2. Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dan syarat pernikahan dalam hukum Islam merupakan hal penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Sedangkan syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan (Neng Djubaidah, 2012:207).
Menurut Pasal 14 KHI, rukun nikah terdiri atas lima macam yaitu adanya: Calon suami, Calon Isteri, Wali Nikah, Dua orang saksi dan Ijab dan kabul. Unsur pokok suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin. Namun, hukum Islam memberikan batasan umur kepada calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan yang ingin menikah. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki dan perempuan sekurang-kurangnya 16 tahun untuk calon mempelai perempuan (lihat Pasal 15 KHI). Setelah adanya kedua mempelai, maka selanjutnya harus ada wali nikah. Dalam pernikahan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Dalam suatu perkawinan itu sendiri terdapat lafadz nikah suatu perbuatan hukum serah terima pernikahan antara wali dan calon pengantin wanita dengan calon suaminya. Jadi, dalam pernikahan Islam harus ada ijab dan kabul, jadisuaminya. Jadi dalam pernikahan Islam harus ada Qabul.
3. Hukum Pernikahan Dalam Islam
Pernikahan harus ditopang oleh pilar-pilar yang kuat agar kehidupan rumah tangga tetap sehat, harmonis dan mampu menghadapi beragam tantangan dan persoalan. Adapun pilar perkawinan yang sehat agar pasangan suami isteri harus menyadari dan memahami diantaranya: yakni pertama, hubungan perkawinan adalah pasangan (zawj) kedua, pernikahan perlu dibangun dengan sikap hubungan yang baik (Myrh bl mrf), ketiga, pernikahan adalah dikelola dengan prinsip musyawarah.
Mengenai hukum perkawinan, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut terdapat pada pemahaman terkait kata () dalam QS. An- Nisa (4) : 3 yang berbunyi :
''Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidakberbuat aniaya"
Ulama penganut Madzhab Dhahiri berpendapat, kalimat perintah (amr) tersebut menunjukkan pada wajib. Dengan demikian, hukum asal nikah (perkawinan) menurut mereka adalah wajib. Di samping itu, menurut mereka, nikah merupakan sarana untuk memelihara diri seseorang dari perbuatan haram, yaitu zina. Karena itu berlaku kaidah fiqh yang menyatakan :
"sesuatu dimana perkara yang wajib tidak sempurna melainkan dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itupun menjadi wajib hukumnya".
Sementara itu, jumhur ulama berpendapat, hukum perkawinan adalah Mandb (sunnah). Adapun hjjh atau dalil yang mereka kemukakan antara lain, seandainya perkawinan itu hukumnya wajib, maka tidak akan ada para sahabat Nabi yang tidak kawin, baik pada masa Nabi maupun pada masa sahabat, sedangkan kenyataan menunjukkan fakta yang berbeda. Adapun ulama penganut madzhab Imam Syafi'I berpendapat, hukum perkawinan adalah mubah. Dasar hukum yang mereka gunakan adalah perkawinan itu sama halnya dengan makan dan minum, yaitu dalam rangka memperoleh kenikmatan dan kelezatan yang hukumnya mubah. Dilihat dari kondisi perorangan, hukum nikah (perkawinan) ada 5 yaitu :