Setelah berjalan beberapa lama, akhirnya mereka sampai di pintu masuk makam Sunan Ampel. Waktu itu, jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Jamilah mengajak Cahaya makan di Soto ayam langganannya yang berada di gang kecil, di pertengahan jalan pintu masuk Ampel. Cahaya yang sedari tadi memerhatikan penjual bermacam-macam buah khas timur tengah, jilbab, sajadah, baju, dan oleh-oleh khas wali mengiyakan ajakan saudaranya itu.
"Di sini banyak penjual makanan arab, seperti roti maryam, nasi briani, kambing guling, nasi kebuli. Tapi aku paling seneng sotonya. Enak, seger," kata Jamilah me-yakinkan kalau pilihannya itu tidak salah.
        Karena terbiasa bekerja di rumah orang kaya, secara otomatis, selera Jamilah memang sangat bisa dipercaya. Apa yang dibilangnya enak, sudah bisa dipastikan bahwa makanan itu memang enak. Hal itu dibuktikan dengan selera masaknya setiap hari ketika pulang. Ibu Cahaya yang orang desa, sering menasihati sepupunya itu untuk masak dan makan seadanya, tidak menyamakan seperti di rumah majikannya.
        Setelah beberapa saat berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan penjual dan pembeli yang begitu ramainya, apalagi hari ini adalah malam Jum'at, akhirnya mereka berdua sampai di penjual soto yang dituju. Segera Jamilah belok kiri dan mengambil tempat duduk plastik yang sudah disediakan penjual soto gerobak di gang kecil itu.
"Soto dua, es teh dua, Pak," ucap Jamilah ber-semangat sambil mengangkat kursi plastik tanpa senderan dan memberikannya kepada Cahaya.
Cahaya pun mengambil kursi itu dan duduk sambil melihat bapak tinggi besar penjual soto yang mirip orang arab itu. Sesekali Cahaya menelan ludah melihat ayam kampung dengan jerohan dan uritan, telur kecil-kecil yang masih menempel di bagian dalam ayam yang berjejer di atas etalase gerobak dan kuah soto serta irisan jeruk.
        Apalagi ketika ia melihat sepasang suami istri di depannya yang sedang makan soto panas yang baru dihidangkan sedang makan dengan peluh mengucur dari dahi menandakan bahwa soto yang telah ditunggu-tunggunya memang nikmat rasanya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dua mangkuk besar soto yang dipesan dihidangkan. Tanpa menunggu lama, Jamilah dan Cahaya langsung memasukkan kecap dan sambal serta perasan jeruk nipis ke soto yang ada di hadapannya.
Segera mereka melahap soto sambil meniup-niup sebelum dimasukkan ke mulut karena saking panasnya. "Enak kan?" tanya Jamilah kepada Cahaya yang dari tadi sudah penasaran ingin merasakan soto panas yang dimakan orang di depannya.
"Mantap, suegerr, enak. Ayam kampung, bakal telur, jeroan dan sayapnya empukk. Tambah sambel, kecap dan perasan jeruk, tambah uenakk," jawab Cahaya puas.
        Setelah puas menikmati semangkok soto dan es teh, mereka melanjutkan perjalanan ke makam Sunan Ampel. Sebelum masuk ke areal makam, mereka mengambil air wudhu dan mengambil mukena yang mereka bawa di tas. Kemudian menuju masjid untuk berjamaah salat Magrib. Tak lupa memasukkan sandal yang dipakai ke dalam tas kresek dan memasukkannya ke tas agar tidak hilang karena banyaknya peziarah dan jamaah. Setelah hampir 10 menit menunggu waktu salat Maghrib, akhirnya azan ber-kumandang. Semakin malam, jamaah dan peziarah tidak semakin sepi, malah semakin ramai.
        Usai salat Maghrib, keduanya segera menuju ke areal makam. Sebelum ke areal makam Jamilah mengajak Cahaya mengisi buku tamu. Hal itu karena mereka berencana menginap di situ. Setelah mengisi buku tamu yang berada di utara pintu masuk, petugas memberi tahu bahwa penginapan berada di sebelah barat makam dan barat kamar mandi.