Aku masih saja memaki-maki dalam hati. Awalnya aku membayangkan berjaga di kuburan hanyalah pindah tidur saja sementara dari rumah. Tenyata di hari terakhir ini, hari di mana masuk giliranku berjaga aku harus mengalami hal seperti ini. Takut sih tidak terlalu. Menegangkan, iya. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih baik tidak mengalami yang seperti ini.
"Tenang saja, selain tandangnya yang mengerikan itu, dia tidak akan melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan tuannya. Tugasnya hanya menidurkan, jadi dia akan pergi dari sini begitu kokok ayam pertama terdengar."
"Tapi, kenapa yang lain dibiarkan kena sirep, Pak? Kalau mereka tidak tidur, bukankah kita jadi lebih banyak?"
"Kau berani mengambil resiko salah satu dari mereka menjadi histeris dan membuat yang lainnya pun jadi gentar? Tidak pingsan juga sudah bagus. Apalagi jika maling-maling itu kalap, apa tidak dibantainya kalian semua? Korban jadi banyak sementara kemampuanku pun sebenarnya hanya sanggup melindungi satu saja dari kalian. Jadi biarkan saja orang-orang tidak berguna itu tidur dengan pulas. Aku hanya butuh kau yang kulihat sebenarnya mempunyai keberanian yang lebih dari mereka untuk menjagai makam ini sementara aku berjaga di ujung utara."
"Kalau mereka datang dari arah lain?"
"Tidak mungkin. Selatan, Timur dan Barat sudah ada tuannya. Bisa geger!"
Aku diam saja, tidak mengerti dengan kata-kata orang klenik seperti Mat Wiji itu. Mataku justru mencuri-curi pandang pada sosok yang duduk di atas makam Sagrip sambil terus menjilati torong lampu teplok itu. Hatiku begidik ngeri.
"Aku ikut bapake saja," kataku kemudian, karena pikirku buat apa aku berjaga di sini dan Mat Wiji di tempat lain. Tiba-tiba juga aku jadi ingin membangunkan semua kawan-kawanku itu.
"Goblok! Kalau tidak ada yang berjaga di ujung utara, maling-maling kroco pun bakalan bisa masuk!"
"Tapi, yang tadi? Dia pun sebenarnya sudah bisa masuk, bukan?"
"Ya, tapi wadagnya tidak. Makanya hanya piaraannya itu. Dia hebat."