Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Ad Infinitum: Belajar Mati Mengenaskan Ala Bung Karno

28 November 2015   20:13 Diperbarui: 28 November 2015   20:27 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kau tahu berapa banyak rahasia yang pernah dipendam hujan, Rhein? Mengingatkanku pada tetes pertama, saat bulir-bulir dingin itu mengkilau di pendar wajahmu…”

Gie terdiam sejenak, memandangi deretan azaleas dan rhododendron yang menjuntai beraneka warna di kiri-kanan tebing.

“Sejak saat itu, aku terus mencari hujan, Rhein. Mencari setiap tetes yang pernah amat manja menggelayut di ujung dagumu, hanya demi bisa merupa ulang setiap lekuk dan sudut yang ada di…”

“Jangan bicara seperti itu lagi, Gie. Aku…” Rhein tak sanggup menahan ledakan yang bergemuruh di dalam dadanya. Dipeluknya Gie dengan amat erat, seakan hanya dengan cara itulah dia dapat mengusir jelaga yang selama ini bersemayam di dadanya.

***

 

kita adalah

manusia-manusia tanpa batas

warna, atau kelas

yang terlahir dari benih

kecurangan

dan ketidak adilan

adalah pilar–pilar peradaban

yang hanya akan                                                     

saling mengokohkan, kuat

ketika simpul salam berkait erat

 

BRAAAKKK!!!

Belum lagi dr. Jalal berhasil bangkit, ketika daun pintu yang didobrak dari luar menghantamnya, membuat tubuhnya kembali terjengkang. Bersamaan dengan itu, serombongan manusia menyerbu ke dalam dengan amat sigap, yang langsung mengepung dr. Jalal.

Hampir saja Rhein menjerit ketika dia mengenali beberapa sosok yang baru masuk itu.

Ran? Nina? Ternyata mereka benar-benar nyata!

Dan ketika sesosok tubuh kembali masuk dan berlari menghampirinya, Rhein tak kuasa menahan gejolak perasaannya. Tubuhnya gemetar dan terhuyung ke belakang.

Tapi belum lagi tubuh Rhein menyentuh lantai, ketika sosok tersebut berhasil menangkapnya, walau untuk itu dia harus setengah bersimpuh.

“Kau tidak apa-apa, Rhein?”

“Gie… Benarkah ini kau, Gie…?” bukannya menjawab, Rhein justru balik bertanya. Diusapnya wajah keras yang tengah mengangguk itu, sebelum akhirnya air mata pecah di dada sosok itu, bersama rangkulan erat yang penuh pelepasan perasaan.

Melalui isyarat mata, Gie menyuruh salah satu pengepung dr. Jalal untuk mengambil jarum suntik yang tercecer di lantai.

“A-apa yang hendak kau lakukan, Gie?”

Gie tersenyum.

“Kau percaya padaku, Rhein?”

Sejenak Rhein terkesima mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan khas yang kerapkali dilontarkan Gie sejak mereka masih sekolah dulu, saat ada kejadian apapun yang menimpa hubungan mereka. Pertanyaan yang selalu mengundang angguk darinya sebab dia tahu, setelah anggukannya, Gie dengan cara yang entah bagaimana, selalu mampu membereskan apapun yang terjadi.

Tanpa sadar Rhein mengangguk. Dibiarkannya senyawa phenethylamine tersebut menyelusup ke pembuluh darahnya, memancing neurotransmitter -noradrenaline, serotonin serta dopamine-  yang ada di otaknya untuk meningkatkan aktivitas sinaptiknya.

“Bagaimana? Sudah tidak gemetar lagi?” tanya Gie, yang setelah beroleh anggukan dari Rhein, kembali dia berkata. Tapi kali ini ditujukan kepada dr. Jalal.

“Lain kali, belajarlah tentang obat-obatan dengan lebih jeli, Jalal, atau boleh kupanggil kau dengan nama aslimu, Jono?”

Rhein menjerit tertahan.

“Dia memang Jono, Rhein… Jono Novanto! Bocah ningrat hipokrit yang selalu merecokimu sejak masa kuliah dulu.” jelas Gie. “Dan ayahnya yang super kaya itu, tak lain dan tak bukan adalah sosok yang kini ramai disebut orang dengan julukan ‘papa minta saham’ itu?”

Belum lagi genap pikiran Rhein, ketika dokter gadungan yang mengaku bernama Jalal atau James itu bertepuk tangan.

“Bravo! Tak kusangka penyamaranku akhirnya berhasil juga kau bongkar, Gie!” seru Jono Novanto, sambil melotot ke arah Ran dan mengucap, “Kau ular berkepala dua!” untuk kemudian mundur beberapa tindak ke arah tembok.

Tapi tepuk tangan Jono Novanto ternyata bukan sekedar menanggapi keberhasilan Gie menebaknya, karena tak berapa lama kemudian, beberapa suster berlarian masuk melalui pintu yang terdobrak, membuat suasana berubah tegang saat rombongan suster yang agak janggal itu memecah dua mengurung Gie dan Ran.

“Mereka suster gadungan, Gie” bisik Rhein, yang tampak amat fokus dan penuh semangat. Agaknya pengaruh amphetamine telah mencapai efek yang paling maksimal.

“Awas! Jono hendak kabur, Ran!” teriak Gie mengingatkan, karena dilihatnya tembok di belakang tubuh Jono Novanto agak bergoyang membentuk siluet sebuah pintu.

Tapi terlambat, karena tembok tempat Jono Novanto bersandar tiba-tiba memutar, menelan tubuh Jono Novanto lalu menggantinya dengan serombongan baru perawat pria bertubuh kekar, yang langsung menyerang.

Karena agak lengah, Ran tersuruk ke samping ditinju seorang perawat. Tapi sambil terjatuh dia masih sempat memberi tendangan balasan ke perawat tersebut, yang sontak menungging sambil memegangi perutnya. Sementara itu Nina bertarung tak kalah sengitnya menghadapi tiga suster sekaligus.

Masih dalam keadaan merangkul Rhein, Gie memberi sebuah upper cut ke arah suster di depannya hingga sang suster jatuh terlentang dengan dagu agak mengejang, lalu Gie menarik Rhein menuju pintu keluar.

“Mundur, Ran! Na! Fokus kita adalah Rhein!” teriak Gie sambil menjambak kerah belakang perawat yang mengeroyok Ran dan Nina, hingga akhirnya mereka berhasil menjadi satu kelompok.

“Kita mundur cepat ke luar gedung. Biar aku dan Plenyun yang menjadi tameng belakang,” Bisik Gie kepada Ran, seraya menyerahkan Rhein kepada perlindungan Nina. “Tolong jaga Rhein baik-baik, Na...”

“Kau buka jalan depan bareng Susi dan Rijal, Njor!” perintah Gie pada Genjor sambil menangkis pukulan yang datang dari arah belakang.

Bersama Plenyun dan Ridwan, Gie bahu-membahu menahan serbuan para petugas rumah sakit palsu itu.

“Cepat bawa Rhein pergi dari sini!” teriak Gie agak panik, karena dilihatnya Ridwan terhajar hingga jatuh terjajar. Sementara Plenyun masih berkutat mati-matian melawan serangan dari samping dan depan.

Sesaat Ran merasa ragu, sebelum akhirnya pergi secepat mungkin menjaga Nina yang menggandeng Rhein.

“Lurus dua blok lalu belok kiri dan ambil jalan menuju bangsal sebelah kanan, Na,” bisik Ran dengan sesekali melihat denah di tangannya sambil berlari. Dan setelah berlari cukup lama, akhirnya mereka keluar dari belakang gedung dan terus berlari menyusuri taman kecil yang menyerupai hutan itu.

***

 

“Berapa lama kita tunggu Gie?” Nina bertanya dengan agak cemas. Lima menit berlalu dari waktu yang telah ditetapkan.

“Apakah Gie mendapat halangan, Ran?” tanya Nina lagi, ketika Ran tak juga menjawab.

Ran menghela nafas dengan agak berat.

“Gie kadang memang terlalu impulsif,” geleng Ran. “Terutama jika menyangkut urusan Rhein.”

“Apakah kita perlu menjalankan rencana B?” tanya Nina.

Ran mengangguk.

“Granat rakitan yang kubuat waktu itu masih sisa berapa?”

“Masih tiga.”

“Kau pegang satu saja. Dan langsung ke lembah bersama Susi dan Genjor. Biar Rijal menemani aku kembali ke rumah sakit palsu itu.”

“Ingat, jangan pernah bilang apapun kepada Rhein…” pesan Ran sambil menatap Nina dengan penuh arti, membuat Nina hanya bisa mengangguk sambil menggigit ujung bibir.

***

 

Setelah yakin Rhein aman bersama kelompok Ran, Gie langsung terjun ke tengah pertarungan dan mengamuk membabi-buta.

Dikeluarkannya semua kemampuan berkelahinya sejak masa perebutan kejantanan di jalanan waktu muda dulu. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari pukulan serta tendangan, dengan tangan yang tak berhenti menyodok kesana-kemari. Kadang mendaratkan kepalan ke wajah entah siapa, walau tak jarang menghantam dengan tangkupan kedua tangan di punggung yang lainnya. Sesekali sikutnya menerbitkan kecap di hidung lawan, sementara bibirnya sendiri telah pecah lebam termakan entah berapa gebukan.

Sebuah letusan khas langsung menghentikan pergumulan yang kian menyengit itu, membuat suster dan perawat gadungan bertubuh kekar menyingkir ke samping, menyisakan Gie, Plenyun serta Ridwan terkepung di tengah ruangan.

Gie mengeluh pelan ketika dari arah pintu Jono Novanto masuk,  sambil bergaya meniup ujung pistol yang baru saja ia ledakkan.

Dia bukan mengeluh karena Jono memegang pistol. Sebab, walaupun pistol merupakan salah satu benda beraroma maut, namun hal itu masih harus ditegas ulang tergantung siapa yang memegang picunya. Dan Jono jelas bukan orang yang tepat untuk mampu menembak tepat, bahkan dalam jarak satu meter sekalipun!

Gie teringat laporan Ran beberapa waktu yang lalu.

“Mereka telah mengirim economic hit man ke daerah ini, Gie, dengan beberapa ciri fisik yang agak menonjol pada beberapa mereka. Yang satunya berambut panjang sebahu, sementara yang lainnya botak plontos. Dan ciri lain yang tak akan dapat mereka samarkan adalah sorot mata. Kelak kau akan paham jika bertemu mereka.”

Dan Gie menemukan gambaran yang sama persis pada kedua orang yang mengiringi Jono Novanto. Sama persis dengan laporan yang pernah diberikan Ran buah penyusupannya waktu itu. Sama persis, yang bahkan lengkap dengan tatapan dua orang asing itu, yang amat tajam menusuk.

“Kau pikir aku jeri dengan serigala-serigala ekonomi yang kau bawa ini, Jono?! Kau keliru menilaiku, hey penjilat pantat asing!”

“Sepertinya kau telah mengenali mereka, Gie. Hebat… Benar-benar hebat! Bahkan sosok semisterius merekapun tak luput dari kantung informanmu… Bravo!”

“Coba kau cari jalan tembusan, Nyun. Dan kau, Wan, barangkali ada kericuhan apa yang bisa ditimbulkan untuk memecah perhatian mereka,” bisik Gie kepada sahabat sehidup-sematinya itu, untuk kemudian melangkah dengan amat gagah ke arah depan.

Jono Novanto menyurut ke belakang dengan agak pucat. Tangannya erat menggenggam pistol, hingga buku-buku jarinya terlihat agak memutih.

Di mata Jono Novanto, Gie lebih terlihat mirip malaikat maut yang hendak merenggut nyawanya. Mata Gie yang bengap, bibir pecah serta rambut ikal yang agak lengket terciprat merah, ditambah dengan merah serupa yang meleleh dari ujung bibir ke bajunya yang penuh bercak, membuat penampilan Gie tak ubahnya setan dari dimensi astral entah yang mana, yang terus maju perlahan ke arahnya, membuat dia kembali surut mundur sambil mengarahkan moncong pistolnya ke dada Gie.

“Ayo tembak aku, antek asing! Kau pikir dengan benda itu aku akan kapicirit dan langsung bersedia menjual tanah air ini kepada kalian, begitu?!”

Kembali Jono Novanto mundur dengan agak gugup. Kali ini saking jerinya ia sampai menabrak daun pintu yang rusak itu hingga kedagar-dagar dan hampir ngusruk.

Melihat kejadian itu, kedua orang yang mengapit Jono Novanto mengernyitkan dahi pertanda kurang suka akan kepengecutan Jono Novanto. Bukankah dia menggenggam pistol? Menagapa harus menjadi sepengecut itu?

Dengan wajah gusar sosok yang berambut gondrong menghadang, dan langsung mendorong dada Gie dengan kasar.

Gie mundur sejenak untuk kemudian kembali tegak.

Si Gondrong tertawa mengejek, dan kembali mendorong Gie dengan gaya yang sama.

Kembali Gie terdorong ke belakang, dan kembali Gie tegak berdiri.

Tawa Si Gondrong  semakin keras. Tapi ketika ia ingin mengulangi tindakannya yang tadi, entah bagaimana, tahu-tahu tangan Gie telah menjambak rambutnya serta membantingnya, membuat situasi kembali panas.

Suster dan perawat gadungan kembali menyerbu, yang langsung dihadang oleh Plenyun dan Ridwan dengan amat keteter. Sementara Si Botak Plontos membogem wajah Gie dengan amat telak, membuat kepala Gie terhuyung ke samping terbawa kerasnya pukulan.

Tapi Gie tetap tegak berdiri, dan menatap dengan amat tajam ke arah Si Botak Plontos.

Agak ragu, Si Botak plontos kembali memukul Gie, yang sambil terhuyung ke samping Gie sekaligus memanfaatkan daya dorong pukulan tersebut untuk memutar tubuh dan mengahantamkan lengannya ke tengkuk Si Botak Plontos hingga terjatuh.

Baru saja Gie ingin menambahkan hantaman dua tangan pada punggung Si Botak Plontos untuk mengakhiri pertarungan, ketika dia merasa ada yang memitingnya dari belakang.

Ternyata Si Gondrong! Dan bersamaan dengan itu, Si Botak Plontos telah berhasil bangkit dan menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir nyeri, untuk kemudian menghujani Gie dengan pukulan serta tendangan tanpa Gie mampu melawan.

Gie mengeraskan rahangnya kuat-kuat demi menahan sakit. Tapi pukulan dan tendangan Si Botak Plontos yang bertubi-tubi membuat kesadarannya membuyar.

Digigitnya bibir kuat-kuat hingga kembali mengucurkan darah. Dikumpulkannya tenaga di ujung kaki, untuk kemudian ia genjot selangkangan Si Gondrong dengan ujung tumit sekuat tenaga.

Pitingan terlepas, bersamaan dengan tubuh Gie yang terjerembab ke lantai. Tapi ia masih sempat melihat Jono Novanto mengacungkan laras pistol ke arah Plenyun, siap untuk menekan picunya.

Sekuat tenaga dia bangkit dan menghadang arah laras pistol demi melindungi teman-temannya, dan berteriak sekuat tenaga.

“LARI, NYUN…! TINGGALKAN TEMPAT BIADAB INI, WAAANNN…!!!”

Picu ditekan.

DUARRR!!!

Ledakan besar mengguncang ruangan, membuat Gie terlempar cukup jauh dan terbanting dengan amat keras. Pandangan Gie agak buram.

Pistol apa ini? Mengapa ledakannya begitu dahsyat menyerupai granat? Gie bertanya-tanya sendiri, sebelum sebuah ledakan yang setara kembali mengguncang dan menghancurkan beberapa bagian ruangan.

Samar di antara kabut debu, Gie melihat Ran berlari menghampirinya.

Dikedip-kedipkannya matanya dengan heran bercampur was-was. Mengapa Ran kembali? Apakah mereka terhadang? Lalu, bagaimana nasib Rhein?

“Cepat lari, Gie, sebelum mereka menyadari apa yang terjadi,” bisik Ran sambil memapah Gie bangkit dan mulai berlari dengan amat terseok. Sementara di belakangnya Rijal mengikuti sambil merangkul Plenyun dan Ridwan.

“Apa yang terjadi, Ran? D-di mana Rhein?” susah-payah Gie bertanya.

Antara sadar dan tidak sadar, Gie mendengar Ran mengatakan bahwa Rhein telah dapat diselamatkan. Tapi dalam kesadarannya yang timbul-tenggelam, Gie justru merasa mereka di kejar oleh Jono Novanto dan para serigala ekonomi serta suster dan perawat gadungan.

Dilihatnya mereka kembali terkepung, dengan Rhein menjadi sandera mereka.

“Biadab! Lepaskan Rhein! Cepat lepaskan…!!!”

Gie mengamuk sejadi-jadinya. Tapi sisa tenaga yang dia miliki tak cukup untuk mendukung ambisinya.

“Raannn! Nyuunnn! Tolong selamatkan Rhein! Tolong, Waaannn! Tolong selamatkan Rheiiinnnn…!!!”

Gie merasa ada begitu banyak pasang tanganmenghujani wajahnya dengan pukulan. Walau anehnya ada juga yang mengusap jidat dan pipinya. Sementara tubuhnya diguncang agak keras.

“Tolong Rhein segeraaa…!!! Siapapun tolong Rheinnnn…! Jangan biarkan dia matiiii!!!”

Gie memobat-mabitkan tangannya untuk melawan. Dipaksanya untuk membuka mata yang terasa amat pedih terkena campuran darah dan tangisnya sendiri, sambil terus mengamuk sejadi-jadinya.

Baru kali ini Gie meneteskan air mata seumur hidup semenjak dewasa. Tapi demi Rhein, ia tak lagi mempedulikan rasa malu.

“Tolong selamatkan Rhein… huuuuu…huuu… Tolong selamatkan Rheiiinnnn…”

Gie merasa ada yang menangkap tangan serta menyebut namanya berulang-ulang.

Seperti suara Rhein?

Sontak ia buka mata lebar-lebar, hanya saja kelopaknya yang bengkak membuat matanya terbuka tak lebih lebar dari lubang celengan koin.

Tapi dari celah penglihatan yang amat sempit itu Gie berhasil melihat siapa yang menangkap tangan serta memanggil-manggilnya.

“Rhein… K-kau… selamat…?”

Dengan wajah basah Rhein mengangguk, membuat Gie kembali terguguk. Tak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatap kearah dirinya dengan amat haru. Juga tak dipedulikannya apapun juga. Dipeluknya Rhein dengan penuh syukur.

“Akhirnya kau selamat, Rhein… Akhirnya kau selamat… huuhuuu…”

***

 

Epilog.

Kau tahu berapa banyak rahasia yang pernah dipendam hujan, Rhein? Mengingatkanku pada tetes pertama, saat bulir-bulir dingin itu mengkilau di pendar wajahmu…”

Gie terdiam sejenak, memandangi deretan azaleas dan rhododendron yang menjuntai beraneka warna di kiri kanan tebing.

“Sejak saat itu, aku terus mencari hujan, Rhein. Mencari setiap tetes yang pernah amat manja menggelayut di ujung dagumu, hanya demi bisa merupa ulang setiap lekuk dan sudut yang ada di…”

“Jangan bicara seperti itu lagi, Gie. Aku…” Rhein tak sanggup menahan ledakan yang bergemuruh di dalam dadanya. Dipeluknya Gie dengan amat erat, seakan hanya dengan cara itulah dia dapat mengusir jelaga yang selama ini bersarang di hatinya.

“Kita belum halal, Rhein, tak baik terlalu lepas kendali seperti ini…” bisik Gie lembut, sambil perlahan melepaskan peluk Rhein.

Rhein mengangguk. Wajahnya agak tersipu. Semu merah ayun-ayunan di pipinya yang agak menonjol, menjadikannya serupa peri dalam kisah dongeng cinta yang berakhir bahagia.

“Kau masih ingat drama sekolah yang dulu kita pentaskan?”

Rhein mengangguk. Matanya lekat menatap Gie tanpa pernah kedip sedetikpun.

 

"Kamu tahu, sejak tahun 1932 aku berpidato di depan Landraad mengenai modal asing ini? Mengenai bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka? Jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme, akan tetapi juga berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia. Saya ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken. Dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya. Coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak."

"Seluruh Minyak dan Gas Alam dilakukan negara atau perusahaan Negara."

"Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia".

"Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupaken sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia"

"Aku kasih waktu pada kalian beberapa hari untuk berpikir, kalau tidak mau aku berikan konsesi ini pada pihak lain negara..!"

Agak menahan tawa Rhein melihat Gie melakon ulang Bung Karno seperti dalam pentas sekolah dulu. Nada dan suara Gie jelas masih sama tegas dan bersemangatnya seperti dulu, hanya saja kini wajah Gie begitu lebam penuh gurat luka di mana-mana.

“Di sinilah kita berada sekarang, Rhein, pada lembah yang tak terdeteksi oleh pihak manapun, juga dengan seluruh penghuninya yang tak terdaftar di administrasi pemerintahan apapun,” ucap Gie dengan suara yang seperti berasal dari entah dimensi yang mana.

“Untuk ini semuakah kau akhirnya tak memutus pertemanan dengan Plenyun serta yang lainnya, Gie, yang dulu pernah kuwanti-wanti agar kau jauhi, karena mereka tak lebih dari preman kampung yang kukhawatir menularkan keburukan kepadamu?”

Gie mengangguk.

“Sayangnya kami tak selalu bisa untuk terus bersama” suara Gie terdengar agak getir. “Genjor lebih memilih untuk menata Jawa Tengah agar tetap sesuai amanat Bung Kecil, sementara Ridwan memilih Bandung, Susi yang lebih suka menjaga perairan, dan Rijal yang kesana-kemari sesuai takdirnya.”

“Oh, ya, kau masih ingat Joko, Rhein?”

Rhein mengangguk, “Si Lepay yang berasal dari Jawa Halus itu kan, Gie?”

“Dia lebih memilih untuk terjun langsung ke Ibukota,” terang Gie. “Dan buah mereka semualah lembah ini harus tetap ada, agar tak pernah ada serenada ‘Tanah Air Mata’ yang dinyanyikan oleh generasi setelah kita, oleh anak-anak kita… Kini, juga kelak… Walau jika untuk itu kita harus mati mengenaskan seperti Bung Kecil itu, setelah sebelumnya pernah menggantung cita setinggi langit tapi berakhir terjatuh di antara pijar gemintang…”

Tak habis-habisnya Rhein memandang Gie dengan penuh kekaguman. Gie yang tak pernah sekalipun mementingkan hidupnya demi kebahagiaan pribadi. Gie… yang lebih memilih untuk tak menjadi bunga yang tumbuh sendirian di tengah rumput liar… yang wangi namun sepi.

“Emmm… Gie…”

Gie berbalik menatap Rhein. Digenggamnya jemari Rhein dengan erat, sebelum akhirnya bertanya dengan amat lembut, “Apa yang ingin kau tanyakan, Rhein?”

“Emmm… berbicara mengenai generasi penerus tadi, emmm… Kapan kita akan memulainya, Gie… agar kelak ada anak-anak yang melanjutkan perjuangan ayahnya…?” tanya Rhein dengan amat tersipu.

Gie sempat tertegun mendengar pertanyaan itu. Tapi hanya sejenak, karena selanjutnya, Gie membisikkan sesuatu yang amat menggelitik hati Rhein.

“Tentu saja malam ini, Rhein…”

Rhein merasa telinganya agak hangat terkena hembus nafas Gie. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, dengan getar aneh yang entah berasal dari mana menjalar ke seluruh kediriannya, yang juga entah akan memuara kemana.

“Jadikan aku milikmu, Ghie, seutuhnya…” desah Rhein.

“Akan kulakukan, Rhein, akan kulakukan…” gumam Gie sambil kedua tangannya memegang pipi Rhein hingga wajah mereka menjadi begitu dekat.

“Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus kita lakukan terlebih dahulu, Rhein.”

“Aku milikmu sejak dulu, Gie, bahkan jika saat ini kau meminta, aku tak akan menolaknya…” Rhein memejamkan kedua matanya, dengan bibir basah yang setengah membuka.

“Rhein…”

“Mmmh…”

“Bagaimana jika kita panggil Plenyun saat ini juga menjadi wali hakimmu, dan meminta Kepala Lembah beserta pengurus lainnya untuk menikahkan kita?”

Rhein terlongo sekejap, sebelum akhirnya kembali menatap Gie dengan kagum dan cinta yang kian bertambah-tambah. Bergandengan tangan mereka menuruni tebing. Menuju lembah, yang entah lembah perjuangan ataukah hanya lembah cinta saja.

“Kita langsung ke rumah Nina, Rhein.”

“Mengapa harus ke sana, Gie?”

“Karena kita akan menikah.”

“Tapi apa hubungannya dengan Nina?”

“Lho? Kamu belum tahu kalo suami Nina yang menjadi Kepala Lembah ini?”

“Hah? Kok, Nina tak pernah cerita?”

“Mungkin dia malu sama kamu.”

“Malu? Memangnya siapa suami Nina?”

“Kau benar-benar tidak tahu?”

“Tidak.”

“Suaminya tentu saja Ran.”

“Hah?!”

 

saatnya kebohongan

munafik dan kehinaan

menyingkir, menguap bersama debu

tinggal kami: tunas–tunas kehidupan

yang akan terus tumbuh, mengembang

menorehkan jejak bersemarak harum pelangi

bagi kehidupan

bagi tanah pertiwi

bagi negri yang tak pernah boleh mati

 

lalu kami menguap juga, membumi

dan benih–benih muda segar menyembul

malu, walau tak ragu

menggantikan

bersama senandung pagi hari

terus berulang

 

Secangkir Kopi Ending Fikber Gelombang 1, Nopember 2015.

Sumber puisi: ‘Sinfoni yang Tak Pernah Usai’ dalam Tanah Air Mata, Dok. pribadi.

Sumber gambar dan teks Bung Karno: Idem.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun