Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tembuni

17 Juni 2021   20:04 Diperbarui: 17 Juni 2021   20:20 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menggunakan kekerasan terhadap seorang anak tidak pernah dibenarkan," kata Bungeh. "Aku tidak peduli dengan latar belakang mereka atau tradisi mereka, dan selain itu, itu lebih dari sekadar cara mereka memperlakukan anak-anak mereka. Mengapa, Gintang tidak percaya pada adat atau kebiasaan apa pun. Bisakah kalian bayangkan bagaimana jadinya jika orang bertindak dengan cara lama? Tidak akan ada apa-apa selain kekacauan, sama seperti sebelumnya."

Dia menatap tirai yang memisahkan ruang tamu dari lorong menuju pintu.

"Aku bukan ahlinya, tapi hanya dengan melihat mereka dari jauh, aku bisa tahu bahwa keluarga Gintang banyak yang kasar, dan dari penampilan mereka mereka jarang mandi. Mereka adalah..." dia berhenti sampai dia menemukan kata yang tepat. "Mereka biadab!"

Pintu kamar tidur tiba-tiba terbuka dan Rumbun melesat keluar. Berbeda dengan Oboi dan Bungeh yang pendek dan ramping, dia tinggi dan ceking.

Sindai menjulurkan lehernya untuk melihat dibelakang tubuh Rumbun. Yang bisa dia lihat hanyalah lutut Mawinei sedikit terlihat, dan mereka semua bisa mendengarnya mendengus dengan keras.

"Kepalanya sudah kelihatan," kata Rumbun, raut wajahnya campuran antara bahagia dan khawatir. "Mungkin butuh seseorang untuk membantu."

Olivinna tiba-tiba memaksakan dirinya untuk berdiri dari kursi goyang.

Meskipun kehamilannya baru enam bulan, tapi tampaknya sudah mendekati melahirkan. Sebagian karena dia pada dasarnya memang berpostur tambun. Selain itu, bobot Purok hampir enam kilo saat dilahirkan.

Dia menepuk bagian atas perutnya saat melangkah melewati suaminya dan berjalan mengitari meja makan yang panjang. Melirik sutra mengilap yang melapisi sisi dan bagian bawah kotak bayi secara sepintas lalu mengikuti Rumbun ke dalam kamar.

"Aku tahu aku juga akan butuh bantuan kalian ketika saatku tiba," katanya lembut. Pintu ditutup perlahan.

 Resi Bagau berjalan ke meja dan meletakkan bungkusan putih berdebu dengan hati-hati di pinggiran tumpukan kado dan melanjutkan berkeliling ke kursi goyang yang sekarang kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun