Kedekatan umat Islam dengan umat Yahudi pun terlihat jelas ketika Nabi Muhammad SAW saat ke Madinah melihat umat Yahudi berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharam dan kemudian Nabi ikut melakukan puasa karena menghormati Nabi Musa AS. Dan beliau memerintahkan umat Islam agar melakukan puasa juga. Hingga sekarang banyak umat Islam yang melakukan puasa Asyura.
Begitu juga kisah-kisah lain banyak yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga menghormati umat Nasrani dan Yahudi khususnya kaum ahlu dzimmah (ad dzimmi) yaitu umat non Islam (khususnya Nasrani dan Yahudi) yang tinggal di lingkungan Islam.
Jadi alasan umat Islam yang kurang teguh imannya memilih Yahudi dan Nasrani, bukannya agama non Islam yang lainnya, dikarenakan umat Islam merasa lebih dekat dengan Nasrani dan Yahudi karena merasa dari sumber yang sama.
Jika kita memakai arti awliya sebagai pemimpin, maka seolah-olah kita mengambil posisi bermusuhan dengan umat Nasrani dan Yahudi.
Namun bila kita mengartikan dengan teman setia seperti yang disebutkan diatas, maka umat Islam tidak dalam posisi bermusuhan dengan Nasrani dan Yahudi, semua dalam batas agama masing-masing.
Apa yang dilarang oleh surat Al Maidah ayat 51?
Jadi jika kata awliya diartikan sebagaimana kisah penyebab turunnya surat Al Maidah ayat 51, yaitu :
Sebagai teman setia (tafsir departemen Agama) untuk melindungi atau menolong mereka (friends/protector/helper – Tafsir The Noble Quran) dengan cara berpindah agama (melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan.-Tafsir Al Misbah)”
jelaslah bahwa yang terlarang adalah menjadikan mereka sebagai teman setia (yang sangat dekat sekali sampai tidak ada perbedaan dan keyakinan atau sampai membuat kita berpindah agama dan meyakini agama mereka). Hal itulah yang terlarang.
Sedangkan jika hanya menjadikan teman saja tanpa meyakini keyakinan mereka (berpindah agama) maka itu tidaklah terlarang.
Ini juga sesuai dengan surat An Nisa ayat 144 :