Ketika semua orang sudah tenang, Bungeh perlahan-lahan berdiri dan berjalan di sisi meja. Setibanya di kursi yang paling dekat dengan pintu kamar tidur, dia mencengkeram kepala kursi sampai buku-buku jarinya memutih. Deru napasnya lebih mirip dengkuran. Oboi memejamkan matanya.
"Bapak Epan," kata Bungeh, suaranya renyah dan tegas. "Sangat bijaksana bagi Anda dan keluarga memikirkan putri kami dalam kesempatan ini. Saya harap Anda mempertimbangkan untuk tinggal bersama kami selama sisa upacara kecil kami ini."
Oboi menghela napas panjang seakan-akan baru kali ini dia tahu caranya.
"Ide yang bagus, Bungeh," katanya sambil kerutan-kerutan bahagia memenuhi wajahnya.
Mangkuk batubara itu diletakkan kembali di atas meja dan dia mulai menuangkan minuman ke dalam beberapa cangkir kertas. Dia baru saja mengisi dua cangkir kertas ketika tirai kembali melayang dan Hanjak yang berusia dua belas tahun bergegas masuk. Wajahnya berlumuran keringat, dan debu membedaki wajahnya.
"Dukun sudah di sini!" katanya bersemangat.
Oboi tertatih-tatih menuju lorong dan memegangi tirai. Jeda waktu semenit sebelum dukun kampung masuk dengan mantel panjangnya, dengan tudung upacara ditarik ke atas dan menutupi kepalanya. Gumpalan rambut putih tergerai dari sisi tudung, dan dia membawa tas hitam kecil di tangan kanannya.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya.
"Oh, lewat sini," kata Oboi cepat. "Dia baru saja akan melahirkan."
"Bagus," kata dukun kampung. "Air hangat dan handuk?"
"Handuk ada di sana, tapi aku belum membawa airnya untuk memastikan tetap hangat."