Â
     Reaksi mayoritas negara menunjukkan bantahan terhadap otoritas Israel. Dalam sistem hukum internasional, penolakan kita terhadap Saperto akan mencegah klaim Israel menjadi tidak sah. Artinya, pendudukan Israel secara de facto atas wilayah-wilayah pendudukan, akibat kebijakan pemindahan ibu kota ke Yerusalem, yang dianggap ilegal menurut hukum internasional. Inilah akar konflik Palestina-Israel.
Â
     Di sisi lain, negara-negara juga dilarang memberikan pengakuan atas situasi yang lahir dari pelanggaran serius terhadap norma ius cogens (peremptory norm of general international law). Larangan tersebut merupakan kebiasaan internasional yang terkodifikasi dalam Pasal 40 ayat (2) UN ILC Draft Article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts  (2001). ICJ dalam Advisory opinion on Wall misalnya, melarang negara-negara mengakui situasi illegal yang terlahir dari perbuatan Israel tentang pembangunan tembok di wilayah okupasi (hal. 70). Pengakuan Amerika Serikat atas kebijakan sepihak Israel yang memindahkan ibukota ke Jerussalem tahun 2017 lalu juga mendapat penolakan dari 128 negara di Majelis Umum PBB pada saat dilakukan voting terhadap Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/ES-10/L.22 (2017). Reaksi mayoritas negara ini menegaskan bahwa penetapan status Jerusalem sebagai ibukota Israel tidak sah menurut hukum.[4]
Â
- Penyelesaian konflik Palestina dan Israel ditinjau dari perspektif Hukum Internasional
Â
Pendudukan Israel merupakan isu kunci yang mencegah orang-orang Palestina membentuk negara mereka sendiri. Israel memegang kendali atas wilayah Palestina (Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur) pada tahun 1967 dan warga Palestina telah hidup di bawah pemerintahan militer sejak saat itu. Upaya mediasi internasional sejak 1990-an gagal mengubah status quo. Bahkan jika pendudukan berakhir, hanya tinggal sedikit tanah yang tersedia bagi orang-orang Palestina untuk membangun negara. Orang-orang Yahudi yang tinggal di permukiman Israel di wilayah Palestina kini mencapai 700.000 orang.
Â
Selain itu, jika pun Israel dipaksa untuk mengakhiri pemerintahan militernya di lokasi itu, orang-orang Palestina sendiri sudah sangat terpecah. Kelompok seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diakui secara internasional mendukung solusi dua negara, sementara gerakan Islamis Hamas ingin penghancuran Israel.[5]
Â
Penyelesaian konflik ini hanya dapat dilakukan secara langsung jika hukum internasional mempunyai tujuan tersebut, dalam hal ini negara diakui dan penyelesaiannya dipadukan antara kedua negara yang berkonflik. Sayangnya hal tersebut belum tercapai sehingga tercapai kesepakatan, konflik terus meningkat.