Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(FiksiHorror) Tujuh

14 Mei 2011   12:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:42 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuatur napasku untuk mendinginkan perasaanku dan juga karena rasa legaku, tapi belum sempat dua tarikan napas kuselesaikan, ada sesuatu yang jatuh dari atas dan menahan kepalaku. Seperti sebuah tangan yang besar dan berjari lebar mencengkeramnya sehingga aku tidak mampu sama sekali memutar leher. Apa lagi ini, Gusti?

Tanpa pikir panjang, kedua tanganku kuulurkan ke belakang menggapai-gapai karena perasaanku mengatakan sesuatu yang mengerjaiku sekarang berada di belakangku. Aku tak menemukan apa-apa. Di samping kanan dan kiriku, sama saja.

Hanya ada satu kemungkinan.

Dengan menelan ludah dan memberanikan diriku walaupun tubuhku pun gemetaran, aku mencoba menyentuh sesuatu yang menekan bagian atas kepalaku itu dengan kedua tanganku. Aku meraihnya...

Sepasang kaki! Sepasang kaki dengan sepuluh jari! Dingin dan keras seperti batang kayu cengkeh yang beku!

Segera kuturunkan kembali kedua tanganku dan memukul-mukulkannya ke pahaku karena rasa panikku. Sepertinya dua kaki itu bergerak-gerak mengacaukan rambutku sementara tekanan yang kurasakan semakin berat hingga wajahku tertunduk dan leherku terasa pegal. Lalu kurasakan sesuatu ndlewer membasahi kepalaku. Cairan yang entah bagaimana terasa lengket dan berbau luar biasa busuk ketika sampai ke hidungku. Lagi-lagi bau busuk. Sungguh, sebenarnya aku sudah hampir muntah jika saja aku tidak lekas-lekas  teringat pesan Mat Wiji lagi.

"Mbah," kataku kemudian dengan suara bergetar dan sepertinya tak jelas pengucapannya, "tolong, saya di sini cuma pesuruh yang bodoh. Saya tidak mau diganggu. Rika punya tugas, saya juga punya tugas. Kalau kita sama-sama berkeras, tidak akan pernah selesai kecuali mbah mau bunuh saya."

Haduh, dari mana aku bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku jelas tidak akan mau dibunuh setan piaraan orang. Jangkrik!

Kudengar suara lelaki tertawa tanpa membuka mulutnya, karena suaranya itu seperti teredam dalam sumur yang dalam. Lalu:

"Cocotmu! Awakmu mambu lemah kuburan!"

"Nggih, Mbah. Badan saya memang bau tanah kuburan. Ada orang baik yang kasih untuk perlindungan," kataku. Sekali lagi aku heran dengan jawabanku sendiri.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun