Sesampainya di pinggir jalan raya, Heru berhenti dan tidak langsung turun. Ia memarkirkan motor yang dinaikinya di sisi kiri jalan dan kembali bertanya kepada Cahaya akan maksud hatinya, untuk menjalin hubungan serius dengan Cahaya.
        "Bagaimana aya, aku ingin serius denganmu. Kalau iya, aku akan segera minta izin orang tuaku dan segera meminangmu?" tanya Heru dengan penuh harap.
        Cahaya hanya terdiam. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah, begitu cepat engkau mengabulkan do'aku. Baru kemarin malam aku berdoa agar engkau memberiku jodoh yang terbaik nanti setelah lulus kuliah dan bekerja. Namun kau sudah mengabulkan saat ini." Sambil menatap laki-laki yang ada di depannya.
        "Baiklah, kalau kamu memang belum ingin menikah. Tidak apa-apa. Tapi satu pesanku, jika kau ingin kuliah di Surabaya. Lebih baik ambillah kampus agama. Karena kehidupan di kota begitu bebas," pesan terakhirnya. Sambil menyalami tangan Cahaya dengan eratnya seperti tak akan ingin dilepasnya.
        Dengan perasaan kecewa, ia pergi dan naik bus setelah menyeberang di selatan jalan raya tanpa menunggu lama. Mungkin bukan jodoh, gumam Cahaya lirih. Laksana lapar dan dahaga yang belum dirasa, di manakah rasa nikmatnya. Nikmatnya makan, akan dapat kita rasakan saat lapar, dan segarnya minuman baru terasa saat dahaga atau saat buka puasa. Jangankan merasakan nikmat cinta, bahkan dahaga menjalin hubungan saja belum dia pikirkan, apalagi diinginkan.
"Jodoh adalah orang yang hadir diwaktu yang tepat. Karena saat ini, menikah belumlah menjadi prioritasnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H