Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book

Arah Cahaya Part 8 (Jodoh Akan Indah Pada Waktunya)

12 Agustus 2023   19:18 Diperbarui: 7 September 2023   16:35 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan tergesa-gesa, Cahaya segera menuju ke setasiun kereta api kecil di kotanya. Yakni setasiun kereta api peterongan. Setasiun kereta api yang terletak sekitar 100 meter di sebelah selatan jalan raya jalur Surabaya- Jombang. Segera setelah turun dari becak yang mengantarnya dari rumah ke setasiun, bergegas menuju loket penjualan tiket kereta. Di sampingnya, yang sedari tadi menggandeng tangan adalah saudara sepupunya, Jamilah. Siang itu, jarum jam hampir menunjukkan pukul 10 pagi. Cahaya, gadis 18 tahun yang sedang menunggu kelulusan di salah satu madrasah aliyah ini penasaran ingin me-ngunjungi makam Sunan Ampel untuk berdoa atas segala harapannya dan Jamilah sepupunya yang seorang pembantu rumah tangga, hendak pergi ke Surabaya, ke rumah majikannya.

                Beberapa hari sebelumnya, Jamilah yang sudah beberapa bulan tidak bekerja di rumah majikannya di Surabaya karena sakit, akhirnya ingin bermain di rumah majikannya untuk bertamu dan mengabarkan bahwa ia sudah sehat dan siap kembali kerja.

                "Ikut ta? Lusa aku rencana ke Surabaya, ke rumah majikanku," tanya Jamilah kepada Cahaya, "Apalagi kamu sedang libur panjang. Rumahnya dekat dengan makam Sunan Ampel, katanya kamu ingin ke sana," tambahnya. Dengan senang hati, Cahaya langsung mengiyakan ajakan sepupunya itu dengan mengangguk bahagia.

                "Setasiun Semut, dua," ucap Jamilah dengan suara keras kepada bapak penjual loket karcis kereta api sambil memberikan uang 5 ribuan. Tanpa bicara, petugas penjaga loket langsung memberi dua karcis sesuai tujuan beserta uang kembalian sebesar Rp. 2.600. Belum sempat duduk, ternyata kereta api dari arah Jombang sudah datang. "Ayo cepat! Alhamdulillah tidak usah nunggu lama, keretanya sudah datang. Biasanya bisa nunggu sampai berjam-jam," ajak Jamilah kepada Cahaya yang nurut saja digandeng ke sana-kemari.

                Saat sirine petugas setasiun berbunyi dengan keras, tanda khas suara kedatangan kereta, terdengar suara, "Kereta KRD jurusan Jombang-Surabaya segera tiba". Mendengar suara itu, Semua penumpang yang dari tadi sedang berdiri dan asyik ngobrol sambil duduk di ruang tunggu bergegas berdiri menyiapkan barang bawaan masing-masing. Ada yang sendiri, rombongan, dan tidak sedikit ibu-ibu yang membawa anak kecil.

                Segera setelah gerbang setasiun dibuka, para penumpang yang sedari tadi menunggu kedatangan kereta KRD tujuan Surabaya langsung menyerbu kereta. Mereka bergegas dan berdesak-desakan menuju kereta. Tak terkecuali Cahaya dan Jamila. Cahaya, gadis desa yang baru pertama kali pergi ke Surabaya dan baru beberapa kali naik kereta agak heran, mengapa harus lari-lari. Mengapa tidak menunggu kereta berhenti saja. Seakan tahu pikiran Cahaya, Jamilah bergumam, "Nanti tidak dapat tempat duduk, kalau tidak  masuk kereta duluan," ujar Jamilah sambil menarik tangan Cahaya.

                Benar saja, laki-laki, perempuan, tua muda hingga anak-anak berebut masuk kereta lebih dulu. Kondisi semakin tak kondusif karena ternyata banyak penumpang yang membawa barang bawaan dalam jumlah banyak. Tak hanya tas kecil. Kardus, tas besar, bahkan berkarung-karung barang ikut berjubel. Entah apa isinya.

                "Alhamdulillah, dapat  tempat duduk," ucap Jamilah dengan wajah gembira sambil membuang napas lega. Meskipun dengan perjuangan yang tidak ringan. Karena harus naik dan berdesak-desakan dengan begitu banyaknya penumpang dan barang bawaan serta para pedagang di dalam kereta.

                Segera Jamilah dan Cahaya duduk di tempat duduk kereta api kosong, yang terletak di empat tempat duduk dari pintu masuk. Sebenarnya pada tempat duduk pertama dan kedua ada tempat kosong, tapi hanya untuk satu pe-numpang. Karena ingin duduk dalam satu tempat, akhirnya Jamilah mencari tempat duduk yang agak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka duduk bersebelahan di kursi untuk dua orang berhadapan dengan dua penumpang lain di depannya.

                Sesaat setelah mereka duduk. Kereta pun berangkat. Jamilah dan Cahaya tampak sangat menikmati perjalannnya. Udara segar langsung terasa saat kereta berjalan. Baru beberapa menit berjalan, kereta sudah berhenti di setasiun berikutnya, yakni setasiun Sumobito.

"Lha kok berhenti Mbak Jamilah?" tanya Cahaya kepada saudara sepupunya itu.

"Iki nyampek setasiun Mbito," jawab Jamilah, "Menaikkan penumpang lagi, Kalau naik kereta KRD ya gini, setiap setasiun berhenti, jadi agak lama sampainya. Tapi murah. Kalau kereta mahal ya berhenti di setasiun besar saja. Makanya cepat sampai," terangnya.

                Dengan wajah penasaran, Cahaya melihat para penumpang dan pedagang yang berjubel masuk ke dalam kereta.

"Orang-orang itu kok bawannya banyak sekali ya Mbak. Bawa apa saja?" tanya Cahaya penasaran.

"Owww, di gerbong belakang malah banyak lagi barang bawannya. Sepeda ontel, kardus, kayu. Wis pokoke opo ae dibawa, ada yang dijual di Surabaya," jawab Jamilah.

"Oooow!" Sambil melongo karena heran.

Dalam perjalanan, di dalam kereta, banyak sekali pedagang yang berjualan aneka makanan, mainan dan barang-barang lainnya. Nasi bungkus, onde-onde, krupuk, pita, pisang rebus, kacang rebus, buku dan banyak lagi yang lainnya. Semua berjubel menjadi satu seakan tidak ada tempat kosong karena penumpang tidak semua men-dapatkan tempat duduk, banyak dari mereka yang berdiri hingga ke tempat tujuan.

                Meskipun suasana kereta tidak nyaman karena bau, penuh sesak penumpang dan pedagang serta barang bawaan, tetapi Cahaya dan Jamilah sangat menikmati perjalannya. Sambil nyemil makanan ringan yang mereka bawa dari rumah. Sesekali mereka juga mengobrol dengan dua orang yang duduk di depannya sekadar bertanya tujuan dan basa-basi saja. Hamparan sawah, sungai dan kebun di sepanjang jalan yang dilewati kereta sangat membuat keduanya bahagia.

Setasiun demi setasiun terlewati tanpa terasa, dan setelah hampir dua jam, akhirnya mereka sampai juga di setasiun Semut Surabaya. Setasiun tujuan terakhir kereta. "Ayo turun, sudah sampai," ajak Jamilah sambil berdiri.

Cahaya pun langsung berdiri mengikuti di belakang Jamilah. Tidak jauh berbeda dengan saat hendak masuk kereta yang berjubel-jubel dan saling berebutan, saat keluar juga malah lebih parah. Seakan mereka semua ingin keluar dulu, tidak mau antre. Saling sikut dan saling dorong.

                Setelah keluar dari kereta, Jamilah segera mengajak Cahaya ke rumah Kayani, tetangganya yang sudah lama bekerja di Surabaya sebagai pembantu. "Ayo, tak ajak ke rumah juragannya Kayani, biar tahu. Kita santai-santai dulu di sana. Setelah itu baru ke rumah majikanku," ajak Jamilah dengan tetap menggandeng tangan Cahaya.

Setelah berjalan sekitar 15 menit menyusuri jalan raya yang begitu ramai lalu lalang dan bahkan menyeberang jalan besar hingga tiga kali.

Akhirnya sampailah Jamilah dan Cahaya di depan sebuah rumah besar. Rumah tua dengan pagar yang sangat tinggi dan seperti tak terurus serta tak berpenghuni. Segera Jamilah memencet tombol bel yang agak tersembunyi dari pagar tersebut. Setelah beberapa kali memencet bel, akhirnya keluarlah seorang wanita paruh baya dengan jarik dan gelungan rambut serta kebaya khas wanita desa.

                "Oww, kamu Jamilah. Ayo masuk," ajak Kayani dengan ramah kepada Jamilah sambil menutup pintu gerbang yang dibuka sedikit tadi.

Siapa pun tidak akan menyangka jika rumah tua yang begitu besar yang dipenuhi pohon -pohon mangga besar yang tak terurus itu ternyata berpenghuni. Warna cat putih yang sudah usang dan pagar tinggi yang tampak sangat berkarat pasti membuat orang yang lewat di luar rumah merasa takut dan mengira bahwa rumah tersebut adalah rumah kosong dan berhantu. Meski demikian, tidak begitu dengan Jamilah. Ia seakan tidak takut sama sekali karena memang sudah biasa berkunjung ke rumah tersebut.

                "Dari desa ta kamu? Sama siapa iki? Ayo duduk dulu," tanya Kayani sambil berjalan menuju ruang depan rumah tua tersebut.

"Dari desa, mau ke rumah juraganku, ngasih kabar kalau aku sudah bisa kerja. Ini Cahaya, anaknya Bibik Mardiyah, Gus Abdul pas liburan ingin ikut. Ingin tahu makam Sunan Ampel," terang Jamilah.

"Wis gedhe yo Cahaya. Kelas berapa?" tanya Kayani.

"Mau lulus Madrasah Aliyah," jawab Cahaya singkat. Tentu Kayani sudah sangat paham dengan keluarga Cahaya, karena Kayani tinggal satu kampung dengan Jamilah dan Cahaya di desa.

                Sudah berpuluh-puluh tahun sejak suaminya meninggal, Kayani bekerja sebagai pembantu di rumah Wan Salim, majikannya yang dulu seorang pengacara. Dua anaknya, laki-laki dan perempuan diditipkan pada ibunya. Setiap bulan, ia mengirimkan gajinya sebagai pembantu untuk anak- anaknya di desa. Hingga saat ini, majikannya sudah tua dan istrinya meninggal, Kayani masih tetap bekerja pada juragannya itu. Apalagi saat anak-anak juragannya itu sudah menikah, tinggallah ia merawat juragannya di rumah besar itu hanya berdua saja. Sebenarnya anak Wan Salim sudah pernah mengajaknya tinggal dengan mereka. Tapi Wan Salim tidak mau, ingin tetap tinggal di rumahnya dan dirawat Kayani.

                Rumah Wan Salim ini, tidak seperti rumah pada umumnya di mana bagian depan adalah teras kemudian ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Di rumah tua ini, Teras rumah berada sepanjang samping bangunan rumah dengan dapur dan kamar mandi di teras sebelah utara. Sedangkan timur teras bagian depan adalah ruang tamu dan kamar-kamar yang banyak dengan kondisi tak terurus khas rumah tua.

                "Wan Salim ke mana?" tanya Jamilah.

"Ini tadi habis makan siang, minum obat terus istirahat," jawab Kayani, "Ayo diminum." Sambil me-nyodorkan dua cangkir teh ke meja.

"Kok yo repot," jawab Jamilah.

"Ayo makan dulu, aku tadi pas masak rawon," ajak Kayani lagi dengan ramahnya.

"Aku tak mandi trus salat dulu yo," jawab Jamilah.

                Setelah salat, makan, minum dan bersantai. Jarum jam menunjukkan pukul 14:00. "Ni, aku pamit sik yo, tak ke rumah juraganku, terus nanti langsung ke makam Sunan Ampel," terang Jamilah.

"Nginep apa langsung pulang? Kalau nginap di sini saja, aku biar aku ada temannya," rayu Kayani.

"Nginep di Ampel saja. Trus pagi habis Subuh langsung ke setasiun Semut, pulang naik kereta," jawab Jamilah.

"Kamu kapan pulang, mosok gak pernah pulang?" tanya jamilah lagi kepada Kayani yang memang hampir 10 tahun tidak pulang.

"Aku tidak bisa pulang, nunggui Wan Salim. Paling uangnya saja yang pulang. Biasannya anak dan ponakan ke sini tak titipi uang untuk anak-anakku di rumah. Matur-suwun disambangi. Salam buat semua keluarga di desa."

                Jamilah dan Cahaya segera menuju keluar ditemani Kayani di belakangnya.

"Wis, aku pamit ya, matursuwun. Maaf ngrepoti."

"Gak apa-apa, kalau pas ke Surabaya, mampir ke sini ya, sudah hafal jalannya to?" tanya Kayani kepada Cahaya.

"Nggih," jawab angguk Cahaya sambil tersenyum malu.

"Wis yo, Assalamualaikum," pamit Jamilah.

"Walaikum salam," jawab Kayani sambil meng-gembok pintu gerbang rumah tua itu.

"Rumah juraganku tidak jauh, jalan kaki saja," ajak Jamilah kepada Cahaya.

Cahaya pun mengangguk, mengiyakan ajakan Jamilah. Setelah berjalan ke arah barat lurus di pinggir jalan raya besar sekitar satu kilo, Jamilah dan Cahaya belok kanan masuk gang. Hanya jarak empat rumah dari gang, sampailah mereka ke rumah yang dituju, yakni rumah majikan Jamilah. "Ini rumahnya. Kamu pencet belnya," suruh Jamilah kepada Cahaya karena bel rumah itu berada tepat di depan Cahaya.

                Sambil memperhatikan rumah besar dan asri yang penuh bunga dan pohom palem besar serta rerumputan hijau yang terawat dengan pagar tembok pendek, Cahaya kembali memencet tombol bel hingga tiga kali. Tampak wanita keturunan arab berambut panjang terurai yang sangat cantik, keluar dari rumah besar tersebut. "Sampeyan ta yuk? Ayo masuk," ajak ibu muda tersebut dengan ramah sambil membuka kunci gembok pagar dan mengajak tamunya masuk.

"Iya Da," jawab Jamilah sambil tersenyum. Cahaya pun mengikutinya di belakang.

                Saat masuk ruang tamu, seperti ada yang mengganggu pikiran Cahaya. Ia melihat seorang pemuda keturunan Arab yang sangat tampan tampak tersenyum tanpa henti di ruang tamu sebelah selatan rumah tersebut dengan asyiknya. Sedangkan Cahaya dan Jamilah duduk di ruang tamu sebelah utara. Ruang tamu rumah berlantai dua itu memang sangat luas. Di bagian kiri dan kanan pintu adalah ruang tamu beserta sofa yang sangat bagus tanpa sekat tembok atau yang lainnya.

                "Duduk dulu, tak ambilkan es sirup," suruh Rosidah, majikan Jamilah yang sepertinya sudah seperti keluarga sendiri bagi Jamilah. Sebelum bekerja di rumah Rosidah, Jamilah memang sudah bekerja bertahun-tahun di rumah orang tua Rosidah. Seteleh menikah, Jamilah bekerja sebagai pembantu di rumah Rosidah.

                "Sebentar tak ambilkan minum," kata Rosidah Sambil berjalan ke dapur.

Saat Rosidah, Majikan Jamilah ke dapur, Cahaya bertanya kepada Jamilah. "Mbak Jamilah, itu kok ada cowok senyum-senyum dari tadi siapa?" tanya Cahaya penasaran kepada Jamilah dengan suara pelan.

"Itu anak majikanku dulu, adiknya Rosidah. Agak miring, stres. Ingin jadi artis tak kesampaian. Tapi tidak mengganggu kok," jawab Jamilah sambil mengangkat tangan kanannya di atas kening. Tanpa menjawab, Cahaya tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

                "Ayo diminum," suruh Rosidah sambil menaruh es sirup merah wadah gelas besar dan cemilan kue kering wadah toples yang dari tadi sudah ada di atas meja. "Sampean sudah sembuh ta? Kapan bisa kerja lagi?" tanya Rosidah kepada Jamilah.

"Minggu depan aku sudah bisa kerja. Ini tadi ke sini ingin ngabari, sekaligus ini saudaraku ingin pergi ke makam Sunan Ampel," jawab Jamilah.

Setelah ngobrol ke sana-kemari, akhirnya Jamilah meminta izin kepada majikannya itu untuk mandi dan salat. "Aku tak ke kamar, mandi dan salat terus ke Ampel," izin Jamilah kepada majikannya itu.

"Oww, iya Yuk," jawab Rosidah.

                Segera Jamilah mengajak Cahaya menuju ke lantai dua di sudut ruang paling selatan dekat dengan tandon air besar berwarna orange. "Ini kamarku di sini," terang Jamilah kepada Cahaya, "Kamu mandi dulu, terus salat, gantian," suruh Jamilah kepada Cahaya sambil memberikan handuk yang ia ambil dari lemari. Cahaya segera menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar Jamilah.

                Untuk seukuran kamar pembantu, kamar Jamilah ini bisa dibilang sangat bagus. Ukurannya cukup luas, ventilasi udara juga cukup. Mungkin karena majikannya sudah menganggapnya seperti keluarga. Setelah keduanya mandi dan salat Ashar, Jamilah dan Cahaya segera turun dan meminta izin pulang kepada majikannya itu.

"Da, aku pulang ya. Mau ke makam Sunan Ampel dulu, besok baru pulang. Minggu depan aku sudah mulai kerja," pamit Jamilah sambil bersalaman dan mencium pipi majikannya yang cantik itu diikuti Cahaya.

                Sambil berjalan menyusuri jalan raya yang ramai dengan mobil dan angkutan umum. Cahaya tampak begitu senang memerhatikan suasana jalan yang ramai. Meski bising dan banyak debu, namun udara tidak lagi panas karena hari sudah mulai senja menambah senangnya mereka berdua berjalan menuju makam Ampel. Tak tampak wajah lelah keduanya. Sambil berjalan, Cahaya bertanya kepada Jamilah.

"Sampean kalau manggil majikannya kok tidak pakai panggilan ibu, Mbak Jamilah? Langsung manggil nama," tanya Cahaya kepada Jamilah yang ingin ia tanyakan sejak tadi.

"Rosidah itu dulu anak majikanku. Dari kecil aku yang momong. Sekarang setelah dia menikah jadi majikanku. Ya aku manggilnya tetap Rosidah saja, tidak pakai ibu atau juragan. Sudah seperti adik sendiri," terang Jamilah, "Lebih enak, Rosidah ya tidak keberatan," tambah Jamilah.

                Setelah berjalan beberapa lama, akhirnya mereka sampai di pintu masuk makam Sunan Ampel. Waktu itu, jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Jamilah mengajak Cahaya makan di Soto ayam langganannya yang berada di gang kecil, di pertengahan jalan pintu masuk Ampel. Cahaya yang sedari tadi memerhatikan penjual bermacam-macam buah khas timur tengah, jilbab, sajadah, baju, dan oleh-oleh khas wali mengiyakan ajakan saudaranya itu.

"Di sini banyak penjual makanan arab, seperti roti maryam, nasi briani, kambing guling, nasi kebuli. Tapi aku paling seneng sotonya. Enak, seger," kata Jamilah me-yakinkan kalau pilihannya itu tidak salah.

                Karena terbiasa bekerja di rumah orang kaya, secara otomatis, selera Jamilah memang sangat bisa dipercaya. Apa yang dibilangnya enak, sudah bisa dipastikan bahwa makanan itu memang enak. Hal itu dibuktikan dengan selera masaknya setiap hari ketika pulang. Ibu Cahaya yang orang desa, sering menasihati sepupunya itu untuk masak dan makan seadanya, tidak menyamakan seperti di rumah majikannya.

                Setelah beberapa saat berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan penjual dan pembeli yang begitu ramainya, apalagi hari ini adalah malam Jum'at, akhirnya mereka berdua sampai di penjual soto yang dituju. Segera Jamilah belok kiri dan mengambil tempat duduk plastik yang sudah disediakan penjual soto gerobak di gang kecil itu.

"Soto dua, es teh dua, Pak," ucap Jamilah ber-semangat sambil mengangkat kursi plastik tanpa senderan dan memberikannya kepada Cahaya.

Cahaya pun mengambil kursi itu dan duduk sambil melihat bapak tinggi besar penjual soto yang mirip orang arab itu. Sesekali Cahaya menelan ludah melihat ayam kampung dengan jerohan dan uritan, telur kecil-kecil yang masih menempel di bagian dalam ayam yang berjejer di atas etalase gerobak dan kuah soto serta irisan jeruk.

                Apalagi ketika ia melihat sepasang suami istri di depannya yang sedang makan soto panas yang baru dihidangkan sedang makan dengan peluh mengucur dari dahi menandakan bahwa soto yang telah ditunggu-tunggunya memang nikmat rasanya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dua mangkuk besar soto yang dipesan dihidangkan. Tanpa menunggu lama, Jamilah dan Cahaya langsung memasukkan kecap dan sambal serta perasan jeruk nipis ke soto yang ada di hadapannya.

Segera mereka melahap soto sambil meniup-niup sebelum dimasukkan ke mulut karena saking panasnya. "Enak kan?" tanya Jamilah kepada Cahaya yang dari tadi sudah penasaran ingin merasakan soto panas yang dimakan orang di depannya.

"Mantap, suegerr, enak. Ayam kampung, bakal telur, jeroan dan sayapnya empukk. Tambah sambel, kecap dan perasan jeruk, tambah uenakk," jawab Cahaya puas.

                Setelah puas menikmati semangkok soto dan es teh, mereka melanjutkan perjalanan ke makam Sunan Ampel. Sebelum masuk ke areal makam, mereka mengambil air wudhu dan mengambil mukena yang mereka bawa di tas. Kemudian menuju masjid untuk berjamaah salat Magrib. Tak lupa memasukkan sandal yang dipakai ke dalam tas kresek dan memasukkannya ke tas agar tidak hilang karena banyaknya peziarah dan jamaah. Setelah hampir 10 menit menunggu waktu salat Maghrib, akhirnya azan ber-kumandang. Semakin malam, jamaah dan peziarah tidak semakin sepi, malah semakin ramai.

                Usai salat Maghrib, keduanya segera menuju ke areal makam. Sebelum ke areal makam Jamilah mengajak Cahaya mengisi buku tamu. Hal itu karena mereka berencana menginap di situ. Setelah mengisi buku tamu yang berada di utara pintu masuk, petugas memberi tahu bahwa penginapan berada di sebelah barat makam dan barat kamar mandi.

                Segera keduanya menuju ke makam sebelah kanan. Karena waktu itu, sebelah kiri digunakan untuk peziarah laki-laki dan peziarah perempuan sebelah kanan. Kembali mereka melepas sandal dan memasukannya ke tas kresek yang sudah disiapkan di tas. Di dalam makam, Cahaya mengambil tempat di bagian paling depan dekat dengan makam dan Jamilah duduk agak belakang bersender di pilar. Setelah berdoa hampir satu jam, terdengar suara Azan Isya'.

Cahaya mengajak Jamilah salat berjamaah di masjid Sunan Ampel. Setelah salat, Jamilah mengajak Cahaya berjalan-jalan.

"Ayo jalan-jalan dulu, lihat penjual di luar. Sambil beli-beli nanti kalau ada yang suka," ajak Jamilah.

Cahaya pun mengangguk mengiyakan. Saat malam hari, pedagang khas ziarah wali dengan dagangannya yang bermacam-macam ramai sekali dengan pembeli. Jamilah tertarik membeli jilbab dan henna untuk menyemir rambutnya yang sudah mulai putih. Sedangkan Cahaya, membeli tasbih dan gelang dari batang kayu kokka yang konon kayu ini diperoleh dari pohon kokka yang terdapat di hutan di negara Turki, Nigeria, Arab, Iran, Mesir dan Afganistan yang sangat diminati negera-negara melayu seperti Indonesia yang banyak digunakan untuk gelang, cincin dan tasbih.

                Puas berjalan-jalan, mereka kembali ke areal makam Sunan Ampel hingga hampir pukul 22:00 malam. Karena jumlah pengunjung yang semakin banyak, sepertinya tidak ada lagi tempat tersisa untuk kembali berziarah. Setelah melihat ke sana-kemari dengan seksama, akhirnya mereka mendapatkan tempat kosong paling belakang sebelah kanan dekat tembok. Suasana malam penuh dengan riuh orang berzikir dan mengaji membangkitkan harapan Cahaya untuk berdoa dengan sepenuh hatinya. Yasin, tahlil, surat Al Kahfi, Arrohman, Waqiah, Aljumah, Al Mulk, hingga jus 30 dibaca semua dengan khusuk sampai berulang-ulang memohon kepada Allah agar mengabulkan segala harapan dan keinginannya sampai tak sadar air mata berderai di pipi.

Sementara Jamilah, yang sedari tadi bersender di tembok tampak tertidur. Malam itu, Cahaya berdoa agar ia lulus dan bisa melanjutkan kuliah. Orang tuanya damai, tidak sering bertengkar. Ia juga berdoa agar kelak mendapat jodoh dan berumah tangga dengan bahagia tidak seperti kedua orang tuanya yang selalu bertengkar. Terbayang dalam benak Cahaya, betapa beratnya punya orang tua yang sedikit-sedikit selalu bertengkar. Air mata pun tumpah seperti tak lagi bisa terbendung. Selesai berdoa, Cahaya merasa beban yang ia alami selama ini agak berkurang.

Dalam benak Cahaya saat ini, bahagia adalah saat ia menemukan pasangan yang menyayanginya dan keluarga. Tidak lebih dari itu.

                Jarum jam menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Cahaya segera membangunkan Jamilah untuk beristirahat di penginapan areal makam. Setelah berjalan lurus ke arah barat dari areal makam, terdapat penginapan sederhana yang belum selesai dibangun. Di dalam gedung luas tanpa sekat itu juga banyak dijumpai pengunjung lainnya yang ingin bermalam.

"Kita ke situ saja," ucap Jamilah sambil menunjuk tempat kosong dengan alas karpet merah.

Tas yang mereka bawa, mereka jadikan sebagai bantal. Dan kain sarung yang mereka bawa untuk mandi sebagai selimut. Beberapa menit kemudian, meskipun banyak nyamuk dan ramai dengan pengunjung lain yang mengobrol, mereka tampak tertidur lelap.

                Pukul 03:00 pagi, Jamilah bangun lebih dulu dan membangunkan Cahaya. "Ayo bangun, mandi, salat terus pulang. Biar tidak antre nanti di kamar mandi. Kereta tujuan Jombang nanti jam setengah enam," ajak Jamilah. Dan benar saja, di kamar mandi umum tersebut sudah banyak para peziarah, meskipun belum sampai antre.

Segera keduanya menuju kamar mandi paling ujung dengan pintu terbuka sebagai tanda tidak ada orang di dalamnya. Setelah selesai mandi, keduanya kembali ke areal makam untuk berdoa. Sekitar 30 menit kemudian, mereka pun meninggalkan areal makam dengan lega dan bahagia. Saat berjalan ke arah pintu keluar sekali-kali mereka berhenti sekadar melihat-lihat jika ada sesuatu yang  menarik untuk dibeli dan tentunya dengan harga murah. Mereka juga memberi roti maryam dan teh hangat. Roti maryam, roti khas timur tengah itu memang banyak dijual pedagang di areal makam.

                Setelah berjalan hampir 15 menit menyusuri pintu keluar di antara deretan pedagang di areal pemakaman, mereka sampai juga di pintu keluar. Karena tidak ingin ketinggalan kereta, akhirnya Jamilah mengajak Cahaya naik becak menuju setasiun Semut. Tak sampai 15 Menit, akhirnya mereka sampai juga di setasiun yang dituju. Mereka langsung menuju loket penjualan karcis kereta. Namun, karena loket penjualan karcis belum dibuka, akhirnya mereka duduk di tempat duduk paling belakang dari empat baris deretan tempat duduk setasiun yang disiapkan untuk penumpang.

                "Sarapan roti dulu, biar tidak masuk angin," ujar Jamilah kepada Cahaya sambil memberikan bungkusan tas kresek warna putih yang berisi roti maryam dan bungkusan teh hangat serta sedotan warna merah yang ia beli tadi. 

Cahaya pun menerimanya dengan senang hati karena penasaran dengan rasa roti maryam yang belum pernah ia makan sebelumnya. Disela-sela makan, tiba-tiba seorang pria muda yang tampan mirip Winky Wiryawan duduk di sebelah kanan Cahaya.

"Tujuan ke mana Mbak?" tanya pria asing itu dengan senyuman yang sangat manis. "Jombang," jawab Cahaya singkat sambil tersenyum.

Cahaya yang merasa tidak mengenal pria yang menyapanya baru saja kembali melanjutkan makannya sambil ngobrol bersama Jamilah. Pria asing itu pun pergi tanpa disadari keduanya.

                Setelah beberapa waktu menunggu, pria tampan berpakaian hem kotak-kotak biru berlengan pendek dengan calana kain dan bertopi yang tadi bertanya kepada Cahaya kembali duduk di sebelahnya sambil memberikan dua karcis tujuan Jombang. Cahaya pun diam saja karena tidak mengerti maksud pria asing yang tampan itu.

"Tiket buat siapa itu Mas?" sahut Jamilah.

"Untuk Mbaknya dan ibu berdua. Sudah saya belikan. Tujuan Jombang kan?" jawab pria tampan tersebut.

"Lho sudah buka to," jawab Jamilah sambil melihat loket penjualan tiket yang tadi masih tutup. Begitu pun Cahaya, ia melihat loket kereta yang tadi masih tutup ternyata sudah buka dan melihat beberapa orang antre untuk membeli karcis.

                Melihat Cahaya masih bingung apakah harus menerima atau menolak dua karcis yang disodorkam pria tampan tersebut, akhirnya jamilah mengambil tiket tersebut dan mengucapkan terima kasih.

                "Kok tahu kalau tujuan kita ke Jombang?" tanya Jamilah penasaran.

                "Tadi sudah tanya Mbaknya," jawab pria tampan itu sambil melirik Cahaya.

                "Karena tujuan kita sama, saya belikan saja sekalian," tambahnya.

                "Tapi kita turunnya tidak sampai setasiun Jombang, hanya sampai setasiun Peterongan," sergah Jamilah.

                "Tidak apa-apa," jawab pria tampan tersebut.

                Sambil menyodorkan tangan ke arah Cahaya, pria tampan tersebut menyebutkan namanya.

                "Heru Purnomo."

                "Cahaya," jawab Cahaya singkat.

                Kemudian pria tampan tersebut juga mengulurkan tangan ke Jamilah dengan ramahnya. Jadilah suasana menjadi cair dan mereka mengobrol akrab seakan sudah kenal lama sebelumnya. Dari ujung, terdengar jelas suara pegawai kereta bahwa kereta Dhoho Tujuan Surabaya-Yogyakarta segera datang. Heru, pria tampan tersebut segera mengajak Cahaya dan Jamilah menuju tempat kenaikan penumpang kereta. Mereka pun masuk dengan menunjukkan karcis kereta yang sudah dibawa kepada petugas setasiun di pintu masuk menuju kereta.

                Segera setelah kereta datang dan berhenti Heru mengajak Cahaya dan Jamilah menuju pintu kereta yang berhenti tepat di depannya berdiri. Tidak seperti ketika berangkat kemarin, pagi ini begitu lengang. Penumpang hanya sedikit sehingga tidak sampai rebutan untuk masuk. Mungkin karena masih pagi, dan setasiun Semut ini adalah keberangkatan pertama. Setelah masuk kereta, Heru mengajak Cahaya dan Jamilah duduk di baris kedua dari pintu masuk. "Kita duduk di situ ya," tanya Heru sambil menunjuk tempat duduk kosong yang berisi dua penumpang-dua penumpang yang saling berhadapan.

                Heru mengajak Cahaya duduk di dekat jendela, kemudian Heru duduk di sebelahnya dan Jamilah duduk di depannya. Cahaya dan Jamilah pun menurut saja. Di dalam kereta, Mereka melanjutkan mengobrol meski Cahaya lebih banyak diam. Sepuluh menit kemudian, kereta pun berangkat. Angin sepoi-sepoi yang sejuk segera menerpa. Pagi itu, dengan iringan suara kereta, Cahaya dan Heru tampak bahagia.

                Setelah lama berbincang-bincang, diketahui bahwa ternyata Heru adalah keponakan temannya Jamilah yang tinggal di Jombang kota. Heru berkunjung ke Jombang untuk main ke rumah neneknya. Semakin akrablah mereka. Cahaya yang dari tadi banyak diam, sekarang lebih cair dan banyak menanggapi pertanyaan Heru.

                Heru, lelaki muda dan tampan yang berumur 23 tahun itu adalah seorang sarjana lulusan D2 Ekstension Unair Surabaya dan sekarang bekerja di PT Telkom di Surabaya. "Kamu setelah lulus SMA rencana mau melan-jutkan ke mana?" tanya Heru kepada Cahaya.

                "Inginnya ikut UMPTN, tapi belum tahu pilih kampus mana," jawab Cahaya.

                "Masih ingin Kuliah," tanya Heru.

                "Iya," jawab Cahaya.

"Menurutku sih, kalau kuliah di Surabaya, kamu ambil kampus yang agama saja. Karena di Surabaya itu pergaulannya bebas. Bahaya. Apalagi kalau anak perempuan," nasihat Heru kepada Cahaya. Cahaya diam tidak berkata apa-apa.

                Setasiun demi setasiun dilalui dengan cepat, penumpang dan pedagang pun mulai berjubel begitu banyak di dalam kereta. Sesekali pedagang menaruh dagangannya di pangkuan para penumpang kereta dan beberapa waktu kemudian penjual mengambil da-gangannya. Jika ada pembeli yang tertarik, pembeli langsung membayar kepada penjual tersebut. Heru pun membelikan telur puyuh, kerupuk ikan dan softdrink dingin kepada Cahaya dan Jamilah. Di tengah perjalanan, ketiganya mulai merasa ngantuk. Jamilah yang sedari tadi mengobrol dengan penumpang ibu-ibu di sebelahnyan juga sudah tertidur pulas. Disusul dengan Heru yang mulai tertidur dan sesekali bersender di bahu Cahaya.

                Suara pedagang asongan onde-onde yang sangat keras di setasiun Mojokerto sontak membangunkan Heru dan Jamilah. Cahaya yang sedari tadi melihat ke arah luar jendela tampak tersenyum kecil.

                "Kita turun di setasiun Peterongan. Sampean turun di setasiun Jombang kota kan? tanya Jamilah kepada Heru.

                 "Boleh tidak Cahaya tak ajak ke rumah nenek?" tanya Heru kepada Jamilah.

                Jamilah menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang sambil memelototkan matanya kepada Cahaya sebagai isyarat agar Cahaya menolak ajakan Heru.

                "Yo janganlah, baru kenal kok sudah diajak-ajak. Nanti aku dimarahin orang tuanya," jawab Jamilah tegas.

                Akhirnya sampai juga ketiganya di setasiun Peterongan. Heru yang tidak berhasil mengajak Cahaya memohon agar diizinkan ikut pulang ke rumah Cahaya dan ikut turun di setasiun peterongan.

                "Aku boleh ikut main ke rumah sampean?" tanya Heru kepada Cahaya dan Jamilah. Akhirnya mereka bertiga turun di setasiun Peterongan. Kondisi berdesak-desakan antara penumpang, penjual dan barang bawaan membuat simpul sandal dari logam putih yang dipakai Cahaya putus. Simpul logam putih di atas sandal yang copot segera diambil Heru. Saat turun dari kereta, Heru bahkan memasang kembali simpul sandal yang copot tadi dan menggigit dengan giginya agar sandal Cahaya bisa kembali seperti semula meski Cahaya tidak memintanya.

                Setelah keluar dari setasiun, segera Jamilah mencari becak untuk mengantarnya pulang. Jarak rumah dan setasiun sekitar 8 kilometer itu ditempuh dengan naik becak hampir setengah jam dengan ongkos 25-35 ribu. Setelah menemukan becak yang bagus dan penawaran harganya pas, yakni 30 ribu rupiah, akhirnya mereka bertiga naik dalam satu becak.

                Dalam perjalanan, Heru tampak menikmati perjalanan meski ia mendapat tempat duduk sedikit di tengah. Jamilah dan Cahaya yang merasa bingung karena pulang membawa orang asing, tampak lebih banyak diam.

                "Nanti kalau tetangga-tetengga bertanya, pulang sama siapa, tak jawab saja anak juraganku," celetuk Jamilah.

                Heru pun hanya tertawa tipis mendengar ucapan Jamilah.

                Setelah hampir dua puluh menit perjalanan dengan becak, sampailah mereka di rumah. Para tetangga yang tahu mungkin juga bertanya pulang dengan siapa Jamilah dan Cahaya. Setelah sampai di depan rumah, ketiganya langsung turun. Dan tukang becak pun langsung pergi karena Jamilah sudah memberikan ongkosnya di awal.

                "Tidak minum dulu, Pak?" tanya Jamilah kepada tukang becak karena sudah membawa tiga orang penumpang pada jarak yang cukup jauh.

                "Tidak usah Buk, terima kasih, saya sudah mem-bawa minum. Rumah saya dekat sini kok," jawab tukang becak sambil membalikkan becaknya.

                "Terima kasih Pak," tambah Jamilah.   

                "Iya sama-sama," jawab tukang becak paruh baya yang memakai topi bundar dan handuk yang penuh peluh di lehernya.

                Mardiyah, ibu Cahaya yang juga bibi dari Jamilah menyambut kedatangan anak dan keponakannya tersebut. "Ayo masuk. Anak majikan kamu ta ini?" tanya Mardiyah.

"Nemu di jalan," jawab Jamilah dengan tertawa terbahak-bahak. Cahaya hanya diam.

Mardiyah masih menganggap bahwa pemuda tampan yang pulang bersama anak dan keponakannya itu adalah anak majikan Jamilah. Heru, pemuda tampan dan ramah seakan sudah sangat terbiasa menghadapi orang tua. Dengan akrab dan tanpa kendala dia mengobrol dengan Mardiyah, ibu Cahaya dengan ramahnya.

                "Ayo makan dulu seadanya. Tadi ibu masak sayur asem dan ikan lentho kacang ijo, ikan asin dan sambel trasi," ajak ibu Cahaya dengan ramah kepada tamunya.

Heru pun tidak menolak, segera ia menuju dapur dan makan tanpa rasa sungkan. Setelah sekian lama mengobrol akrab, Heru akhirnya pamit pulang. Waktu itu hampir pukul dua belas siang. Cahaya mengeluarkan motor Yamaha Alfa warna hitam untuk mengantar Heru sampai di jalan raya Peterongan. Heru yang dari tadi tampak menikmati suasana pamit bersalaman kepada seluruh penghuni rumah, kecuali Abdul, bapak Cahaya yang memang saat itu sedang tidak ada di rumah. Hanya Cahaya, Jamilah serta kakak perempuan Cahaya.

                Heru segera mengambil motor yang dibawa Cahaya. Ia segera pamit dan mengucapkan salam. Cahaya naik di boncengan Heru. Cahaya menunjukkan jalan yang berbeda kepada Heru dengan jalan ketika pulang nail becak tadi.

                "Ini lurus, belok kiri lurus terus belok kanan," perintah Cahaya kepada Heru. Begitu seterusnya setiap ada belokan.

                Di tengah perjalanan, sambil menyetir motor Yamaha alfa hitam tahun 95, Heru yang dari tadi membawa motor dengan santainya menarik tangan Cahaya dan merangkulkan di pinggangnya. Cahaya menolaknya.

                "Aku sebenarnya ingin serius dengan kamu. Maukah kau serius denganku? Aku tertarik kepadamu sejak pertama kali bertemu di setasiun Semut Surabaya. Aku sudah memperhatikanmu lama. Tapi kau tak menyadari," terang Heru.

                Kembali tangan kiri Heru menarik tangan Cahaya sambil tangan kanannya menyetir motor dan merangkulkan di pinggangnya. Kali ini Heru memegang tangan Cahaya dan tidak melepaskan agar selalu berada di pinggangnya. Cahaya yang dari tadi ingin melepaskan akhirnya pun pasrah saja.

                Sesampainya di pinggir jalan raya, Heru berhenti dan tidak langsung turun. Ia memarkirkan motor yang dinaikinya di sisi kiri jalan dan kembali bertanya kepada Cahaya akan maksud hatinya, untuk menjalin hubungan serius dengan Cahaya.

                "Bagaimana aya, aku ingin serius denganmu. Kalau iya, aku akan segera minta izin orang tuaku dan segera meminangmu?" tanya Heru dengan penuh harap.

                Cahaya hanya terdiam. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah, begitu cepat engkau mengabulkan do'aku. Baru kemarin malam aku berdoa agar engkau memberiku jodoh yang terbaik nanti setelah lulus kuliah dan bekerja. Namun kau sudah mengabulkan saat ini." Sambil menatap laki-laki yang ada di depannya.

                "Baiklah, kalau kamu memang belum ingin menikah. Tidak apa-apa. Tapi satu pesanku, jika kau ingin kuliah di Surabaya. Lebih baik ambillah kampus agama. Karena kehidupan di kota begitu bebas," pesan terakhirnya. Sambil menyalami tangan Cahaya dengan eratnya seperti tak akan ingin dilepasnya.

                Dengan perasaan kecewa, ia pergi dan naik bus setelah menyeberang di selatan jalan raya tanpa menunggu lama. Mungkin bukan jodoh, gumam Cahaya lirih. Laksana lapar dan dahaga yang belum dirasa, di manakah rasa nikmatnya. Nikmatnya makan, akan dapat kita rasakan saat lapar, dan segarnya minuman baru terasa saat dahaga atau saat buka puasa. Jangankan merasakan nikmat cinta, bahkan dahaga menjalin hubungan saja belum dia pikirkan, apalagi diinginkan.

"Jodoh adalah orang yang hadir diwaktu yang tepat. Karena saat ini, menikah belumlah menjadi prioritasnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun