Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(FiksiHorror) Tujuh

14 Mei 2011   12:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:42 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Kau tidak pulang, Basuki?" tanya suara itu. Arahnya kini dari sisi kananku. Begitu dekat, karena kurasakan pula hembusan napas yang dingin menyentuh telinga dan sebagian leher serta bagian kanan wajahku.

"Aku..aku tidak akan pulang sekarang. Aku akan pulang selepas subuh," jawabku sedikit terbata-bata.

Lalu kudengar suara tertawa cekikikan yang melengking tinggi dan sebuah sosok perempuan berambut panjang tiba-tiba telah muncul di hadapanku, duduk memunggungiku. Rambutnya yang panjang seakan-akan menutupi seluruh tanah pekuburan ini dan aku merasakan aku justru telah duduk pula beralaskan rambutnya. Duh, biyung!

Dia kudengar bersenandung lirih sambil memain-mainkan dengan tangannya beberapa helai anak rambut di samping telinganya dengan kepala miring ke kanan. Sedikit demi sedikit tubuhnya yang tidak bisa kulihat kakinya itu berputar dan berbalik menghadapiku. Aku dicengkam ketegangan yang luar biasa hingga ingin rasanya melarikan diriku pulang, tetapi rasa-rasanya untuk bergerak pun sulit.

Perlahan-lahan tubuhnya berhadapan denganku dalam jarak hanya sekira dua jengkal sehingga dapat tercium wangi tubuhnya yang bercampur dengan bau busuk yang amis menggelitik hidungku. Awalnya hanya bisa kulihat matanya yang hijau itu. Lalu dahinya nampak pucat melebihi pucat kulit mayat. Sedikit-demi sedikit, seperti gordin yang disibakkan, keseluruhan wajahnya kemudian terpampang jelas di mataku.

Ah, wajahnya sebenarnya cantik, tapi bagiku bibirnya yang tersenyum itu terlalu lebar. Benar-benar lebar hingga tarikan sudutnya hampir mencapai kedua telinganya membuatku ngeri dan beringsut ke belakang beberapa jengkal.

Dia masih bersenandung dan memainkan anak rambutnya, tetapi matanya itu tajam menatapku. Ketika beberapa lama kemudian senandungnya berhenti, dia berkata ketus:

"Bali nganah!"

Aku tertegun. Dalam ketakutanku itu aku masih bisa berpikir dan teringat pesan Mat Wiji. Apapun yang terjadi, aku harus tetap ada di sana. Harus tabah. Maka aku menjawabnya dengan terbata-bata:

"Ti..tidak mau..."

Lalu tangan kanannya yang tertelan lengan bajunya yang panjang itu terangkat seperti akan menamparku, tetapi urung dan berhenti di udara. Aku yang sudah merasa pasrah saja akhirnya benar-benar bisa bernapas lega. Ada yang menghalanginya untuk melakukan sesuatu terhadapku. Kudengar suara tercekat di tenggorokannya, lalu tanpa berbicara lagi, dia berbalik dan tubuhnya seperti kapas saja terangkat dan melayang hingga hilang di kegelapan. Hanya terdengar tawa cekikikannya memenuhi pekuburan ini.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun