"Iki nyampek setasiun Mbito," jawab Jamilah, "Menaikkan penumpang lagi, Kalau naik kereta KRD ya gini, setiap setasiun berhenti, jadi agak lama sampainya. Tapi murah. Kalau kereta mahal ya berhenti di setasiun besar saja. Makanya cepat sampai," terangnya.
        Dengan wajah penasaran, Cahaya melihat para penumpang dan pedagang yang berjubel masuk ke dalam kereta.
"Orang-orang itu kok bawannya banyak sekali ya Mbak. Bawa apa saja?" tanya Cahaya penasaran.
"Owww, di gerbong belakang malah banyak lagi barang bawannya. Sepeda ontel, kardus, kayu. Wis pokoke opo ae dibawa, ada yang dijual di Surabaya," jawab Jamilah.
"Oooow!" Sambil melongo karena heran.
Dalam perjalanan, di dalam kereta, banyak sekali pedagang yang berjualan aneka makanan, mainan dan barang-barang lainnya. Nasi bungkus, onde-onde, krupuk, pita, pisang rebus, kacang rebus, buku dan banyak lagi yang lainnya. Semua berjubel menjadi satu seakan tidak ada tempat kosong karena penumpang tidak semua men-dapatkan tempat duduk, banyak dari mereka yang berdiri hingga ke tempat tujuan.
        Meskipun suasana kereta tidak nyaman karena bau, penuh sesak penumpang dan pedagang serta barang bawaan, tetapi Cahaya dan Jamilah sangat menikmati perjalannya. Sambil nyemil makanan ringan yang mereka bawa dari rumah. Sesekali mereka juga mengobrol dengan dua orang yang duduk di depannya sekadar bertanya tujuan dan basa-basi saja. Hamparan sawah, sungai dan kebun di sepanjang jalan yang dilewati kereta sangat membuat keduanya bahagia.
Setasiun demi setasiun terlewati tanpa terasa, dan setelah hampir dua jam, akhirnya mereka sampai juga di setasiun Semut Surabaya. Setasiun tujuan terakhir kereta. "Ayo turun, sudah sampai," ajak Jamilah sambil berdiri.
Cahaya pun langsung berdiri mengikuti di belakang Jamilah. Tidak jauh berbeda dengan saat hendak masuk kereta yang berjubel-jubel dan saling berebutan, saat keluar juga malah lebih parah. Seakan mereka semua ingin keluar dulu, tidak mau antre. Saling sikut dan saling dorong.
        Setelah keluar dari kereta, Jamilah segera mengajak Cahaya ke rumah Kayani, tetangganya yang sudah lama bekerja di Surabaya sebagai pembantu. "Ayo, tak ajak ke rumah juragannya Kayani, biar tahu. Kita santai-santai dulu di sana. Setelah itu baru ke rumah majikanku," ajak Jamilah dengan tetap menggandeng tangan Cahaya.
Setelah berjalan sekitar 15 menit menyusuri jalan raya yang begitu ramai lalu lalang dan bahkan menyeberang jalan besar hingga tiga kali.