Remaja itu diam saja.
"Aku... punya rencana, semoga saja bisa membantumu," akhirnya Cater bersuara. Ia meneguk ludah, bagaimana jika Siruva menganggapnya konyol?
Siruva tidak mengatakan apapun. Hal itu membuat Cater lebih gugup.
"Katakan,"
Cater sedikit terkejut mendengarnya, ia pun meneguk ludah kembali. "Kemarin, sebenarnya... "
Ia menarik napas. "Aku ditugaskan untuk ikut kompetisi menulis essay. Awalnya aku tidak mau, dan aku kabur menghabiskan waktu di tempat ini. Mengapa mereka memilihku? Apa karena aku adalah anak dari orang yang menyumbang dalam jumlah besar ke sekolah? Apa karena aku adalah keturunan dari salah satu orang berpengaruh di kota ini? Kemudian jika aku memenangkan kompetisi itu, akankah menjadi sebuah keuntungan bagi sekolah? Semua hal itu berkecamuk di pikiranku. Mengapa anak seperti diriku selalu dikedepankan? Bagaimana dengan anak yang lain? Apakah mereka mendapatkan perlakuan yang sama denganku? Itulah sebabnya aku tidak ingin."
Cater berhenti sebentar, kedua tangannya mengepal, "Setelah aku mendengar ceritamu, aku sadar. Aku tidak boleh lari begitu saja. Jika aku tidak suka dengan takdirku ini, aku tinggal mengubahnya. Tentu tidak dengan hal kotor. Kemudian aku berpikir memutar otak. Aku harus memanfaatkan kompetisi itu, namun tetap mempertahankan tujuanku. Kujadikan kompetisi itu menjadi batu pijakan."
Kedua netra Siruva melebar, dirinya tak menyangka akan gagasan yang diucapkan Cater, "Tapi... bagaimana caranya?"
Cater mengulas senyum tipis. "Kemarilah," Siruva mendekat ke dirinya. Cater membisikan hal apa yang harus mereka lakukan.
Kali ini kedua netra Siruva nampak bersinar. Sepertinya ia menyetujui hal ini.
***