Dukun mengikuti Oboi ke kamar tidur.
Mawinei meraung dari sisi lain pintu dengan cepat dan marah seolah-olah dia telah mengantisipasi kedatangan mereka. Pintu menutup di belakang keduanya.
"Seharusnya sudah lahir," kata Jenta sambil berdiri dari bangku kayu ulin. Sindai meluncur ke pangkuannya saat ibunya mengambil keranjang kecil dan dengan hati-hati meletakkannya di atas meja sehingga menghadap ke kotak bayi. Dia kemudian menarik dua kursi menjauh.
Sindai naik ke kursi yang lebih dekat dan mengamati keluarga Gintang seolah-olah mereka merupakan hadiah juga. Peri cilik itu mengembungkempiskan pipinya saat Bungeh berbicara dengan suara lembut.
"Hanjak, sayang. Tengoklah ibumu. Seorang anak laki-laki harus bersama keluarga dekatnya pada saat seperti ini."
Hanjak menghilang ke balik pintu kamar. Sebuah teriakan tiba-tiba terputus saat pintu tertutup di belakangnya.
Bungeh mengulangi pertanyaannya.
"Anda akan bergabung dengan kami, Tuan Epan?"
Epan Gintang menatap kupluknya dengan gugup sambil memiringkan kepalanya.
"Aku rasa kami akan tinggal sebentar. Kami tidak ingin mengganggukalian semua. Terutama seperti saat ini."
Resi berjalan di sampingnya dan menepuk pundaknya. Debu naik dan tersebar memantulkan cahaya yang berasal dari lampu ruang tamu.