Akhirnya sampailah Jamilah dan Cahaya di depan sebuah rumah besar. Rumah tua dengan pagar yang sangat tinggi dan seperti tak terurus serta tak berpenghuni. Segera Jamilah memencet tombol bel yang agak tersembunyi dari pagar tersebut. Setelah beberapa kali memencet bel, akhirnya keluarlah seorang wanita paruh baya dengan jarik dan gelungan rambut serta kebaya khas wanita desa.
        "Oww, kamu Jamilah. Ayo masuk," ajak Kayani dengan ramah kepada Jamilah sambil menutup pintu gerbang yang dibuka sedikit tadi.
Siapa pun tidak akan menyangka jika rumah tua yang begitu besar yang dipenuhi pohon -pohon mangga besar yang tak terurus itu ternyata berpenghuni. Warna cat putih yang sudah usang dan pagar tinggi yang tampak sangat berkarat pasti membuat orang yang lewat di luar rumah merasa takut dan mengira bahwa rumah tersebut adalah rumah kosong dan berhantu. Meski demikian, tidak begitu dengan Jamilah. Ia seakan tidak takut sama sekali karena memang sudah biasa berkunjung ke rumah tersebut.
        "Dari desa ta kamu? Sama siapa iki? Ayo duduk dulu," tanya Kayani sambil berjalan menuju ruang depan rumah tua tersebut.
"Dari desa, mau ke rumah juraganku, ngasih kabar kalau aku sudah bisa kerja. Ini Cahaya, anaknya Bibik Mardiyah, Gus Abdul pas liburan ingin ikut. Ingin tahu makam Sunan Ampel," terang Jamilah.
"Wis gedhe yo Cahaya. Kelas berapa?" tanya Kayani.
"Mau lulus Madrasah Aliyah," jawab Cahaya singkat. Tentu Kayani sudah sangat paham dengan keluarga Cahaya, karena Kayani tinggal satu kampung dengan Jamilah dan Cahaya di desa.
        Sudah berpuluh-puluh tahun sejak suaminya meninggal, Kayani bekerja sebagai pembantu di rumah Wan Salim, majikannya yang dulu seorang pengacara. Dua anaknya, laki-laki dan perempuan diditipkan pada ibunya. Setiap bulan, ia mengirimkan gajinya sebagai pembantu untuk anak- anaknya di desa. Hingga saat ini, majikannya sudah tua dan istrinya meninggal, Kayani masih tetap bekerja pada juragannya itu. Apalagi saat anak-anak juragannya itu sudah menikah, tinggallah ia merawat juragannya di rumah besar itu hanya berdua saja. Sebenarnya anak Wan Salim sudah pernah mengajaknya tinggal dengan mereka. Tapi Wan Salim tidak mau, ingin tetap tinggal di rumahnya dan dirawat Kayani.
        Rumah Wan Salim ini, tidak seperti rumah pada umumnya di mana bagian depan adalah teras kemudian ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Di rumah tua ini, Teras rumah berada sepanjang samping bangunan rumah dengan dapur dan kamar mandi di teras sebelah utara. Sedangkan timur teras bagian depan adalah ruang tamu dan kamar-kamar yang banyak dengan kondisi tak terurus khas rumah tua.
        "Wan Salim ke mana?" tanya Jamilah.
"Ini tadi habis makan siang, minum obat terus istirahat," jawab Kayani, "Ayo diminum." Sambil me-nyodorkan dua cangkir teh ke meja.