Rhein mengangguk, “Si Lepay yang berasal dari Jawa Halus itu kan, Gie?”
“Dia lebih memilih untuk terjun langsung ke Ibukota,” terang Gie. “Dan buah mereka semualah lembah ini harus tetap ada, agar tak pernah ada serenada ‘Tanah Air Mata’ yang dinyanyikan oleh generasi setelah kita, oleh anak-anak kita… Kini, juga kelak… Walau jika untuk itu kita harus mati mengenaskan seperti Bung Kecil itu, setelah sebelumnya pernah menggantung cita setinggi langit tapi berakhir terjatuh di antara pijar gemintang…”
Tak habis-habisnya Rhein memandang Gie dengan penuh kekaguman. Gie yang tak pernah sekalipun mementingkan hidupnya demi kebahagiaan pribadi. Gie… yang lebih memilih untuk tak menjadi bunga yang tumbuh sendirian di tengah rumput liar… yang wangi namun sepi.
“Emmm… Gie…”
Gie berbalik menatap Rhein. Digenggamnya jemari Rhein dengan erat, sebelum akhirnya bertanya dengan amat lembut, “Apa yang ingin kau tanyakan, Rhein?”
“Emmm… berbicara mengenai generasi penerus tadi, emmm… Kapan kita akan memulainya, Gie… agar kelak ada anak-anak yang melanjutkan perjuangan ayahnya…?” tanya Rhein dengan amat tersipu.
Gie sempat tertegun mendengar pertanyaan itu. Tapi hanya sejenak, karena selanjutnya, Gie membisikkan sesuatu yang amat menggelitik hati Rhein.
“Tentu saja malam ini, Rhein…”
Rhein merasa telinganya agak hangat terkena hembus nafas Gie. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, dengan getar aneh yang entah berasal dari mana menjalar ke seluruh kediriannya, yang juga entah akan memuara kemana.
“Jadikan aku milikmu, Ghie, seutuhnya…” desah Rhein.
“Akan kulakukan, Rhein, akan kulakukan…” gumam Gie sambil kedua tangannya memegang pipi Rhein hingga wajah mereka menjadi begitu dekat.