Cater diam saja.
"Sekarang hari kerja, kan? Siang hari begini kau ada di sini bukannya berada di kelas. Apa kau sedang membolos?"
Ah, benar juga.
Remaja itu terlihat menimbang apa yang akan diucapkannya. "Yah... sekarang sedang istirahat, sih. Jadi aku memilih menghabiskan waktu di sini."
Cater menghela napas singkat. "Aku tidak suka berada di sekolah itu. Di dalamnya banyak penjilat dari kalangan atas."
"Tapi kau dari kalangan atas kan?" tanya Siruva begitu saja.
Cater terdiam. Ah, celaka. Seharusnya Siruva tidak menanyakan hal itu. Apa Cater akan marah kepadanya?
"Benar. Dan aku benci fakta itu," mata Cater menerawang ke cakrawala, "Apa bagusnya menjadi anak konglomerat? Kau akan dituntut serba bisa. Kau harus mengikuti jejak orang tuamu, meneruskan perusahaan. Hidupmu sudah diatur, digenggam sejak kau ada di dunia. Kau tidak bisa menggapai kebebasan."
Sunyi. Siruva tidak tahu harus menanggapi apa.Â
Cater kembali menghela napas. "Sudahlah, aku harus kembali ke sekolah. Sampai besok," ia melangkah menjauhi Siruva.
Siruva terus menatap punggung Cater hingga ia menghilang di antara pepohonan, "Tadi kau bilang memangnya kita bertemu setiap hari. Tapi kau mengatakan sampai jumpa? Kau yang aneh," gumamnya.