c. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang mengatur bahwa "Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan".
Pelaksanaan Perma ada kalanya membutuhkan koordinasi dengan instansi terkait karena pelaksanaan perma dilakukan bersama, misalnya Perma pedoman mengadili Dispensasi Kawin yang mengatur prioritas pemeriksaan perkara di persidangan. Ada beberapa karakteristik yang membedakan konten Perma dan dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kategori yakni: Â
a. Perma untuk mengisi kekosongan hukum acara, kehadiran Perma dalam konteks mengisi sejumlah kekosongan hukum acara pada badan peradilan, sejatinya untuk membantu para pihak mendapatkan hak-haknya sebagaimana dimaksud undang-undang.
b. Perma untuk penataan ulang hukum acara, dalam Perma ini Mahkamah Agung menata ulang proses persidangan untuk memberikan kemudahan proses beracara.
c. Perma yang sifatnya administratif, pembinaan dan pengawasan. Mahkamah Agung berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, dan Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan kuangan.
Perma merupakan peraturan perundang-undangan yang di undangkan pada Berita Negara, sehingga atas dasar itu pada perma berlaku asas fiksi hukum yang menyatakan apabil suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan atau memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat) ketentuan ini telah dinormalkan di dalam penjelasan pasal 81 ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang undangan. 21
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami kedudukan Perma serta signifikannya eksistensi perma, sehingga sangat tepat dijadikan sebagai inovasi dan strategi bagi Mahkamah Agung dalam melakukan pencegahan perkawinan anak. Dalam menghadapi fenomena perkawinan anak, Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dihadapkan pada dua ekspetasi besar. Pertama dituntut untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan sebaik-baiknya bahwa secara in konkreto untuk menerapkan aspek-aspek normatif dari hukum. Kedua, dituntut untuk memperhatikan secara lebih serius kepentingan perempuan dan anak, sehingga tidak menjadi korban dari perilaku hukum masyarakat.
4. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Di Bawah Umur
Berbagai dampak pernikahan di bawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut;
a.Dampak terhadap Hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara ini yaitu: 28