Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemuja dan Memujamu

26 Januari 2018   19:56 Diperbarui: 26 Januari 2018   20:09 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Ibu... punya... pulpen dan ker-rtas?"

            "Untuk apa?"

            "Aku ingin menulis," jawabnya dengan suara lirih. Sang Ibunda merogoh isi tasnya guna mencari apa yang diinginkan anaknya. Tak menemukan barang yang dicari, ibunda Endo berlari meninggalkan putranya menuju meja resepsionis rumah sakit.

            "Ibu ke meja resepsionis sebentar. Mencari pulpen dan kertas," kata Ibundanya seraya meninggalkan Endo di ruangan itu.

*

            Dalam kamar tidur berukuran 4x5 meter itu, perempuan berkulit putih itu duduk di atas ranjang, melayangkan pikirannya ke dunia angan-angan. Memikirkan sesuatu yang mungkin hanya dia sendiri yang mengetahui.

            Bagaimana ya tanggapan dia sama puisi? Bagus enggak ya? Apakah dia bisa menangkap makna yang terdapat di puisiku? Dia tahu enggak ya kalau aku suka sama dia?Pertanyaan demi pertanyaan menjejali hati dan pikiran Lili. Dia tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.

*

            Sementara itu ibunda Endo sudah kembali dengan selembar kertas HVS dan pulpen di tangan. Sang anak memutar lehernya ke arah pintu ketika seorang perempuan paruh baya menghampiri dirinya. Sang ibu menyerahkan kertas dan pena itu pada putranya.

            "Ibu...," kata Endo dengan napas tersengal. Ibunya menatap penuh perhatian dan Endo menganggap tatapan mata ibunya sebagai jawaban 'iya'.

            "To-tolong I-ibu tu-tulis puisi y-yang khu-kuucapkan ini. S-setelah itu hubungi Ri-richard." Wajah Endo memutih bagai kertas tisu. Ia refleks memegang dada serasa ditimpa beban berat. Hela napasnya terputus-putus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun