Mat Wiji tertawa terkekeh-kekeh.
"Mari kita pulang," katanya.
"Apa yang terjadi dengan pencuri itu?" tanyaku ingin tahu.
"Rahasia orang-orang tua," jawabnya pendek.
Lalu kami berdua mengumpulkan barang-barang kami. Lampu-lampu teplok, beberapa batang bambu kuning untuk cagak lampu-lampu teplok itu malam sebelum-sebelumnya, kendi berisi sisa-sisa air kopi bebeg jagung yang langsung kutuangkan ke atas makam Sagrip sambil menawarinya minum kopi dalam hati. Dia toh seharusnya berterimakasih kepada kami karena makamnya itu tetap utuh hingga hari yang terakhir.
"Biarkan mereka," kata Mat Wiji ketika aku hendak membangunkan empat kawan-kawanku yang masih pada tertidur itu, "biarkan saat bangun nanti mereka kebingungan. Pemuda-pemuda yang tidak berguna."
Aku tertawa saja mendengarnya.
Matahari mulai mengintip di cakrawala ketika kulihat sesosok tubuh berdiri tepat di samping gerbang barat pekuburan saat aku dan Mat Wiji berjalan menuju pulang. Sagrip! Jantungku berdebar-debar. Apa lagi ini?
"Terima kasih," kata Sagrip yang sudah mati itu saat kami hampir melewatinya.
Tanpa sadar, tubuhku merapat pada Mat Wiji. Mat Wiji sama sekali tidak memperhatikan sosok itu, tetap klepas-klepus merokok.
"Biarkan saja," bisiknya padaku..