Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tembuni

17 Juni 2021   20:04 Diperbarui: 17 Juni 2021   20:20 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pintu depan mengayun dan membentur dinding dengan suara keras. Sedetik kemudian, beberapa potongan daun kering menyerbu melewati pintu seperti serombongan tikus got.

Rumbun telah meminta Hanjak, anak sulungnya, untuk membersihkan teras pada awal badai dimulai. Tetapi jelas Hanjak lupa. Namun, tidak ada yang benar-benar dapat menyalahkannya, karena Mawinei, ibu Hanjak dan istri Rumbun, baru saja melahirkan. Dua hari lebih awal dari perkiraan.

Para perempuan menjerit dengan suara teredam. Tapi kemudian tirai hitam tebal yang memisahkan pintu masuk dengan ruang tamu berkibar seperti bendera upacara hari kemerdekaan sebelum kembali diam tenang.

"Dukun kampung!" Sindai kecil memekik di depan Jenta, ibunya, yang menenangkannya dengan lembut dan merapikan rambut ikalnya yang panjang. Sindai kurus dan pucat seperti Jenta, dengan mata hitam lebar yang membuat wajahnya terlihat aneh.

Ibu dan anak perempuan itu duduk di bangku kayu ulin, beberapa meter dari meja ruang makan. Tepat di samping mereka, Manyang---berusia enam bulan dan tak terganggu di tengah bencana apa pun---berbaring di keranjang bayi.

"Bukan," kata Oboi dengan suara serak berteriak melawan deru angin. Dia adalah ayah Rumbun, berdiri di samping pintu kamar tidur sambil bersandar di dinding.

"Itu mungkin Resi. Dia bilang dia akan datang membawa hadiah. Dia mungkin membuka pintu terlalu lebar. Untung angin tidak menerbangkan burungnya. Aku tidak tahu bagaimana dukun bisa menerobos badai angin sekacau ini bah."

Di tengah meja, tergeletak tumpukan kado yang menggunung. Dua belas kursi menghadap ke dalam, sedangkan kotak hitam untuk tempat meletakkan bayi di kepala meja, seperti biasa.

Beberapa piring berisi makanan ringan berada di ujung yang berlawanan, tertata rapi di sekitar baki minuman. Setumpuk cangkir kertas bersandar padanya.

Sebagian besar kado dibungkus dengan kertas dekoratif, beberapa dengan pita, sementara beberapa dibungkus dengan kertas tisu putih polos. Hadiah mulai menumpuk segera setelah tersiar kabar bahwa Mawinei telah melahirkan, enam belas jam sebelumnya.

Sebagian besar tetangga mereka tidak dapat menghadiri acara pemotongan tali pusar karena badai, tetapi hadiah tetap datang. Begitulah tradisinya: bahkan hujan badai tidak akan menghalangi mereka yang ingin berbagi kebahagiaan Rumbun dan Mawinei, setidaknya dalam semangat.

Dan meskipun hari Jumat sore, Sindai mengenakan gaun peri bersayap favoritnya, dan berbaring di pangkuan ibunya. Gadis peri itu tak lagi gelisah dan memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut.

Oboi mengedipkan mata pada Jenta dan tersenyum. Kerutan ramah muncul di sudut bibir dan matanya.

"Jaga bahasamu di depan anak itu," bisik Bungeh.

Beberapa saat kemudian, suara pasir yang diseka ke lantai terdengar dari balik tirai. Tangan yang lapuk dan kecokelatan mencengkeram tirai dan menarik ujungnya. Senyum Resi Bagau melayang dari kegelapan sebelum wajahnya yang retak, bulat, dan terbakar matahari mengikuti. Resi adalah damung mereka.

"Nama berita de?" kata Resi sambil berjalan hati-hati menerobos tirai hitam dengan kotak berbungkus putih. Ujung-ujungnya sedikit terkelupas, dan debu yang dibawa angin telah mencokelatkan sisi terjauh dari perut Resi yang gendut.

Sindai segera duduk ketika melihat kado di tangan lelaki tua itu. Sebelum dia mulai merengek, Jenta membungkuk ke depan dan menyuruhnya diam.

"Sayang, kamu tahu itu kado untuk adik bayi."

Bibir Sindai mengerucut cemberut.

"Kalau adik bayinya laki-laki," potong si bocah peri sambil memasukkan ibu jarinya kembali ke mulut.

Sesaat kemudian dia melihat seekor laba-laba turun ke dahi Olivinna Bagau. Olivinna hanya terusik sejenak dengan mata terpejam, di kursi goyang yang diterima Bungeh pada ulang tahun pernikahannya yang kedua puluh lima. Olivinna sedang hamil enam bulan dan cenderung tidur siang mendadak.

Jenta melihat sekeliling dengan seringai miring. Bungeh membuat suara berdecak dan kemudian menoleh ke arah kamar tidur.

Sebuah teriakan kencang datang dari balik pintu tertutup. Resi Bagau meringis mendengar suara itu dan Olivinna membuka matanya.

"Rumbun di mana?" tanya Resi.

Ayah Rumbun, Oboi, mengangguk ke arah pintu yang tertutup. Senyum keriputnya melengkung ke bawah.

"Bersama Mawinei," katanya keras. Bungeh mengernyitkan dahinya, dan berbisik. "Masalah ini."

Wajah Resi menjadi bulat saat dia tersenyum. "Ayolah Oboi, ini seharusnya menjadi kesempatan yang membahagiakan. Dokter Sinna bersama mereka, bukan?"

"Tadi dua jam yang lalu," kata Oboi. "Tapi dia nda bilang laki-laki atau perempuan. Belum waktunya, katanya."

"Aku harap adik bayi perempuan!" seru Sindai. Jenta tertawa seperti ayam betina dikerjar jago, dan mencondongkan tubuh ke depan bangku dari kayu ulin. Rambutnya yang hitam ikal panjang jatuh di dahi Sindai saat dia melingkarkan lengan di bahu putrinya dan mencium pipinya.

"Kita semua berharap dia perempuan, sayang," Jenta tersenyum, "dan bukan karena supaya kamu, Manyang dan Hanjak bisa berbagi hadiah."

"Sayang sekali Purok tidak bisa berada di sini," kata Olivinna saat laba-laba mendarat di rambutnya, "tapi kawu tarawang terlalu banyak, sesak napasnya. Dua bulan lagi dia mungkin akan berebut hadiah dengan saudara perempuannya sendiri." Dia menepuk perutnya perlahan saat Jenta mendecakkan lidahnya dengan simpatik, dan Resi Bagau tersipu-sipu.

Olivinna memejamkan mata dan dengan santai menjentikkan laba-laba di kepalanya ke lantai.

"Aku tahu bayinya perempuan," kata Bungeh sebelum mengalihkan pandangannya ke Oboi. Wajahnya kurus dan muram, dibingkai rambut cokelat dan putih kusam, disanggul ke belakang kepala.

Wajah Bungeh tidak terdapat kerutan bahagia yang dimiliki suaminya. Sebaliknya, sudut hidungnyaturun ke mulutnya yang kecil, dan terus turun ke dagunya yang runcing. Dia tidak menoleh atau mengerutkan bibirnya atau mengubah suaranya sedikit pun. Dia hanya mengerling pandangan sekilas ke samping, seperti anak panah. Garis kerut dari mata ke telinga suaminya menghilang dan lelaki itu menurunkan pandangannya ke lantai.

"Aku tahu, aku tahu," Oboi menghela nafas. "Kalau lelaki seharusnya lahir lusa."

"Sudah pertanda kalau lahir sebelum waktu pasti perempuan."

"Dan kamu belum pernah salah."

"Menyuruh Hanjak memanggil dukun kampung hanya buang-buang waktu dan uang..."

"Ya, mungkin saja, tapi itu lebih baik daripada ternyata bayi laki-laki dan kemudian harus menunggu dukun berjam-jam untuk sampai ke sini untuk memotongnya. Dan jangan lupa dua tahun lalu, Tigoi dan Kara mendapatkan Jeremy bukan Jesicca, dan dukun butuh waktu hampir seminggu untuk datang dari seberang kali. Selalu lebih sulit pada anak laki-laki setelah beberapa jam pertama atau lebih---"

Sindai menyela dengan suara cempreng.

"Tapi Rana dan Ben mendapat lebih banyak kado waktu itu, karena orang-orang kasihan sama adik bayi itu!"

Jenta berbisik ke telinga putrinya, menyuruhnya diam.

Resi Bagau tertawa terbahak-bahak, mengabaikan semua mata yang tertuju padanya. Senyumnya tercipta karena wanita tua yang keras kepala itu.

"Kalian berdua belum sepakat satu hal pun sejak kalian menikah, ya?"

Pipi Bungeh bagai terbakar sinar matahari dan dia mengalihkan perhatiannya ke tumpukan hadiah. Dia duduk di kursi favoritnya dengan kaki disilangkan di bawahnya, sementara mengatupkan kedua tangannya di pangkuan. Setelah hening sejenak, sementara semua orang saling melirik dengan gugup, Oboi tersenyum dan mengangkat kepalanya.

"Yah, tapi kita sepakat tentang keluarga Gintang, bukan begitu, Bungeh?"

Bungeh menghela napas dengan gusar. Kerutan tipis di bawah hidungnya mengencang, membuat bibirnya semakin ciut. Suaranya mengecil saat dia mengerutkan kening.

"Jangan paksa aku membicarakan Gintang."

Resi mengeluarkan sebungkus rokok merah kusam dan menepuk-nepukkannya ke telapak tangan. Tidak ada yang mengeluh karena semua tahu bahwa Resi telah berhenti merokok beberapa minggu sebelumnya. Dia hanya suka membawa bungkus rokok terakhirnya di sakunya. Ketika dia gugup, tepukannya lambat dan mantap. Tetapi semakin dia kesal, semakin cepat dia menampar bungkusan itu ke telapak tangannya.

Teman-temannya menduga dengan temperamennya yang gampang panas, isi bungkus rokok itu akan menjadi gumpalan pipih dalam waktu sebulan, terutama jika badai debu berlanjut selama beberapa hari. Tangan kanannya memukul telapak tangan kirinya dalam irama waltz 3/4 yang lambat.

"Salah satu dari mereka mampir ke rumah AKBP Grace bulan lalu dengan salah satu anak haramnya dan meninggalkannya begitu saja di pintu depan. Tidak kembali selama hampir seminggu. " Dia menampar bungkus rokoknya ekstra keras. "Sayang sekali dia akhirnya kembali, karena anak-anak mereka tampaknya cukup waras."

Jenta menutupi telinga Sindai dengan kedua tangan dan berbisik. "Resi, kuharap kau tidak membicarakan hal-hal buruk begitu ...."

Oboi menyela.

"Yah, cepat atau lambat dia harus tahu tidak semua orang layak dihormati. Mungkin juga sejak dilahirkan."

Bungeh menggelengkan kepalanya.

"Jenta benar, Boi. Gintang memukuli anak-anak mereka di depan umum dan bersikap kasar terhadap perempuan-perempuan mereka, tetapi menyumpah-nyumpah di depan anak-anak tidak akan mengubah cara buruk mereka atau mengajarinya bahwa mereka salah sejak awal."

Resi menunduk selama beberapa detik. Dia mengembalikan bungkus rokok ke saku bajunya sebelum mengangkat matanya dan tersenyum.

"Yah, kurasa Bungeh benar. Kekerasan melahirkan kekerasan, dan orang jahat bukanlah alasan untuk berperilaku buruk."

"Dan kita tahu bahwa tidak semua Gintang jahat," kata Oboi. "Bagaimanapun, keluarga itu baru turun gunung belum lama. Mungkin mereka hanya perlu melihat kita sebentar untuk belajar bagaimana membesarkan anak-anak mereka dengan benar."

Bungeh menggelengkan kepalanya dan kembali menyilangkan kakinya yang pipih dan kurus dengan tulang kering tajam dan tempurung lutut menonjol.

"Seharusnya kita jangan membiarkan mereka pindah ke pinggiran dekat orang-orang baik sejak awal. Biarkan mereka tinggal di gunung, itu yang kubilang."

Oboi tertawa lagi.

"Bungeh, jika kamu mau, semuanya akan tetap sama selama seratus tahun ke depan. Dan di samping itu, gununglah yang membuat mereka licik. Mengapa, kita tidak akan menemukan batubara itu jika bukan karena mereka. Ingat atap terakhir? Padahal baru tiga tahun tapi sudah mulai bocor. Mereka tidak semuanya buruk. Mereka bekerja keras, mereka membayar iuran sama seperti orang lain. Hidup jauh lebih sulit di gunung daripada di sini. Dan ketika hidup sulit, orang terkadang juga menjadi sulit."

Jenta memotong.

"Hidup juga keras di sini. Maksud saya, berapa banyak badai debu yang kita lihat di pegunungan? Dan dari bunyinya, aku dan anak-anak mungkin harus tinggal di sini satu malam lagi."Ddia tersenyum pada Bungeh. "Dan meski kalian orang yang dermawan, aku tidak suka memanfaatkan keramahan kalian. Tapi intinya adalah, kamu tidak melihat kami menyiksa anak-anak kami."

"Mungkin brutal adalah kata yang terlalu keras," kata Resi. "Mereka hanya menggunakan telapak tangan jika terlalu lambat ...."

"Menggunakan kekerasan terhadap seorang anak tidak pernah dibenarkan," kata Bungeh. "Aku tidak peduli dengan latar belakang mereka atau tradisi mereka, dan selain itu, itu lebih dari sekadar cara mereka memperlakukan anak-anak mereka. Mengapa, Gintang tidak percaya pada adat atau kebiasaan apa pun. Bisakah kalian bayangkan bagaimana jadinya jika orang bertindak dengan cara lama? Tidak akan ada apa-apa selain kekacauan, sama seperti sebelumnya."

Dia menatap tirai yang memisahkan ruang tamu dari lorong menuju pintu.

"Aku bukan ahlinya, tapi hanya dengan melihat mereka dari jauh, aku bisa tahu bahwa keluarga Gintang banyak yang kasar, dan dari penampilan mereka mereka jarang mandi. Mereka adalah..." dia berhenti sampai dia menemukan kata yang tepat. "Mereka biadab!"

Pintu kamar tidur tiba-tiba terbuka dan Rumbun melesat keluar. Berbeda dengan Oboi dan Bungeh yang pendek dan ramping, dia tinggi dan ceking.

Sindai menjulurkan lehernya untuk melihat dibelakang tubuh Rumbun. Yang bisa dia lihat hanyalah lutut Mawinei sedikit terlihat, dan mereka semua bisa mendengarnya mendengus dengan keras.

"Kepalanya sudah kelihatan," kata Rumbun, raut wajahnya campuran antara bahagia dan khawatir. "Mungkin butuh seseorang untuk membantu."

Olivinna tiba-tiba memaksakan dirinya untuk berdiri dari kursi goyang.

Meskipun kehamilannya baru enam bulan, tapi tampaknya sudah mendekati melahirkan. Sebagian karena dia pada dasarnya memang berpostur tambun. Selain itu, bobot Purok hampir enam kilo saat dilahirkan.

Dia menepuk bagian atas perutnya saat melangkah melewati suaminya dan berjalan mengitari meja makan yang panjang. Melirik sutra mengilap yang melapisi sisi dan bagian bawah kotak bayi secara sepintas lalu mengikuti Rumbun ke dalam kamar.

"Aku tahu aku juga akan butuh bantuan kalian ketika saatku tiba," katanya lembut. Pintu ditutup perlahan.

 Resi Bagau berjalan ke meja dan meletakkan bungkusan putih berdebu dengan hati-hati di pinggiran tumpukan kado dan melanjutkan berkeliling ke kursi goyang yang sekarang kosong.

Bungeh mengerutkan kening saat dia menurunkan pantatnya ke kursi empuk dan mengembuskan napas perlahan. Bagian bawah tubuhnya yang dibalut celana jins sesak menonjol dari samping kursi seperti penghuni pertama, dan alasnya berderit menyakitkan telinga.

"Apakah ada yang mau camilan?" Bungeh bertanya dengan senyum kecil ketika dia melihat pria besar itu bergoyang perlahan di kursi. Ketika tidak ada yang mengatakan apa-apa, dia menyilangkan kakinya dan melipat lengannya di atas perut. Senyumnya mengembang. "Keripik keladi, kalau-kalau ada yang penasaran."

Resi bergoyang perlahan di kursi dan kemudian memalingkan wajahnya yang bulat ke arah jendela. Debu cokelat yang menempel di kaca, memudarkan segalanya menjadi kusam. Gulungan ranting mati melintas. Kaca bergaris-garis dan berlumpur.

"Badai sepertinya akan bertambah kencang," katanya pada dirinya sendiri.

Oboi tertatih-tatih menuju mangkuk minuman dan mengambil cangkir kertas sebelum dia mengambil sendok dari mangkuk. Bungeh memperhatikan setiap gerakannya saat dia mengangkat cangkir ke mulutnya dan menyesapnya lama-lama. Sesaat kemudian, Oboi kembali tersenyum.

"Selalu begitu," katanya. "Mudah-mudahan berhenti sebelum tengah malam. Dengan begitu aku bisa membersihkan halaman di pagi hari."

Tiga ketukan terdengar dari pintu depan. Jelas, tepat satu detik memisahkan yang pertama dari yang kedua dan kemudian yang ketiga. Oboi memandang Resi yang masih menatap tanpa sadar ke luar jendela.

"Pasti angin," bisik Resi pada dirinya sendiri.

Setengah menit berlalu sebelum ketukan itu terdengar lagi: satu, dua, tiga. Singkat, secepat dan sekeras batu yang dilempar ke pintu depan oleh anak nakal. Segera disusul dengan tiga ketukan yang sama untuk ketiga kalinya, di kaca jendela di samping pintu depan.

"Siapa kira-kira?" kata Oboi, matanya melebar dan ingin tahu. "Apakah menurutmu itu dukun kampung?"

"Siapa lagi yang akan mengetuk pintu dalam badai debu begini?" Bungeh bertanya, lebih kepada diri sendiri. "Siapa yang pernah mendengar dukun kampung mengetuk pintu? Tapi semua orang tahu, pintu depan berarti selamat datang."

"Mungkin kita harus melihatnya," kata Oboi keras, lalu mengarahkan pandangannya ke tempat Resi duduk.

Resi Bagau memiringkan kepalanya dan kemudian bangun dengan susah payah dari kursi goyang. Mulutnya tertawa, tetapi matanya menyipit penuh curiga.

"Mudah-mudahan memang benar yang datang dukun kampung," katanya pelan sambil menyingkirkan tirai. Ada jeda panjang ketika setiap orang di ruangan itu membayangkan Resi dengan hati-hati menatap pintu sebelum mencondongkan tubuh ke depan dan mengintip melalui jendela.

Beberapa detik berlalu, lalu tirai itu berkibar seolah-olah dimainkan oleh tangan-tangan tak kasat mata. Suara Resi angkat teredam hilang tertiup angin sebelum tirai hitam kembali ke posisi normalnya. Beberapa kata tak jelas melayang ke ruang tamu, dan kemudian tirai ditarik ke belakang.

Seorang pria kurus kering dengan lengan ramping dan celana pendek berjalan masuk dan melirik dengan gugup pada kelompok kecil itu.

Matanya yang gelap dan mencurigakan melintas setiap wajah. Dia bertelanjang kaki dan mengenakan rompi kotak-kotak hitam dan putih kotor. Di atas kepalanya, kupluk rajut abu-abu ditarik menutup telinganya. Lengannya yang kurus dipenuhi tato dengan desain merah dan biru, di bawah rompi, dan muncul kembali di dada dan perutnya yang telanjang. Kakinya tebal kapalan dan berotot, dan garis hitam dari lumpur sampai di lutut. Tangannya lebar dan keriput, hampir hitam, dan sebuah mata tidak berkedip ditato dengan tinta merah pudar di tengah dahinya. Sekilas kemudian dua anak berjalan dari belakang dan berdiri dengan gugup di samping pria itu.

Yang pertama adalah seorang remaja. Lengannya memiliki beberapa tato berukir cerah, tapi dadanya bersih dan berdebu di balik rompi kotornya. Tato yang sama, merah cerah membara, menghiasi dahinya dan tiba-tiba diturunkan saat dia menyipitkan mata menantang pada kelompok kecil itu. Anak laki-laki kedua memiliki rambut hitam acak-acakan yang tergantung di bagian belakang topinya, dan rahang yang panjang dan kendur. Mungkin umurnya tujuh tahun, namun memiliki karakteristik fisik yang sama dengan pria dewasa dan remaja: kaki berotot, celana pendek, rompi kotak-kotak dan kupluk, kaki dan tangan kotor, dan wajahnya kurus dan tampak kejam, dengan bibir yang rapat tanpa ekspresi. Dagunya turun ke dada sedemikian rupa sehingga mereka melihat ke atas, bahkan ketika mereka melihat ke bawah. Tidak ada mata merah di dahinya.

Beberapa detik kemudian, seorang wanita mungil dengan rambut hitam kusut melewati bahu memakai gaun cokelat polos sepanjang lutut, berjalan menerobos tirai. Sebuah tas tar besar berwarna hitam tergantung di bahunya. Dia melewati anak-anak itu dan berdiri beberapa langkah di samping mereka. Matanya menatap setiap anggota di ruangan itu dan kemudian kembali ke yang pertama, sebelum dia tiba-tiba menyilangkan tangan di perutnya, dan menurunkan matanya dengan patuh ke lantai. Resi menyusul dari balik tirai hitam dengan senyum miring dan bingung di wajahnya.

"Selamat datang," kata Resi lembut. Dia melirik Bungeh, yang melihat lurus ke depan seakan-akan tidak menyadari kehadiran tamunya yang baru datang. Setelah beberapa detik hening dan berat, terdengar suara pelan datang dari balik pintu yang tertutup. Pria lusuh itu maju setengah langkah dan melepas topinya. Kedua anak itu mengikutinya pada saat yang sama sampai ketiganya memegang topi abu-abu mereka setinggi selangkangan. Wanita itu terus menatap lantai.

"Aku Epan Gintang," kata pria dewasa dengan nada monoton yang lembut. Jenta mencondongkan tubuh ke depan dan memiringkan kepalanya, matanya melebar penuh rasa ingin tahu. Pria itu mengucapkan nama itu sebagai Ei-pang. Dia tersenyum secepat kilat dan menganggukkan kepalanya.

"Ini Jebed, anak sulungku. Dan yang itu adalah Yekes, dan istriku, Sarah."

Sekali lagi, dia menunjukkan senyumnya yang gugup sementara anak laki-lakinya terus melihat dengan dagu menempel di dada dan wanita itu menatap lantai. Setelah beberapa detik, Oboi menjauh dari wadah minum dan mengulurkan tangannya.

"Senang berkenalan denganmu, Epan. Aku Oboi dan ini istriku, Bungeh. Kamu sudah bertemu Resi Bagau, damung di sini. Dan ini Jenta, Sindai dan Manyang, bayinya. Olivinna, istri Resi, ada di kamar bersama putra kami, Rumbun. Mawinei, istrinya, akan segera melahirkan."

Epan Gintang memandang tangan Oboi seakan-akan sebilah pisau yang ditodongkan ke arahnya, sebelum mereka semua---pria, istri, dan anak-anak berkepala kecil---mengangguk serentak. Oboi mengamati tangannya seolah-olah entah bagaimana telah berubah, dan kemudian menurunkannya kembali ke sisi tubuhnya.

 "Kami orang baru dan semua," kata Epan. Mungkin gaya bicaranya memotong kalimat. "dari suku Gintang Yakan, dan kami mendengar ada kelahiran bayi, dan kami mendengar, kalian tahu, kami mendengar kalian memiliki kebiasaan ini dengan bayi. Jadi, kami ingin menunjukkan rasa hormat kami semua."

Hening yang panjang.

"Sarah," katanya lembut.

Si perempuan maju meja tanpa mengangkat kepala. Dia berhenti sejenak, seolah-olah mencari tahu apa yang diharapkan darinya, sebelum menoleh ke arah suaminya. Epan menganggukkan kepalanya, dan Sarah tiba-tiba merogoh anjat hitam dan mengeluarkan mangkuk hitam besar. Begitu dia meletakkannya di tepi meja langsung melangkah mundur tetap dengan mata menunduk ke lantai.

Oboi berjalan ke meja dan mengambil mangkuk yang berkilau kehitaman di tangannya.

Resi maju menerobos keluarga Epan dan berdiri di samping Oboi. Mereka berdua mempelajari mangkuk hitam itu dengan seksama.

"Lihat semuanya," kata Oboi malu-malu. "Ini ... mangkuk dipahat dari batubara."

Bungeh tiba-tiba berdeham dan mengalihkan pandangannya ke Epan. Oboi dan Resi sama-sama memiringkan kepala, sementara Jenta memejamkan mata. Sindai terus mengisap ibu jarinya.

Ketika semua orang sudah tenang, Bungeh perlahan-lahan berdiri dan berjalan di sisi meja. Setibanya di kursi yang paling dekat dengan pintu kamar tidur, dia mencengkeram kepala kursi sampai buku-buku jarinya memutih. Deru napasnya lebih mirip dengkuran. Oboi memejamkan matanya.

"Bapak Epan," kata Bungeh, suaranya renyah dan tegas. "Sangat bijaksana bagi Anda dan keluarga memikirkan putri kami dalam kesempatan ini. Saya harap Anda mempertimbangkan untuk tinggal bersama kami selama sisa upacara kecil kami ini."

Oboi menghela napas panjang seakan-akan baru kali ini dia tahu caranya.

"Ide yang bagus, Bungeh," katanya sambil kerutan-kerutan bahagia memenuhi wajahnya.

Mangkuk batubara itu diletakkan kembali di atas meja dan dia mulai menuangkan minuman ke dalam beberapa cangkir kertas. Dia baru saja mengisi dua cangkir kertas ketika tirai kembali melayang dan Hanjak yang berusia dua belas tahun bergegas masuk. Wajahnya berlumuran keringat, dan debu membedaki wajahnya.

"Dukun sudah di sini!" katanya bersemangat.

Oboi tertatih-tatih menuju lorong dan memegangi tirai. Jeda waktu semenit sebelum dukun kampung masuk dengan mantel panjangnya, dengan tudung upacara ditarik ke atas dan menutupi kepalanya. Gumpalan rambut putih tergerai dari sisi tudung, dan dia membawa tas hitam kecil di tangan kanannya.

"Bagaimana keadaannya?" tanyanya.

"Oh, lewat sini," kata Oboi cepat. "Dia baru saja akan melahirkan."

"Bagus," kata dukun kampung. "Air hangat dan handuk?"

"Handuk ada di sana, tapi aku belum membawa airnya untuk memastikan tetap hangat."

 Dukun mengikuti Oboi ke kamar tidur.

Mawinei meraung dari sisi lain pintu dengan cepat dan marah seolah-olah dia telah mengantisipasi kedatangan mereka. Pintu menutup di belakang keduanya.

"Seharusnya sudah lahir," kata Jenta sambil berdiri dari bangku kayu ulin. Sindai meluncur ke pangkuannya saat ibunya mengambil keranjang kecil dan dengan hati-hati meletakkannya di atas meja sehingga menghadap ke kotak bayi. Dia kemudian menarik dua kursi menjauh.

Sindai naik ke kursi yang lebih dekat dan mengamati keluarga Gintang seolah-olah mereka merupakan hadiah juga. Peri cilik itu mengembungkempiskan pipinya saat Bungeh berbicara dengan suara lembut.

"Hanjak, sayang. Tengoklah ibumu. Seorang anak laki-laki harus bersama keluarga dekatnya pada saat seperti ini."

Hanjak menghilang ke balik pintu kamar. Sebuah teriakan tiba-tiba terputus saat pintu tertutup di belakangnya.

Bungeh mengulangi pertanyaannya.

"Anda akan bergabung dengan kami, Tuan Epan?"

Epan Gintang menatap kupluknya dengan gugup sambil memiringkan kepalanya.

"Aku rasa kami akan tinggal sebentar. Kami tidak ingin mengganggukalian semua. Terutama seperti saat ini."

Resi berjalan di sampingnya dan menepuk pundaknya. Debu naik dan tersebar memantulkan cahaya yang berasal dari lampu ruang tamu.

"Ayolah, Epan. Ini acara adat, semua orang diundang."

Dia menebar senyum pada seluruh orang di ruangan itu. "Begitulah kami. Ini budaya kami. Sebagai warga baru, kamu tidak akan menolak keramahan kami, bukan?"

"Yah," desah Epan pelan dan datar dan kemudian mengatupkan mulutnya seolah sedang berpikir keras. "Kurasa aku tidak ingin menunjukkan rasa tidak hormat pada kalian. Kami memang orang baru."

"Kalau begitu beres," kata Bungeh. "Aku akan mengeluarkan beberapa kursi lagi."

"Jangan," kata Epan cepat. "Kami lebih suka berdiri."

"Nah, bagaimana dengan kamu, anak laki?" Resi bertanya sebelum melangkah ke depan, menekuk pinggangnya yang tebal dan menatap wajah anak itu. "Jadi, Yehes, apakah kamu mau duduk bersama temanmu?"

Anak laki-laki itu menatap Resi dengan dagu menempel di dadanya dan tetap diam.

Epan Gintang angkat bicara.

"Mereka juga berdiri," katanya, lambat dan datar. "Dan yang itu adalah anak bungsuku. Mereka bukan teman."

Resi berdiri dan menatap anak laki-laki yang lebih tua. Matanya yang bertato menatap ke bawah.

"Tapi, kupikir kau bilang Jebed adalah anak sulungmu."

Epan mengangguk.

"Yah, dia anak sulung. Usianya enam belas tahun. Yehes adiknya."

Setiap orang terdiam menatap Epan. Bahkan Bungeh kehilangan kata-kata.

Sindai melepaskan ibu jarinya dari mulutnya dan menatap Yekes dengan mulut menganga.

Akhirnya, terdengar lolongan panjang dari sisi lain pintu memecah kesunyian dan membuat Resi tertawa. Tawanya rapuh, datar dan kehilangan rasa humor.

"Sialan, Epan, Kalian sedang membangun pasukan atau apa?"

Pintu terbuka dan Oboi melangkah keluar. Matanya menatap Bungeh, berkedip sekali, hanya sekilas, sebelum dia berbicara ke seluruh ruangan, "Laki-laki," katanya lembut. Mulutnya memanjang menjadi garis lurus.

Sindai memasukkan ibu jarinya kembali ke mulutnya dan mengerutkan kening sementara Jenta mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. Bungeh memandang ke tirai hitam seakan menembus menuju cakrawala tempat matahari terbenam.

"Ayo kita mulai," katanya lembut.

Resi Bagau menarik dua kursi dan duduk. Setelah duduk, dia meletakkan telapak tangannya di kursi kedua. Dia perlahan menggosoknya dan melirik ke epan Gintang sebelum menoleh mengamati pintu kamar. Di luar, angin bertiup kencang membenturkan daun jendela dengan kusen.

Setelah beberapa menit hening, pintu terbuka. Olivinna berjalan keluar dan duduk di sebelah Resi, sementara Hanjak menyusul, dua kursi dari Bungeh.

Oboi melangkah keluar.

"Bagaimana Mawinei?" Bungeh bertanya dengan lembut sambil terus melihat ke tirai hitam yang diam.

"Oh, dia baik-baik saja. Hanya sedikit stres, tetapi dia akan pulih segera."

Dan dengan kata-kata yang diucapkan dengan lembut, dukun kampung keluar dengan bayi yang digendong di lengannya dan dengan tas hitamnya terselip di bawah siku kanannya. Dia menundukkan kepalanya ke depan dan membiarkan sisi kerudung yang tebal dan longgar hampir menyelimutinya saat dia berbisik pelan dan membisikkan kata-kata menenangkan yang tak terbaca. Bayi mungil, gemuk, dan merah muda itu menggigil tak tertahankan saat digendong. Tiba-tiba, ledakan tangisan penuh amarah datang darinya. Jenta dan Olivinna tersenyum dan membentuk bibir mereka menjadi huruf O.

"Dehen Rumbun," dukun kampung desa mengumumkan.

Oboi menarik kursinya dari meja dan duduk. Dia melirik Bungeh dan kemudian ke keluarga Gintang di samping tirai, masih berdiri dengan dagu menempel di dada. Ketika dia menoleh ke samping, Bungeh menggelengkan kepalanya sebelum dia bisa berbicara. Oboi mengalihkan pandangannya ke ruang kosong di depannya dan menatapnya dalam diam.

Sindai masih mengisap ibu jarinya saat Rumbun muncul di pintu. Dia menoleh ke Mawinei yang berbaring dengan kepala tertutup lengan, dan diam-diam menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan ke kursi di kepala meja, di seberang ibunya, dan duduk. Punggung kemejanya basah kuyup karena keringat dan sama sekali tidak menyadari keberadaan keluarga Gintang.

"Sudah waktunya," kata Bungeh lembut.

Dukun kampung menyerahkan bayi Dehen kepada Bungeh. Untuk sesaat, dia memalingkan muka dari tirai hitam saat dia menggendong bayi itu. Dia mengamati wajahnya tanpa ekspresi dan kemudian menundukkan kepalanya untuk mencium dahi si bayi dengan mulutnya yang kecil dan berkerut dan berbisik ke telinganya.

Bayi itu diteruskan ke Hanjak, yang tersipu, mencium bayi itu, dan kemudian menyerahkannya ke kanan. Oboi tersenyum dan mengedipkan mata, sebelum dia juga menciumnya. Dia kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Dehen yang berbentuk kuntum bunga dan berhenti seolah-olah dia mengharapkan jawaban.

Jenta berikutnya. Dia berbalik di kursinya dan membawanya ke depan sampai dia di atas Manyang, yang masih tidur di keranjangnya, sebelum dia mencium bayi itu dan menggendongnya untuk Sindai. Bocah peri itu menoleh dengan cemberut.

"Sayang, bersikap baiklah pada Dehen," bisik Jenta. Setelah beberapa detik, gadis kecil itu mencondongkan tubuh ke depan dan mencium kening bayi itu. Dia kemudian segera memalingkan wajahnya dan melihat ke arah jendela depan. Bayi itu diserahkan ke seberang, ke Resi.

Ketika bayi yang baru lahir itu tiba di Olivinna, dia meletakkan bayi itu di perutnya seolah-olah untuk menghangatkannya, dan meletakkan telinga kanannya di atas perutnya.

Akhirnya, Rumbun menggendong putranya. Dia memandang Dehen dengan ekspresi lelah dan kosong sebelum dukun kampung mendekat dan berbisik. Dia kemudian mencium bayi itu dan menggendongnya di depan seolah-olah mencoba menebak berat bayi itu.

"Silakan," kata Bungeh kepada siapa pun secara khusus.

Sindai dan Hanjak mulai membuka hadiah di depan mereka. Mereka merobek bungkusnya dan mulai mengeluarkan isinya. Saat mereka melakukannya, Rumbun menurunkan Dehen ke dalam boks dan menggenggam tangan mungilnya di antara jari-jarinya.

Bayi itu berhenti menangis karena sentuhannya.

"Dapat, aku dapat!" Sindai berseru dengan penuh semangat saat dia menarik selimut kecil dari kotak dan memberikannya ke deretan orang---Jenta ke Oboi dan kemudian ke Bungeh, yang menyerahkannya ke dukun kampung. Dia menganggukkan kepalanya dan membungkus Dehen dengan selimut itu dan menggigilnya dsi bayi pun berakhir.

Sesaat kemudian, bayi itu menguap. Oboi tertawa gugup.

"Ini keberuntungan, selimutnya didapatkan lebih dulu."

"Betul," kata Bungeh, selembut angin.

Lebih banyak hadiah dibuka. Sebuah bola merah kecil ditempatkan di samping bayi itu, dan kemudian seekor kuda kayu berukir. Mainan dari tali di samping kaki Dehen dan kertas yang digambar Sindai menutupi tubuhnya. Akhirnya, bayi itu hampir tertutup oleh mainan dan pakaian yang dibawa untuk perayaan itu. Namun, masih ada beberapa paket yang tersisa. Dukun kampung menganggukkan kepalanya ke arah Bungeh.

"Hanjak dan Sindai," dia kemudian melihat ke arah keluarga Gintang. "Kalian berdua juga."

Kedua anak itu meraih dua kotak terbesar.

"Jangan malu-malu," Oboi tersenyum.

Anak-anak Epan menatap ayah mereka. Setelah beberapa saat ragu-ragu, dia menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan menuju meja dan diberikan satu hadiah masing-masing. Mangkuk dari batubara tinggal sendirian, seperti anak yatim piatu, hitam bulat. Mereka dengan cepat melangkah mundur untuk berada di samping ayah mereka dengan hadiah kecil mereka. Epan Gintang mencengkeram kupluknya saat pembagian hadiah selesai.

Rumbun dan Bungeh berdiri menjauh dari kursi mereka dan berjalan ke kedua sisi dukun kampung. Mereka menutup mata mereka saat dia memulai mantranya. Lengan kirinya melintasi boks bayi dalam bentuk angka delapan saat dia melafalkan mantra dengan nada yang lembut dan mantap. Tas hitam terlepas dari lengannya dan mendarat di atas meja.

Epan melirik istrinya. Dia terus menundukkan kepalanya, tetapi mengintip melalui rambutnya setiap detik. Pada saat dia kembali menatap boks bayi, dukun kampungtelah mengeluarkan pemotong dari tas dan melambaikannya perlahan di atas kepala bayi dengan tangan kirinya.

Cahaya dari lampu ruang tamu memantul dari mata pisau dan menari-nari di wajah Epan Gintang. Bayi itu mulai menangis dengan suara yang melengking lantang, wajahnya mengerut menjadi kerutan merah muda dan berkilau. Dan seketika itu juga, tangan kanan bidan desa mengelus rambut hitam tipis Dehen dan kemudian diturunkan hingga terbentang di bawah bahunya. Dagu Dehen terangkat ke udara.

"Ya Tuhan!" Epan Gintang berteriak dan maju menerjang dukun kampung, "YA TUHAN!"

Kedua anak laki-laki Epan jatuh ke lantai saat Resi dan Rumbun menangkap pria tinggi kurus itu. Dia bergumul dan mencakar saat mereka mengangkat dan mendorongnya ke dinding ruang tamu. Resi menekan dagunya dengan telapak tangan sementara Rumbun berjuang dengan lengannya yang kurus dan bertato.

Sindai terus membuka kadonya dengan kedua tangan, sementara Oboi meringkuk di kursinya. Tiba-tiba, tubuh Sarah Gintang yang lusuh ambruk ke lantai seperti bayangan dan kedua putranya mulai merintih.

Bungeh tetap berada di sisi dukun kampung, tanpa ekspresi dan diam, sementara Epan Gintang terus memekik. Rumbun mengangkat tangannya dan berusaha menutup mulut pria kurus itu yang terbuka dan terus berteriak, "Ya Tuhan! Ya Tuhan!"

"Bapak Epan!" Jenta berteriak saat Manyang terbangun dari tidurnya dan menangis. "Kamu menakuti anak-anak!"

"Sudah kubilang---" Bungeh mendesis, matanya tegang dan liar. "Mereka adalah orang-orang biadab."

Tangisan Dehen tiba-tiba berhenti. Beberapa detik kemudian, dukun kampung menurunkan tutup boks bayi itu.

Bandung, 17 Juni 2021

Sumber ilustrasi

(Cerpen ini murni fiksi adanya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun