Epilog.
Kau tahu berapa banyak rahasia yang pernah dipendam hujan, Rhein? Mengingatkanku pada tetes pertama, saat bulir-bulir dingin itu mengkilau di pendar wajahmu…”
Gie terdiam sejenak, memandangi deretan azaleas dan rhododendron yang menjuntai beraneka warna di kiri kanan tebing.
“Sejak saat itu, aku terus mencari hujan, Rhein. Mencari setiap tetes yang pernah amat manja menggelayut di ujung dagumu, hanya demi bisa merupa ulang setiap lekuk dan sudut yang ada di…”
“Jangan bicara seperti itu lagi, Gie. Aku…” Rhein tak sanggup menahan ledakan yang bergemuruh di dalam dadanya. Dipeluknya Gie dengan amat erat, seakan hanya dengan cara itulah dia dapat mengusir jelaga yang selama ini bersarang di hatinya.
“Kita belum halal, Rhein, tak baik terlalu lepas kendali seperti ini…” bisik Gie lembut, sambil perlahan melepaskan peluk Rhein.
Rhein mengangguk. Wajahnya agak tersipu. Semu merah ayun-ayunan di pipinya yang agak menonjol, menjadikannya serupa peri dalam kisah dongeng cinta yang berakhir bahagia.
“Kau masih ingat drama sekolah yang dulu kita pentaskan?”
Rhein mengangguk. Matanya lekat menatap Gie tanpa pernah kedip sedetikpun.