"Ayolah, Epan. Ini acara adat, semua orang diundang."
Dia menebar senyum pada seluruh orang di ruangan itu. "Begitulah kami. Ini budaya kami. Sebagai warga baru, kamu tidak akan menolak keramahan kami, bukan?"
"Yah," desah Epan pelan dan datar dan kemudian mengatupkan mulutnya seolah sedang berpikir keras. "Kurasa aku tidak ingin menunjukkan rasa tidak hormat pada kalian. Kami memang orang baru."
"Kalau begitu beres," kata Bungeh. "Aku akan mengeluarkan beberapa kursi lagi."
"Jangan," kata Epan cepat. "Kami lebih suka berdiri."
"Nah, bagaimana dengan kamu, anak laki?" Resi bertanya sebelum melangkah ke depan, menekuk pinggangnya yang tebal dan menatap wajah anak itu. "Jadi, Yehes, apakah kamu mau duduk bersama temanmu?"
Anak laki-laki itu menatap Resi dengan dagu menempel di dadanya dan tetap diam.
Epan Gintang angkat bicara.
"Mereka juga berdiri," katanya, lambat dan datar. "Dan yang itu adalah anak bungsuku. Mereka bukan teman."
Resi berdiri dan menatap anak laki-laki yang lebih tua. Matanya yang bertato menatap ke bawah.
"Tapi, kupikir kau bilang Jebed adalah anak sulungmu."