Mohon tunggu...
Bitorian Arsyad
Bitorian Arsyad Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum

Berusaha dan yakin adalah kunci keberhasilan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penetapan Dispensasi Nikah di Bawah Umur Perspektif Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

25 Mei 2024   00:02 Diperbarui: 25 Mei 2024   00:07 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama : Bitorian Arsyad Yanuar

Kelas : HKI 4E

Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Dosen Pengampu : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

Ujian Akhir Semester

Judul : Penetapan Dispensasi Nikah Dibawah Umur Perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Penetapan Nomor : 408/Pdt.P/2021/PA.Jbg)

Review Skripsi

Pendahuluan

Dispensasi nikah merupakan sebuah mekanisme hukum yang memungkinkan individu untuk menikah meskipun belum mencapai batas usia minimum yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Namun, ketentuan ini tidak bersifat absolut, karena undang-undang juga memberikan ruang bagi pemberian dispensasi melalui pengadilan dalam keadaan tertentu.

Perspektif Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi negara memberikan dasar yang kuat bagi penerapan dispensasi nikah. UUD 1945 menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap hak-hak anak serta kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini, pemberian dispensasi nikah harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk memastikan bahwa kepentingan terbaik bagi anak tetap menjadi prioritas utama.

Dengan demikian, pemahaman tentang dispensasi nikah dalam perspektif UUD menekankan perlunya keseimbangan antara kepentingan individu yang mengajukan dispensasi dan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak anak. Pemberian dispensasi harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan bukti bahwa hal tersebut adalah demi kebaikan semua pihak yang terlibat, terutama anak yang akan menikah.

Alasan mengapa memilih judul skripsi yang anda pilih

Isu yang Relevan dan Aktual: Dispensasi dalam berbagai konteks, seperti dispensasi nikah, dispensasi pendidikan, atau dispensasi hukum lainnya, merupakan isu yang sangat relevan dan aktual di masyarakat. Memilih judul skripsi yang berfokus pada dispensasi memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi masalah yang sedang hangat dibicarakan dan berdampak langsung pada kehidupan banyak orang.

Signifikansi Hukum dan Sosial: Dispensasi sering kali melibatkan keputusan hukum yang berdampak sosial signifikan. Dengan meneliti topik ini, peneliti dapat memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana keputusan dispensasi dibuat, apa implikasinya, dan bagaimana kebijakan dapat diperbaiki untuk kepentingan umum.

Kesenjangan Penelitian: Terdapat kesenjangan dalam literatur dan penelitian mengenai aspek-aspek tertentu dari dispensasi, khususnya dalam konteks spesifik seperti hukum perkawinan, pendidikan, atau agama. Memilih topik ini dapat membantu mengisi kekosongan tersebut dan memberikan wawasan baru yang bermanfaat bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan.

Pengaruh pada Hak Asasi Manusia: Banyak jenis dispensasi yang berhubungan langsung dengan perlindungan hak asasi manusia, seperti hak anak, hak atas pendidikan, dan hak atas kebebasan beragama. Penelitian tentang dispensasi dapat mengkaji sejauh mana kebijakan dan praktik tersebut melindungi atau melanggar hak-hak ini.

Dinamika Hukum dan Kebijakan: Topik dispensasi membuka peluang untuk menganalisis dinamika hukum dan kebijakan yang kompleks. Ini termasuk bagaimana undang-undang, peraturan, dan keputusan pengadilan terkait dengan dispensasi diterapkan dan diinterpretasikan dalam praktik sehari-hari.

Pembahasan

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan adalah bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan antara orang dengan orang. Dengan adanya pernikahan maka akan timbul keluarga, yaitu suami, isteri, anak dan harta kekayaan mereka. Dalam hukum perdata diatur perihal tentang hubungan-hubungan kekeluargaan yaitu dapat berupa harta kekayaan suami dan isteri, hubungan perwalian yaitu hubungan anak dengan orang tuanya. Namun dalam hukum Islam perkawinan bukan sekedar hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan dengan fitrah manusia dan Sunnah Rasul SAW yang mengacu pada niat seseorang dalam melangsungkan perkawinan.1

Pernikahan adalah sebuah ikatan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga, pernikahan akan diawali dengan akad nikah, dari akad nikah yang telah diucapkan oleh pihak suami maka secara otomatis akan muncul akibat hukum diantara mereka yaitu hak dan kewajiban sebagai suami atau isteri. Hukum perkawinan yang ada di Indonesia bagi orang yang beragama Islam bersumber dari Al-Qur'an dan hadis yang tertuang dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang diperbarui menjadi Undang-undang Nomor

16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991 pada buku I, hukum perkawinan yang ada di dalam KHI ini mengandung 7 asas yaitu :

  • Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
  • Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.
  • Asas monogami terbuka, artinya jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang isteri saja.
  • Asas calon suami dan calon isteri telah matang jiwa raganya sehingga dapat melangsungkan perkawinan agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada langkah perceraian.
  • Asas mempersulit terjadinya perceraian.
  • Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.
  • Asas pencatatan perkawinan yang bertujuan untuk mempermudah dan mengetahui manusia yang sudah menikah atau sedang dalam ikatan pernikahan.

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Rukun dan syarat pernikahan dalam hukum Islam merupakan hal penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Sedangkan syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan (Neng Djubaidah, 2012:207).

Menurut Pasal 14 KHI, rukun nikah terdiri atas lima macam yaitu adanya: Calon suami, Calon Isteri, Wali Nikah, Dua orang saksi dan Ijab dan kabul. Unsur pokok suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin. Namun, hukum Islam memberikan batasan umur kepada calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan yang ingin menikah. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki dan perempuan sekurang-kurangnya 16 tahun untuk calon mempelai perempuan (lihat Pasal 15 KHI). Setelah adanya kedua mempelai, maka selanjutnya harus ada wali nikah. Dalam pernikahan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.

Dalam suatu perkawinan itu sendiri terdapat lafadz nikah suatu perbuatan hukum serah terima pernikahan antara wali dan calon pengantin wanita dengan calon suaminya. Jadi, dalam pernikahan Islam harus ada ijab dan kabul, jadisuaminya. Jadi dalam pernikahan Islam harus ada Qabul.

3. Hukum Pernikahan Dalam Islam

Pernikahan harus ditopang oleh pilar-pilar yang kuat agar kehidupan rumah tangga tetap sehat, harmonis dan mampu menghadapi beragam tantangan dan persoalan. Adapun pilar perkawinan yang sehat agar pasangan suami isteri harus menyadari dan memahami diantaranya: yakni pertama, hubungan perkawinan adalah pasangan (zawj) kedua, pernikahan perlu dibangun dengan sikap hubungan yang baik (Myrh bl mrf), ketiga, pernikahan adalah dikelola dengan prinsip musyawarah.

Mengenai hukum perkawinan, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut terdapat pada pemahaman terkait kata () dalam QS. An- Nisa (4) : 3 yang berbunyi :


''Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidakberbuat aniaya"

Ulama penganut Madzhab Dhahiri berpendapat, kalimat perintah (amr) tersebut menunjukkan pada wajib. Dengan demikian, hukum asal nikah (perkawinan) menurut mereka adalah wajib. Di samping itu, menurut mereka, nikah merupakan sarana untuk memelihara diri seseorang dari perbuatan haram, yaitu zina. Karena itu berlaku kaidah fiqh yang menyatakan :

"sesuatu dimana perkara yang wajib tidak sempurna melainkan dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itupun menjadi wajib hukumnya".

Sementara itu, jumhur ulama berpendapat, hukum perkawinan adalah Mandb (sunnah). Adapun hjjh atau dalil yang mereka kemukakan antara lain, seandainya perkawinan itu hukumnya wajib, maka tidak akan ada para sahabat Nabi yang tidak kawin, baik pada masa Nabi maupun pada masa sahabat, sedangkan kenyataan menunjukkan fakta yang berbeda. Adapun ulama penganut madzhab Imam Syafi'I berpendapat, hukum perkawinan adalah mubah. Dasar hukum yang mereka gunakan adalah perkawinan itu sama halnya dengan makan dan minum, yaitu dalam rangka memperoleh kenikmatan dan kelezatan yang hukumnya mubah. Dilihat dari kondisi perorangan, hukum nikah (perkawinan) ada 5 yaitu :

a. Wajb, bagi orang yang telah mampu kawin (baik dari segi fisik, mental maupun biaya), sementara dirinya dikhawatirkan akan berbuat zina kalua tidak kawin.

b. Mandb, bagi orang yang mampu kawin, sementara dirinya tidak merasa khawatir untuk berbuat zina.

c. Haram, bagi orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai suami, seperti masalah mahar atau mas kawin dan nafkah (baik nafkah lahir maupun batin), dan hal ini akan membuat istri yang dikawini menderita.

d. Makrh, bagi orang yang tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai suami, tetapi hal ini tidak akan membuat istri yang dikawininya menderita, misalnya, Wanita tersebut kaya dan gairah seksual tidak begitu kuat.

e. Mbah, bagi orang yang tidak memiliki dorongan untuk kawin, dan tidak pula memiliki hal-hal yang mencegahnya untuk kawin.

4. Batas Usia Menikah

Tujuan dari pengaturan usia calon mempelai untuk mewujudkan ketentraman dalam berumah tangga karena perkawinan sulit dicapai jika istri dan suami belum mencapai kematangan dalam berpikir, menurut kebiasaan pasangan muda sulit untuk menggunakan pemikiran yang baik dalam menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga, hal ini terbukti dengan banyaknya pasangan muda yang bercerai. Selain membatasi masalah usia Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyebutkan syarat lain yaitu persetujuan calon mempelai wanita dan mempelai laki-laki.

Hal ini bermakna bahwa calon mempelai sudah menyetujui untuk melaksanakan pernikahan, sehingga nantinya mereka akan menjalani kehidupan berkeluarga dengan baik karena tidak ada unsur paksaan dari kedua belah pihak karena walau bagaimanapun dalam pernikahan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua pasangan suami istri, akan di khawatirkan jika ada unsur paksaan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak untuk menikah tidak terlaksannya dengan baik hak dan kewajiban suami atau istri, tentunya pernikahan ini menjadi hal yang kurang baik.

Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, usia dewasa jika berdasarkan pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak yang telah mengalami perubahan dengan adanya Undang- undang Nomor 35 Tahun 2014, disebut Undang-undang Perlindungan Anak, dimulai saat seseorang mencapai belum mencapai usia 18 tahun. Jika belum berusia 18 tahun maka dikategorikan sebagai anak yang seharusnya tidak terikat dalam pernikahan. Anak seharusnya mendapat perlindungan dalam hidupnya yang didasarkan pada Pasal 52 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut Undang-undang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Bentuk perlindungan dari orang tua mrupakam kewajiban yang harus dipenuhi, salah satunya sebagaimana Pasal 26 ayat 1 huruf c Undang-undang Perlindungan Anak bahwa orang tua berkewajiban bertanggung jawa untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

 

B. Dispensasi Nikah Di Bawah Umur 

1. Pengertian Dispensasi Nikah

Dispensasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengecualian dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi biasanya dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh pembuat Undang-undang. Sedangkan menurut C.S.T kansil dan Christine S.T kansil, dispensasi adalah penetapan yang sifatnya diklatoir, yang menyatakan bahwa suatu ketentuan Undang-undang memang tidak berlaku bagi kasus yang diajukan oleh seorang pemohon. Sementara Subekti dan Tjitrosubodo dalam Kamus Hukum (1979) mendefinisikan secara ringkas bahwa dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu perintah. Jadi dispensasi nikah ialah diizinkannya menikah di bawah umur disertai alasan-alasan yang dapat diterima dan berdasarkan kebijakan hakim.

Mengapa harus melalui izin atau diizinkan oleh hakim? Inilah alasan mengapa dispensasi nikah diperlukan, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 16 tahun 2019 tentang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam, disebutkan batas usia minimal bagi siapa saja yang ingin melangsungkan perkawinan. Bunyinya sebagai berikut:

"perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun danpihak Wanita  mencapai umur 16 tahun". (UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat 1) dan diperbarui oleh Undang-undang Nomor. 16 tahun 2019 tentang usia menika, laki-laki dan perempuan minimal 19 tahun. 12

"Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang diterapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 16 tahun". (KHI Pasal 15 Ayat 1). 13

Apabila terjadi hal yang mendesak dan penting, maka seseorang di bawah umur 19 tahun pria dan 16 tahun bagi wanita dapat mengajukan permohonan dispensasi pernikahan ke pengadilan Agama. Dispensasi nikah itu sendiri mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan pasal 7 ayat (2); "Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi ke pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

Yang dimaksud dengan Pengadilan disini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan kompetensi pengadilan agama, jadi pemohon dapat mengajukan permohonan dispensasi nikah ke pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan pertimbangan dan kebijakan dari hakim apakah diizinkan untuk untuk menikah atau tidak. Tentunya, hakim memilik pertimbangan pertimbangan khusus dan kebijakannya dalam menetapkan bahwa pernikahan di bawah umur tersebut patut dilakukan atau tidak.

2. Pengertian Pernikahan di Bawah Umur

Pernikahan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang batas usia menikah, salah satunya aturan mengenai batasan usia atau umur bagi seseorang yang diizinkan menikah. Namun, Ketika dalam kondisi darurat, pernikahan dapat diizinkan berbagai persyaratan dan tata cara khusus. Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatakan bahwa, "Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun, yang saat ini sudah diperbarui menjadi sama berumur 19 tahun pria maupun wanita.

Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan pereceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian lebih matang mengenai tujuan pernikhan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.15

Undang-undang pernikahan tidak menghendaki pelaksanaan pernikahan di bawah umur, agar suami istri yang dalam masa pernikahan dapat menjaga kesehatannya dan keturunannya, untuk itu perlu ditetapkan batas-batas umur bagi calon suami dan istri yang akan melangsungkan ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, pernikahan dibawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 masih memberikan peluang kemungkinan penyimpangannya. Seperti yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) menyebutkan:

"Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua, pihak pria maupun Wanita."

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

"Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangny berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun." Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974

Dengan demikian pernikahan di bawah umur (pernikahan dini) dalam perspektif hukum negara adalah pernikahan antara pria dan Wanita di bawah umur minimal yang telah ditentukan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Bab II pasal 7 ayat (1) yaitu pihak mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 19 tahun. Secara eksplisit dalam undang-undang tersebut tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur, penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.

Namun demikian pernikahan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI ayat (2) menyebutkan "pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan." KHI juga menyebutkan pernikahan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: (1) para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami istri; (2) suami atau istri ; (3) pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; (4) para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (vide pasal 73.18)

3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Nikah

1. Permohonan Dispensasi Nikah

Peraturan mahkamah agung (perma) adalah peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sebagai ketentuan yang bersifat hukum acara, perma memiliki fungsi dan imperative sesuai dengan karakter hukum acara yang bersifat tetap dan tidak boleh disimpangi. Perma merupakan regulasi tertinggi yang diproduksi oleh Mahkamah Agung dalam menentukan arah dan kebijakan dalam rangka mengawal tugas pokok dan fungsi Mahkamah Agung. Tugas pokok Mahkamah Agung adalah menerima, memutus, dan menyelesaikan perkara. Adapun fungsi Mahkamah Agung meliputi sebagai berikut:

a. Fungsi mengadili

b. Fungsi menguji peraturan perundang-undangan (judicial review)

c. Fungsi pengaturan

d. Fungsi memberi nasehat dan pertimbangan hukum

e. Fungsi membina dan mengawasi

f. Fungsi administrasi.

Perma adalah implementasi dari fungsi pengaturan yang merupakan suatu jawaban untuk menyelesaikan berbagai permasalahan fungsi pengaturan Mahkamah Agung adalah untuk mengisis kekosongan hukum, fungsi ini relevan dengan Pasal 79 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan:

"Bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi-bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan agama terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini".

Pada prinsipnya fungsi pengaturan ini merupakan kewenangan yang bersifat atributif, dan pada awalnya lahir karena keadaan dan kondisi tertentu, yaitu pada saat Indonesia belum memiliki hukum acara peradilan yang memadai sebagai negara yang baru merdeka dan masih menggunakan ketentuan peninggalan kolonial yang seringkali tidak lengkap dan tidak mengadaptasi perkembangan masyarakat yang terjadi dan fungsi perma berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Mahkamah Agung diberikan wewenang mengambil inisiatif untuk menetapkan peraturan tertulis yang bersifat mengatur, khususnya dalam hal-hal yang menyangkut peran dan pelaksanaan peradilan.

Secara yuridis, Perma merupakan peraturan perundang-undangan yang disusun berlandaskan 3 (tiga) undang-undang yakni:

a. Keterangan Pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mengatur bahwa: "Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini". Ketentuan ini merupakan refleksi dari kewenangan lain yang dimiliki Mahkamah Agung selain mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana dimaksud

ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

b. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang pembentukan peraturan perundang-undangan mengatur bahwa: "Salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung". Pengakuan kewenangan Mahkamah Agung menyusun peraturan dipertegas dalam peraturan ini, bahkan kekhususan yang dimiliki Mahkamah Agung dibandingkan lembaga negara lainnya adalah konten peraturan yang mengisi kekosongan hukum bagi penyelenggaraan peradilan.

c. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang mengatur bahwa "Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan".

Pelaksanaan Perma ada kalanya membutuhkan koordinasi dengan instansi terkait karena pelaksanaan perma dilakukan bersama, misalnya Perma pedoman mengadili Dispensasi Kawin yang mengatur prioritas pemeriksaan perkara di persidangan. Ada beberapa karakteristik yang membedakan konten Perma dan dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kategori yakni:  

a. Perma untuk mengisi kekosongan hukum acara, kehadiran Perma dalam konteks mengisi sejumlah kekosongan hukum acara pada badan peradilan, sejatinya untuk membantu para pihak mendapatkan hak-haknya sebagaimana dimaksud undang-undang.

b. Perma untuk penataan ulang hukum acara, dalam Perma ini Mahkamah Agung menata ulang proses persidangan untuk memberikan kemudahan proses beracara.

c. Perma yang sifatnya administratif, pembinaan dan pengawasan. Mahkamah Agung berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, dan Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan kuangan.

Perma merupakan peraturan perundang-undangan yang di undangkan pada Berita Negara, sehingga atas dasar itu pada perma berlaku asas fiksi hukum yang menyatakan apabil suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan atau memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat) ketentuan ini telah dinormalkan di dalam penjelasan pasal 81 ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang undangan. 21

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami kedudukan Perma serta signifikannya eksistensi perma, sehingga sangat tepat dijadikan sebagai inovasi dan strategi bagi Mahkamah Agung dalam melakukan pencegahan perkawinan anak. Dalam menghadapi fenomena perkawinan anak, Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dihadapkan pada dua ekspetasi besar. Pertama dituntut untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan sebaik-baiknya bahwa secara in konkreto untuk menerapkan aspek-aspek normatif dari hukum. Kedua, dituntut untuk memperhatikan secara lebih serius kepentingan perempuan dan anak, sehingga tidak menjadi korban dari perilaku hukum masyarakat.

4. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Di Bawah Umur

Berbagai dampak pernikahan di bawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut;

a.Dampak terhadap Hukum

Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara ini yaitu: 28

Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 perubahan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 7 ayat (1) perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 16 tahun . Pasal 6 ayat (2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Undang-undang Perlindungan Anak, Pasal 26 ayat (1) orang tua berkewajiban dan bertanggung jawa untuk memelihara, mendidik, dan melindungi anak 2). Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan 3). Mencegah terjadinya perkawinan pada usia ana-anak.

 UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuann melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknnya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

b. Dampak Biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual pemaksaan (pengagahan) terhadap seorang anak.

c. Dampak psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan aka menghilang hak anak untuk memperoleh Pendidikan (wajar 9 tahun), hak bermain menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

d. Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan. Kondisi hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

Menurut para sosiolog ditinjau dari sosial pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan di bawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas 19 tahun untuk pria dan 19 tahun untuk wanita.

Dampak perilaku sosial yang menyimpang yaitu perilaku gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal istilah pedofilia, perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang perlindungan anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana denda maksismum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkwan akan menjadi contoh yang lain. 30

e. Sudut pandang kedokteran

Pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Dari sisi tinjauan kesehatan, bahwa perempuan yang menikah dibawah umur usia 18 tahun, dan mengalami kehamilan dapat membawa resiko tinggi pada kehamilan dan persalinannya kelak. Perempuan tersebut akam mmenghadapi resiko kematian pada saat melahirkan, dua sampai lima kali lebih besar dari pada resiko kehamilan perempuan yang berusia puluhan.

Perempuan yang berumur kurang dari 20 tahun belum siap secara fisik dan mental dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Dari segi fisik rahim dan panggul belum tumbuh mencapai ukuran dewasa, sehingga kemungkinan akan mendapat kesulitan dalam persalinan. Sedangkan dari segi mental perempuan tersebut belum siap untuk menerima tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua, sehingga diragukan keterampilan perawatan diri dari dan bayinya. Selain itu, kesehatan bayi dan anak yang buruk memiliki kaitan yang cukup kuat dengan usia ibu yang terlalu muda dikarenakan ketidakmampuan wanita muda secara fisik, sehingga anak-anak yang lahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun memiliki resiko kematian yang cukup tinggi.

B. HukumPerlindunganAnak

1. Pengertian Hukum Perlindungan Anak

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita bangsa, memiliki peran dan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak ditempatkan pada posisi yang paling mulia sebagai amanah dari Yang Maha Kuasa yang memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi negara ini.

Posisi anak begitu pentingnya bagi kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu harus bersikap responsif dan progresif dalam menata aturan yang berlaku terkait masalah anak. Oleh karena itu diperlukan berbagai aturan yang dapat mengatur kepentingan tersebut. Berkaitan dengan anak, ketentuan yang mengatur perlindungan anak diatur dalam hukum perlindungan anak. Hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar- benar d apat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak. Hukum perlindungan anak berupa hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak-anak benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.

2. Macam-macam Hak anak dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak

Pengertian anak secara hukum, dimana pengertian anak diletakkan sebagai objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses legitimasi, generalisasi dan sistematika aturan yang mengatur tentang anak. Perlindungan anak secara hukum inilah yang akan memberikan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak.

1. Anak sebagai subjek hukum, anak digolongkan sebagai makhluk yang memiliki hak asasi manusia yang terikat oleh peraturan perundang- undangan.

2. Persamaan hak dan kewajiban anak, seseorang anak akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.

Adapun unsur eksternal dalam diri anak ialah:

1. Adanya ketentuan hukum dengan asas persamaan dalam hukum

(equality before the law)

2. Adanya hak-hak istimewa (privilege) dari pemerintah melalui Undang- undang Dasar 1945.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin dalam kandungan samapai anak berusia belasan tahun. Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensip, maka Undang-undang tersebut meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas Non diskriminasi, asas kepentingan yang terbaik untuk anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan serta asas penghargaan terhadap pandangan pendapat anak. Perlindungan anak dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu;

a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi, perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang sosial kesehatan bidang pendidikan.

Apa rencana skripsi yang akan ditulis dan beserta argumentasinya

Rencana skripsi yang akan saya tulis adalah analisis pernikahan yang menggunakan perhitungan weton,alasannya karena mencakup hal tentang relevansi budaya,kajian interdisipliner,pengaruh terhadap keputusan dan harmoni keluarga,dinamika tradisi dan modernitas,pelestarian budaya lokal,praktik spiritual dan psikologis,perspektif sosiologis,serta bagaimana perhitungan weton dalam pandangan islam.

Dengan alasan-alasan tersebut, judul skripsi tentang pernikahan menggunakan perhitungan weton tidak hanya menawarkan potensi untuk penelitian yang mendalam, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap pemahaman dan pelestarian tradisi budaya Jawa dalam konteks modern yang sangat kaya dan masih dipraktikkan hingga saat ini. Meneliti weton memberikan kesempatan untuk mendalami tradisi yang telah ada sejak lama dan memahami bagaimana tradisi ini masih relevan dalam kehidupan modern.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun