*****
Seperti telah lama sekali Mat Wiji meninggalkanku sendirian ketika tiba-tiba saja aku diserang rasa kantuk yang dahsyat. Kedua kelopak mataku rasa-rasanya bagai diganduli batu kali yang besar-besar.
"Eling, Bas...eling, Bas." bisikku berkali-kali pada diriku sendiri.
Aku paham, kantuk yang kurasakan ini tidaklah sewajarnya. Tak sengaja, aku menoleh ke kiriku, kulihat hantu tua yang berwarna putih dan duduk di makam Sagrip itu masih tetap pada posisinya, tak sedikitpun menoleh padaku. Sesekali masih dijilatinya torong lampu teplok itu. Langsung kupalingkan wajahku ke arah lain. Bukan dia, pikirku. Mungkin ada kekuatan yang lain.
Saat itulah hidungku mencium wangi yang aneh. Aroma kembang dan bangkai berbaur menjadi satu membuat perutku seketika bergejolak. Ada keinginan untuk menutup hidungku, tetapi aku ingat pesan Mat Wiji sehingga aku hanya bisa mendengus-dengus menolak aroma aneh yang menyusup ke dalam lubang hidungku itu. Bersamaan dengannya pula terdengar kemudian bunyi krincing-krincing yang nyaring dan tiba-tiba saja segala bebunyian yang ramai masuk pula ke telingaku. Ada suara orang bercakap, tertawa, benda jatuh, hingga suara meriam menggelegar memaksaku bekerja keras menenangkan degup jantungku sendiri.
Tidak terlalu lama keemudian, suara-suara itu serentak berhenti dan sayup sampai kudengar ada yang menyebut namaku, seperti berbisik saja.
"Basuki...."
Seperti dekat tetapi seperti pula jauh. Sukar dijelaskan
"Yaaa.." tanpa sadar aku menanggapinya.
"Basuki..."
Peluhku bercucuran seperti air hujan yang merembes pada dinding gedek, tapi aku sama sekali tidak berani menoleh atau sekedar menggerakkan jari-jari tanganku.