Mohon tunggu...
Datuak Bandaro Sati
Datuak Bandaro Sati Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Coffee

Secangkir ialah rasa; ribuan cangkir juga rasa. Seberapapun, semua tentang rasa. Warna yang serupa tiada bisa untuk saling membatasi! #CoffeeTime

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sri (2)

24 Juli 2019   09:24 Diperbarui: 24 Juli 2019   09:32 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan pagi ini, aku ditemani embun. Bias-bias gerimis tak lagi ada ketika perbatasan Ibukota sudah terlihat samar. Sinar matahari sudah mulai menyayat di atas langit Barat Sumatera. Yang artinya kegiatan para manusia sudah dimulai lagi dengan kesibukan demi kesibukannya masing-masing. Dimana, Jalan raya semakin ramai karena waktu yang bertengger di jam tangan manusia-manusia itu sudah semakin mendekati pukul 07.00 Wib.

 

07.30 *Aku sudah di depan Kontrakanmu.* Isi Chattingan BD kepada Sri via Applikasi WhatsApp.

Sesaat berhenti, mata BD terpana pada satu titik di Parkiran sebuah Kontrakan. Sekuntum Mawar Putih, masih mekar lengkap dengan sepucuk surat yang dibagian sampul depannya bertuliskan "Sri, semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu. ~ Entah".

*Senyum miris* Kenapa juga senyuman menghiasi wajahku ketika aku membaca kata-kata ini? Siapa pemiliknya? Ada apa gerangan! 2019 masih berlakukah surat-menyurat untuk rasa yang sedianya ada?

Beberapa menit berselang, Sri keluar dari Kontrakannya. Sembari berkata, "Pagi BD, udah lama menunggu?". Pagi juga, ni baru sampai dan baru saja menikmati sebait syair di selembar Surat tak bertuan.

Penuh rasa penasaran, Sri menjangkau sepucuk surat di atas meja di beranda depan kontrakan tersebut. Lalu Sri, tersenta penuh cengang saat membaca bait demi bait yang terlampir disana.

"Semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu"

 

Di kamar kejenuhan, tiba-tiba ingatan bangkit dari kasur yang gelisah
Kaki ini berat melangkah; bahkan enggan untuk membuka mata-mata jendela yang terlelap
Segala peristiwa, aku menganggapnya purba; lalu gugur, telah gugur bagai hujan mengekalkan keabadian.

 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun