Allah SWT).

Kedekatan umat Islam dengan Nasrani terlihat ketika Nabi Muhammad SAW menyuruh sebagian umat Islam untuk hijrah ke negeri Habasyah.

Habasyah adalah sebuah negeri di Afrika yang penduduknya beragama Nasrani dan dipimpin oleh Ashimah an-Najasyi, seorang raja yang adil. Di wilayah kekuasaannya, tidak ada seorang pun yang terzalimi (Sunan al-Kubrá). Hal itu terbukti dari pelayanan yang dilakukan masyarakat Habasyah kepada rombongan pertama kaum Muslim.

Bahkan saat mendengarkan ayat Al Quran yang dilantunkan oleh Ja’far bin Abi Thalib, Raja Najasyi yang beragama Nasrani menitikkan air mata membasahi jenggotnya. Dan berkata kepada kaum Muslim.

Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh Isa adalah bersumber dari satu lentera,” katanya dengan mata yang masih sembap.

Kisah perintah Nabi Muhammad SAW hijrah ke negeri Habasyah ini juga memberi bukti bahwa mencari perlindungan ke orang yang beragama Nasrani itu tidaklah terlarang selama umat Islam tidak berpindah keyakinan atau berpindah agama.  Dan saat tinggal di Habasyah, umat Islam tersebut tetap melakukan kewajiban agamanya sebagai umat Islam.

Kedekatan umat Islam dengan umat Yahudi pun terlihat jelas ketika Nabi Muhammad SAW  saat ke Madinah melihat umat Yahudi berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharam dan kemudian Nabi ikut melakukan puasa karena menghormati  Nabi Musa AS.  Dan beliau memerintahkan umat Islam agar melakukan puasa juga.  Hingga sekarang banyak umat Islam yang melakukan puasa Asyura.

Begitu juga kisah-kisah lain banyak yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga menghormati umat Nasrani dan Yahudi khususnya kaum ahlu dzimmah (ad dzimmi) yaitu umat non Islam (khususnya Nasrani dan Yahudi) yang tinggal di lingkungan Islam.

Jadi alasan umat Islam yang kurang teguh imannya memilih Yahudi dan Nasrani, bukannya agama non Islam yang lainnya, dikarenakan umat Islam merasa lebih dekat dengan Nasrani dan Yahudi karena merasa dari sumber yang sama.

Jika kita memakai arti awliya sebagai pemimpin, maka seolah-olah kita mengambil posisi bermusuhan dengan umat Nasrani dan Yahudi. 

Namun bila kita mengartikan dengan teman setia seperti yang disebutkan diatas, maka umat Islam tidak dalam posisi bermusuhan dengan Nasrani dan Yahudi, semua dalam batas agama masing-masing.

Apa yang dilarang oleh surat Al Maidah ayat 51?

Jadi jika kata awliya diartikan sebagaimana kisah penyebab turunnya surat Al Maidah ayat 51, yaitu :

Sebagai teman setia (tafsir departemen Agama) untuk melindungi atau menolong mereka (friends/protector/helper – Tafsir The Noble Quran)  dengan cara berpindah agama (melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan.-Tafsir Al Misbah)”

 jelaslah bahwa yang terlarang adalah menjadikan mereka sebagai teman setia (yang sangat dekat sekali sampai tidak ada perbedaan dan keyakinan atau sampai membuat kita berpindah agama dan meyakini agama mereka).  Hal itulah yang terlarang. 

Sedangkan jika hanya menjadikan teman saja tanpa meyakini keyakinan mereka (berpindah agama) maka itu tidaklah terlarang.

Ini juga sesuai dengan surat An Nisa ayat 144 :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?

Perhatikan kata-kata “menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Ini tidak ada pertentangan dengan Al Maidah ayat 51 yang saya sebutkan. Yaitu berpindah agama.

Atau juga dengan surat Ali Imran ayat 28 :

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).

Jadi kita boleh menjadikan umat non Muslim menjadi teman kita selama kita tidak meyakini keyakinan mereka dan berpindah agama seperti yang diceritakan pada sebab turunnya surat Al Maidah 51. 

Dan ini lebih mudah diterima akal sehat daripada mengartikan awliya sebagai pemimpin karena akan banyak terjadi pertentangan dengan ayat yang lainnya dan juga dalam kehidupan umat beragama.

Bagaimana sikap kita terhadap Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap kasus Ahok?

Seperti yang dijelaskan di awal, kita dilarang mengikuti kemauan ulama atau habib yang tidak ada dalil Al Quran ataupun Hadist-nya  karena bisa dianggap menyembah ulama ataupun habib tersebut.

Tetapi jika kita mengikuti ulama ataupun habib yang didasari pada Al Quran dan As Sunnah (Hadist), maka kita tetap menyembah Allah SWT karena yang kita jalankan adalah perintah Allah dan bukan perintah ulama ataupun habib tersebut.

Agar Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap kasus Ahok bisa diikuti oleh umat Islam, maka MUI harus menjelaskan dalil Al Quran ataupun Hadist nya agar dapat dinilai apakah hal itu benar atau tidak.

Jika tidak menjelaskan dalil Al Quran dan Hadis, maka bisa saja Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap kasus Ahok ini sama nasibnya dengan fatwa-fatwa MUI lainnya yang juga kurang dihiraukan oleh umat Islam. 

Seperti halnya Fatwa MUI tentang penolakan pilkada langsung yang ternyata tidak diikuti oleh sebagian besar umat Islam Indonesia, (link) bahkan umat Islam dan juga anggota MUI  ikut berperan serta dalam pilkada langsung.

Demikian juga ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang BPJS Kesehatan yang dikatagorikan “haram”  karena tidak sesuai syariah, juga banyak tidak diikuti oleh umat Islam. (link)

Dan yang dikhawatirkan lagi adalah jika Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Ahok ini tidak disertai penjelasan dengan dalil Al Quran dan Hadist, maka nasibnya akan sama dengan Fatwa MUI tentang larangan (haram) merokok di tempat umum yang jelas-jelas kalah dengan “Fatwa”  yang dikeluarkan oleh Pertamina.

MUI melarang merokok di tempat umum, dan dimasukkan dalam katagori haram, tapi masih banyak umat Islam yang merokok ditempat umum.  Namun ketika Pertamina mengeluarkan ‘fatwa” larangan merokok di pom bensin, maka tidak hanya umat Islam saja yang taat, bahkan umat agama lainpun menaatinya.

BLACK DIAMOND

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun