Mohon tunggu...
Annaskura Adisantri
Annaskura Adisantri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang pelajar sekolah menengah atas yang terus memimpikan hal-hal yang tidak mungkin.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Foreasilva

21 November 2020   22:30 Diperbarui: 21 November 2020   23:18 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi anak dari seorang konglomerat itu tidak menyenangkan. Banyak orang berkata, seharusnya aku bersyukur terlahir di keluarga berada. Aku menyangkal hal itu. Aku tidak suka.

Terlahir langsung kaya tujuh turunan, hidup serba ada. Apapun hal yang kau mau dapat dikabulkan dengan mudah. Namun, aku tidak mau hal itu.

Mengapa tidak? Kalau kau menelusuri lebih dalam, banyak konglomerat yang kekayaannya didapat dengan hal kotor. Mereka arogan. Egois. Mereka hanya ingin memperkaya diri sendiri, tidak peduli apa yang terjadi di bawahnya. Semua cara mereka lakukan untuk mendapat keuntungan yang besar.

Aku benci hal itu.

***

Bulan Juni. Bulan yang memberi tahu jika satu tahun sudah setengah jalan. Cuaca bulan Juni begitu cerah. Matahari sangat terik. Terkadang, gumpalan awan membantu makhluk hidup di bawahnya tidak tersengat pancaran itu. Angin berhembus lembut, menciptakan gemerisik dedaunan yang menempel di puncak batang pohon.

Di tengah-tengah suatu kota, terdapat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Jika kota identik dengan gedung-gedung pencakar langit, kendaraan, kebisingan, orang sibuk berlalu-lalang, panas, dan kepenatan, hal itu tidak berlaku untuk kota yang satu ini. Ada sebuah titik hijau yang dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi. Penduduk kota patutnya bersyukur, karena masih ada ruang terbuka hijau di tengah kepadatan kota.

Seorang remaja berseragam tengah terbaring di suatu titik di bukit tersebut. Ia tertidur pulas. Tunggu, siapa yang tertidur pulas di luar ruangan di mana sengatan terik matahari akan membakar kulitmu? Tentu saja remaja itu. Ia tidak merasa kepanasan karena ia tertidur di bawah pohon yang melindunginya dari sengatan matahari. Dia tidak bodoh memilih tempat untuk tidur siangnya itu.

Sudah berapa lama ia tertidur? Satu jam? Dua jam? Bagaimana jika tidak ada yang membangunkannya? Bagaimana jika ia tertidur di tempat ini hingga larut malam? Bagaimana jika saat ia tidur ia diserang hewan buas-

Tunggu, sekarang hari apa? Hari Rabu. Mengapa remaja itu tidak berada di kelas sebagaimana seharusnya di saat seperti ini? Apa dia kabur? Membolos? Apa tidak ketahuan?

Pertanyaan itu tentu muncul saat seseorang melihat remaja itu tertidur pulas. Tak terkecuali dengan seorang remaja lain- anak? Yang sedari tadi memperhatikan remaja tertidur itu. Rasa penasaran memenuhi pikirannya. Ia memutuskan untuk mendekati raga yang terbaring tenang.

Langkahnya begitu lembut, hampir tak bersuara. Sepertinya ia berusaha untuk tidak membangunkan orang itu. Anak itu duduk di sebelahnya, dengan hati-hati. Matanya menatap lekat wajah yang tertidur. Semenit, dua menit, tiga menit, anak itu masih menatapnya. Tidak bergerak sedikitpun.

Entah berapa lama sesudahnya, sepasang kelopak mata bergerak-gerak kecil, menandakan orang itu akan bangun. Mata dibuka perlahan kemudian tertutup kembali karena banyaknya cahaya yang masuk ke dalam matanya tiba-tiba. Setelah menyesuaikan diri dengan beberapa kali berkedip, ia menengok ke sebelah kirinya. Ia merasakan dirinya telah ditatap oleh seseorang.

"!?"

Mata yang tadinya mengantuk kini benar-benar terbuka lebar. Ia kaget ada orang di sebelahnya saat ia terbangun.

Anak yang sedari tadi menatapnya ikut berjengit kaget karena gerakan tiba-tiba yang dilakukan remaja itu.

"Jangan menatap orang yang sedang tidur seperti itu!"

Anak itu tampaknya bertambah kaget karena kalimat yang diucapkan remaja yang baru saja bangun itu.

"K... kau...." kata anak itu terbata-bata.

"Hah? Apa?"

"Kau bisa melihatku!?"

Pertanyaan aneh. Tentu saja, kan?

"Apa maksudmu? Aku memang bisa melihatmu, kan?" kedua alis remaja itu bertautan, bingung, "Kecuali kalau kau adalah han-"

Kedua mata menyusuri bagian bawah anak itu, hendak melihat kakinya. Kakinya... tidak... ada?

Bola mata melebar, "HANTU!!!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi remaja itu.

"Aku bukan hantu!!" katanya.

"Aduh, sakit!" seketika tangannya mengelus pipinya. "Kakimu tidak ada!"

"Kalau aku hantu berarti aku tidak bisa menyentuhmu, kan?"

"Benar juga..." otaknya dipaksa berpikir, "Tapi kedua kakimu tidak ada!!"

"Aku seorang peri!"

"Hah!? Jangan mengada-ada!"

"Memang benar!"

Remaja itu terdiam sebentar. Dia bukan hantu, tapi kakinya tidak ada. Hantu tidak bisa menyentuh, kan? Tapi tamparan tadi rasanya sakit. Jadi, sebenarnya makhluk apa anak yang satu ini?

"Kau... benar-benar seorang peri?"

"Benar," jawab anak itu singkat.

"Apa kau bisa membuktikannya padaku?"

Anak yang mengaku seorang peri itu tersenyum, seperti orang besar kepala, "Oh, itu mudah."

Anak itu berdiri. Apa benar berdiri? Ia tidak mempunyai kaki. Tapi postur tubuhnya seperti orang berdiri.

"Lihat kakiku baik-baik."

Remaja itu menatap bagian di mana sepasang kaki berada seharusnya, ia mengangkat satu alisnya. "Tapi, kan, kau tidak punya kaki," katanya polos.

"Diam!" hampir saja anak itu menamparnya lagi.

Ia menarik napas panjang, kedua matanya tertutup. Perlahan-lahan, sepasang kaki terlihat di mana tempat seharusnya berada. Anak itu masih menutup matanya hingga kedua kakinya benar-benar terlihat.

Remaja yang dari tadi menatap perubahan itu, dibuat takjub oleh apa yang baru saja dilihatnya. Ia tidak sedang bermimpi, kan?

"Kau... penyihir!!"

Plak!

"Aku bukan penyihir! Juga, namaku bukan 'kau,'" raut mukanya terlihat kesal.

Remaja itu mengelus pipinya lagi, "Siapa?"

"Namaku Siruva," katanya.

"Hah? Nama yang aneh. Seperti nama perempuan."

Anak itu, Siruva, benar-benar kesal sekarang, "Aku laki-laki!"

"APA!?" kata remaja itu kaget. Ia bangkit dari duduknya.

Jika dilihat lagi, Siruva memang terlihat seperti anak perempuan. Rambutnya putih panjang seleher. Kedua matanya hijau secerah daun yang tertimpa cahaya. Pakaiannya... aneh. Seperti bukan pakaian di zaman sekarang. Siruva memakai baju putih berkerah, celana panjang hitam, sepatu boots, dan... jubah berbulu? Mana ada orang yang memakai jubah berbulu di cuaca seperti ini. Gayanya seperti karakter permainan RPG yang berlatar di dunia sihir.

"Aneh."

"Siapa yang aneh! Aku belum tahu namamu!"

"Apa namaku penting?" tanyanya.

"Apa kau mau kupanggil 'kau' setiap saat?" Siruva tanya balik.

"Memangnya kita akan bertemu setiap hari?"

Tuhan, berilah Siruva kesabaran menghadapi manusia yang satu ini.

Remaja itu menghela napas. "Aku Cater. Cater Roseheart."

"Roseheart? Maksudmu kau anak dari konglomerat itu?"

"Diamlah." kata Cater datar. Dirinya sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan.

Siruva merasa dirinya tidak perlu menanyakan tentang keluarga Cater. Keheningan tercipta di antara mereka. Siruva memandang lekat manusia di depannya.

"Apa?" tanya Cater, merasa tidak nyaman dengan pandangan Siruva.

"Kau memakai seragam- dari sekolah elit itu?"

Cater diam saja.

"Sekarang hari kerja, kan? Siang hari begini kau ada di sini bukannya berada di kelas. Apa kau sedang membolos?"

Ah, benar juga.

Remaja itu terlihat menimbang apa yang akan diucapkannya. "Yah... sekarang sedang istirahat, sih. Jadi aku memilih menghabiskan waktu di sini."

Cater menghela napas singkat. "Aku tidak suka berada di sekolah itu. Di dalamnya banyak penjilat dari kalangan atas."

"Tapi kau dari kalangan atas kan?" tanya Siruva begitu saja.

Cater terdiam. Ah, celaka. Seharusnya Siruva tidak menanyakan hal itu. Apa Cater akan marah kepadanya?

"Benar. Dan aku benci fakta itu," mata Cater menerawang ke cakrawala, "Apa bagusnya menjadi anak konglomerat? Kau akan dituntut serba bisa. Kau harus mengikuti jejak orang tuamu, meneruskan perusahaan. Hidupmu sudah diatur, digenggam sejak kau ada di dunia. Kau tidak bisa menggapai kebebasan."

Sunyi. Siruva tidak tahu harus menanggapi apa. 

Cater kembali menghela napas. "Sudahlah, aku harus kembali ke sekolah. Sampai besok," ia melangkah menjauhi Siruva.

Siruva terus menatap punggung Cater hingga ia menghilang di antara pepohonan, "Tadi kau bilang memangnya kita bertemu setiap hari. Tapi kau mengatakan sampai jumpa? Kau yang aneh," gumamnya.

***

Esok hari, hampir di waktu yang sama, di tempat yang sama, mereka bertemu kembali. Awalnya Cater berencana melakukan rutinitasnya di siang hari, yaitu tidur. Namun saat ia sampai di lahan itu, Cater melihat Siruva sudah terduduk melamun. Pakaiannya masih sama seperti kemarin.

"Hei," kata Cater. Namun Siruva masih melamun. Cater mengangkat satu alisnya, lalu ia menepuk pundak kecilnya.

Siruva tersentak, "Apa?"

"Harusnya aku yang tanya. Melamun?"

"Tidak apa-apa..." katanya datar.

Cater ikut duduk di samping Siruva, bermaksud mendengarkan jika peri itu mengatakan sesuatu. Satu menit, dua menit, tidak ada yang berbicara.

Siruva akhirnya memecah keheningan. "Kau percaya kalau aku adalah seorang peri?"

"Tidak juga. Tapi setelah aku melihat penampakan kakimu kemarin, aku jadi lebih sedikit percaya. Aku ini orang yang rasional, tidak percaya akan hal gaib. Yah, mungkin makhluk seperti dirimu memang ada..." ungkapnya.

Siruva menarik napas. "Aku ini... peri perhutanan, mengawasi kehidupan makhluk hidup berupa tumbuhan."

"Maksudmu menteri perhutanan?" tampak jelas sebuah tanda tanya besar ada di raut wajah Cater.

"Kurang lebih seperti itu jika di duniamu."

Hening lagi. Namun Cater tetap diam menunggu peri di sampingnya itu selesai bercerita.

"Aku diutus oleh Langit untuk menjaga kehidupan tumbuhan ribuan tahun yang lalu. Sejak dulu aku tidak pernah gagal menjalankan tugasku. Hingga suatu waktu aku dibuang ke Bumi," Siruva diam sebentar, kedua matanya menatap langit di atasnya, "Aku dibuang karena dianggap gagal melindungi kehidupan tumbuhan di Bumi. Mengapa? Karena manusia sangat rakus akhir-akhir ini. Mereka seenaknya sendiri merusak kehidupan tumbuhan untuk kesenangan pribadi. Aku tidak bisa melindungi kehidupan, aku tidak bisa menghentikan sifat egois mereka yang terlalu besar, kemudian aku dibuang ke Bumi. Aku diperintah untuk mencari cara menghentikan kelakuan mereka sambil merefleksikan kesalahanku sendiri."

"Mereka memberiku kesempatan terakhir. Jika aku gagal lagi, aku akan digantikan," pandangan Siruva kosong, seperti tidak memiliki semangat, "Digantikan artinya aku sudah tidak memiliki tugas untuk mengawasi kehidupan, aku akan lenyap."

Cater merasa bersalah kepada Siruva. Karena manusia, manusia dari kelompoknya, karena merekalah Siruva dibuang. Memang benar apa yang dikatakan Siruva. Makin hari, manusia makin rakus. Mereka menguras seluruh kekayaan Bumi untuk kepentingan sendiri, tanpa memikirkan apa akibatnya.

Setelah mendengar cerita itu, Cater menjadi semakin benci dengan manusia-manusia konglomerat, keluarganya sendiri. Apa yang bisa dia lakukan? Salah langkah sedikit saja, akibatnya akan fatal. Menentang pun percuma saja, orang dewasa tidak mau mendengarkan ocehan anak muda. Walaupun ocehan itu menyatakan kebenaran. 

Cater bangkit berdiri, menepuk kakinya untuk menghilangkan debu yang menempel. "Aku harus kembali."

Siruva mengangguk, "Baiklah."

Sebelum Cater meninggalkan tempat itu, ia berkata kepada Siruva. "Aku akan membantumu."

Siruva yang mendengar hal itu, keheranan. Bagaimana caranya manusia bisa membantu peri kembali ke Langit?

"Kau... bisa?" tanya Siruva, ragu.

Cater mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, tapi aku punya kesempatan. Tidak akan kulewatkan."

Sebuah tanda tanya besar terlukis di wajah peri itu. Haruskah dia percaya dengan manusia yang baru saja ditemuinya itu?

"Aku pergi dulu. Temui aku di sini besok, di waktu yang sama. Sampai jumpa," Cater melangkah pergi.

***

Hari itu, Cater berlari tergesa-gesa menemui Siruva.

"Siruva!" panggilnya, napasnya tersengal-sengal.

"Eh? Kenapa terburu-buru?"

"Kau... tahu, kan... tentang hal... itu... huft," Cater masih mengatur napasnya.

"Yah," tanpa berpikir panjang, Siruva mengangguk.

"Kalau kau... gagal... menyelamatkan... kau-"

Belum selesai Cater mengakhiri kalimatnya, peri itu memotong. "Benar. Aku akan digantikan."

Remaja itu diam saja.

"Aku... punya rencana, semoga saja bisa membantumu," akhirnya Cater bersuara. Ia meneguk ludah, bagaimana jika Siruva menganggapnya konyol?

Siruva tidak mengatakan apapun. Hal itu membuat Cater lebih gugup.

"Katakan,"

Cater sedikit terkejut mendengarnya, ia pun meneguk ludah kembali. "Kemarin, sebenarnya... "

Ia menarik napas. "Aku ditugaskan untuk ikut kompetisi menulis essay. Awalnya aku tidak mau, dan aku kabur menghabiskan waktu di tempat ini. Mengapa mereka memilihku? Apa karena aku adalah anak dari orang yang menyumbang dalam jumlah besar ke sekolah? Apa karena aku adalah keturunan dari salah satu orang berpengaruh di kota ini? Kemudian jika aku memenangkan kompetisi itu, akankah menjadi sebuah keuntungan bagi sekolah? Semua hal itu berkecamuk di pikiranku. Mengapa anak seperti diriku selalu dikedepankan? Bagaimana dengan anak yang lain? Apakah mereka mendapatkan perlakuan yang sama denganku? Itulah sebabnya aku tidak ingin."

Cater berhenti sebentar, kedua tangannya mengepal, "Setelah aku mendengar ceritamu, aku sadar. Aku tidak boleh lari begitu saja. Jika aku tidak suka dengan takdirku ini, aku tinggal mengubahnya. Tentu tidak dengan hal kotor. Kemudian aku berpikir memutar otak. Aku harus memanfaatkan kompetisi itu, namun tetap mempertahankan tujuanku. Kujadikan kompetisi itu menjadi batu pijakan."

Kedua netra Siruva melebar, dirinya tak menyangka akan gagasan yang diucapkan Cater, "Tapi... bagaimana caranya?"

Cater mengulas senyum tipis. "Kemarilah," Siruva mendekat ke dirinya. Cater membisikan hal apa yang harus mereka lakukan.

Kali ini kedua netra Siruva nampak bersinar. Sepertinya ia menyetujui hal ini.

***

Beberapa hari selanjutnya, mereka tetap bertemu untuk membahas rencana mereka. Cater dan Siruva saling membutuhkan satu sama lain. Cater membutuhkan informasi dari Siruva dan Siruva membutuhkan rencana Cater.

"Kau yakin tentang hal ini?" tanya Siruva.

"Seratus persen," Cater melukis raut kemenangan di wajahnya. "Akan kubuat mereka menyadari jika hal yang mereka lakukan itu tidak benar."

"Benar," Siruva menghela napas lega. Tidak sepenuhnya, karena mereka belum mengetahui hasil yang akan didapat, "Mereka gila."

"Yah... begitulah. Tempat ini rencananya akan dibuat objek wisata. Orang bilang ide ini adalah ide yang bagus. Memang benar, jika dijadikan objek wisata akan menambah pemasukan anggaran. Nyatanya lebih buruk. Dampaknya akan terasa dalam jangka waktu yang lama. Sebaiknya memang tempat ini tidak perlu dijadikan objek wisata. Pengunjung akan merusak tempat ini. Walaupun terdapat papan peringatan 'jangan merusak tanaman' mereka akan tetap merusaknya," Cater menerawang sekelilingnya.

"Di era seperti ini, sulit mencari orang yang benar-benar taat kepada aturan. Percuma saja memasang papan peringatan jika nantinya tempat ini rusak. Lebih baik membiarkan tempat ini dirawat oleh alam itu sendiri."

Mereka berdua sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing. Mereka tidak ingin tempat seperti ini dijamah oleh manusia yang mementingkan diri sendiri. Jika alam rusak, makhluk hidup di dalamnya juga akan rusak.

"Aku harus kembali," kata Cater.

Siruva mengangguk. "Semoga beruntung untuk besok."

"Terima kasih. Serahkan padaku," Cater mengepalkan tangannya dan memukul dada Siruva dengan pelan, tanda kepercayaan.

Dengan itu Siruva mengangguk. Ia mengawasi punggung Cater hingga dirinya tak terlihat lagi dalam pandangannya. 

***

"Siruva!" teriak Cater, ia berlari ke arah peri yang dipanggilnya itu.

Siruva menengok di mana suara itu berasal, netranya bercahaya melihat manusia, yang secara tidak sadar menjadi temannya itu, berlari ke arahnya. "Bagaimana?" katanya.

"Aku..." Cater berusaha mengatur napasnya.

Siruva menunggu jawaban Cater, matanya berkilau.

"Aku... berhasil!"

Seperti sebuah bunga yang baru saja mekar, mata Siruva semakin berkilau. Perasaannya tidak dapat dideskripsikan. Tanpa sadar, setitik air mata menuruni pipinya. Cater dibuat panik melihatnya.

"E-eh? Jangan...!" Cater tidak tau apa yang harus dilakukannya.

Siruva mengusap air matanya. "Maaf... Aku sangat lega. Maksudku, aku..." Cater menepuk punggung peri itu, bermaksud menenangkan. Namun karena tepukan itu, air matanya bertambah deras. 

Cater hanya tersenyum. "Kita berhasil. Aku berhasil meyakinkan mereka. Karena essay milikku, ada bagian dari mereka yang tersadar. Ada juga yang tidak. Yah, setidaknya ada yang dapat menggerakkan mereka. Mereka tidak akan menjamah tempat ini. Lahan lain juga akan mereka perhatikan, jangan ada yang merusaknya lagi."

Air mata Siruva tidak bisa berhenti. Cater berusaha menenangkannya. Siruva tidak akan menghilang, hutan tidak akan rusak. Pihak Langit pasti sudah mengetahui hal ini. Hukuman Siruva akan dicabut.

Tunggu, jika hukuman Siruva dicabut maka Cater tidak akan dapat melihatnya lagi bukan?

Seolah dapat membaca pikiran, Siruva tersenyum. "Benar, mungkin aku tidak akan dapat melihatmu lagi."

Hati Cater mencelos mendengar hal itu. Dirinya seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

"Tapi," Siruva melanjutkan. "Jika aku diutus oleh Langit, mungkin aku dapat bertemu denganmu."

Cater seolah diangkat dari lubang yang dalam, "Benarkah?"

Siruva mengangguk.

Akhirnya Cater bisa bernapas lega. Tempat ini tidak akan dijamah. Alam akan dirawat. Ia menemukan teman baru.

"Dengan ini, mungkin ayahku juga akan mempertimbangkan masa depanku," Cater bergumam.

"Eh, apa?"

"Tidak."

Mereka diam.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Cater.

"Aku akan melaporkan hal ini kepada Langit. Yah, Langit sudah mengetahui hal ini tentunya."

"Cater?"

Yang dipanggil menatap Siruva. "Ya?"

"Terima kasih."

Cater tersenyum. "Sama-sama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun